Jam dinding di ruang
kantorku belum juga menunjukkan pukul 17.00 WIB. Tapi, aku sudah mencicil untuk
berkemas. Thomas, rekan kerja di sebelah yang melihatku mulai memasukkan
barang-barangku ke dalam tas pun menatap heran.
“Nggak biasanya kamu
cepat-cepat pulang,” ujarnya sambal bertopang dagu melihatku.
“Hari ini spesial,”
jawabku pendek sambal menggulung kabel earphone-ku.
“Oh ya? Ada acara apa
emangnya? Biasanya kamu lebih suka menghabiskan waktu di kantor. Akhirnya kamu
sekarang normal juga,” selorohnya.
“Normal?” tanyaku
bingung.
“Yah, maksudku, siapa sih
karyawan yang mau berlama-lama di kantor? Kecuali kamu, kamu malah suka
menyibukkan diri di sini,” jawabnya sambal menyomot biskuit di samping keyboard-nya.
“Seperti kubilang, hari
ini spesial,” kataku mengulangi jawabanku.
“Ada yang ulang tahun?
Oh! Mau kencan ya?” godanya sambil senyum-senyum sendiri.
Aku balas menjawabnya
dengan senyuman dan menepuk pundaknya sambil bangkit dari kursiku.
Seperti yang kubilang
tadi, hari ini memang spesial. Hari ini, aku akhirnya memutuskan untuk
menjemputnya.
------------------------------------------------------------------------------
Pertemuan terakhirku
dengan Elisa saat itu diakhiri dengan air mata. Air mata Elisa. Air mata dari
wanita yang aku cintai sepenuh hati. Tak pernah sedetikpun paras cantiknya
menghilang dari pikiranku. Di dunia ini, kurasa, hanya Elisa-lah wanita yang
paling berpengaruh dalam hidupku.
Berkat Elisa, aku
memiliki keberanian untuk menata kembali hidupku yang sudah carut marut dari
entah kapan. Aku mulai berani untuk bermimpi tentang masa depan, bahwa aku pun,
berhak untuk punya masa depan. Dan itu semua karena Elisa.
Sehingga, bisa kah kau
bayangkan betapa sakitnya aku melihat air mata Elisa saat itu? Aku berusaha
meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, Elisa tak percaya. Padahal, memiliki
kepercayaan adalah dasar dari semua hubungan bukan? Lalu, jika Elisa sudah tak
percaya? Apa lagi yang bisa kulakukan?
Sejak saat itu, tak ada
lagi Elisa-ku.
------------------------------------------------------------------------------
Keberanian untuk
menjemput Elisa hari ini terkumpul. Sepulang kerja, aku kembali ke kamar kos
3x4-ku. Aku memakai kemeja yang aku pakai saat pertama kali bertemu Elisa. Saat
itulah aku tahu bahwa dia adalah wanita-ku.
Kupakai parfum yang aku
pakai saat itu juga. Parfum inilah yang membuka obralanku dengan Elisa kala
itu. Dia menyukai aroma parfum-ku. Aku rasa begitu, karena jika tak suka,
mengapa ia bertanya tentang parfum-ku, kan?
Kulihat pantulan diriku
di cermin untuk terakhir kali. Perfect.
Aku menarik nafas panjang dan beranjak untuk menjemput Elisa. Aku berencana
untuk mampir di sebuah kedai sandwich kesukaan Elisa. Aku tahu karena aku
selalu melihatnya di sana untuk membeli makan malam. Akan kubawakan satu untuknya,
Elisa pasti suka.
------------------------------------------------------------------------------
Aku memarkir motorku di
parkiran kantor. Dengan jantung berdegup kencang aku berjalan ke lift dan memencet
tombol 12. Aku begitu gugup untuk bertemu kembali dengan Elisa. Semoga semua
berjalan lancar sesuai rencanaku!
Sesampainya di lantai 12,
aku langsung disinari cahaya remang lampu kuning dan bau pengap. Lantai ini
memang satu-satunya lantai di gedung ini yang tak terpakai. Sempat ada yang
menyewa untuk dijadikan kantor, tapi itu tak bertahan lama.
Sekarang, lantai ini jadi
saksi pertemuanku dengan Elisa.
------------------------------------------------------------------------------
“Hai, Elisa, maaf aku
lama,” sapaku saat melihat Elisa.
Elisa hanya diam sambil
bersandar ke tembok yang cat-nya telah mengelupas di sana sini. Sudah seminggu
lebih dia sendiri di sini. Tapi tak apa, toh tiap malam aku selalu menemaninya.
“Oh, ayolah, sampai kapan
kamu marah sama aku terus? Ini kubawakan sandwich kesukaanmu,” kataku lagi
sambil menyodorkan bungkusan sandwich untuknya.
Ia menatapku nanar, air
mata kembali memenuhi pelupuk matanya.
Aku menghela nafas dan
membuka lakban di mulutnya.
“Toloooong! Tolooooong!”
teriak Elisa sesaat setelah aku melepas lakban-nya.
“Elisa, kamu tahu tak akan
ada yang mendengar kita di sini. Sudah berapa kali kamu mencobanya? Nggak capek?”
tanyaku mengkhawatirkan keadaannya.
“Gila! Kamu gila!” kini
ia berteriak padaku.
“Ya, Elisa, aku gila
mencintaimu,” kataku sambil menatap hangat matanya. Namun, kehangatan itu
dibalas dengan amarah. Elisa yang pemarah. Elisa yang tetap aku cinta.
“Kenapa aku? Kenapa kamu
lakuin semua ini? Tolong lepaskan aku, aku bersumpah tak akan lapor ke polisi,
aku bersumpah tak akan bilang ke siapapun!” ujarnya.
“Elisa, aku akan
melepaskanmu, tenang aja. Sekarang makan dulu ya, setelah makan akan aku
lepaskan,” aku menyodorkan sandwich ke mulutnya. Elisa tak bisa makan sendiri
karena tangannya masih terikat. Oh, dan kakinya juga.
Elisa selalu tampak
ketakutan jika bersama-ku, aku tak tahu mengapa. Tapi, paling tidak, ia
akhirnya mau makan sandwich dari tanganku.
“Pintar,” kataku sambil
mengelus rambutnya penuh sayang. Air mata Elisa kembali turun.
Elisa memberontak saat
aku kembali memasang lakban di mulutnya, tangisnya semakin kencang.
“Jangan menangis, Sayang.
Hari ini, tangisanmu akan berhenti. Aku janji. Karena aku telah menemukan cara
agar kita bisa bersama selamanya. Bahagia. Selalu,” ujarku sambil membelai
pipinya. Elisa bergidik, tapi tetap kulakukan.
------------------------------------------------------------------------------
Dengan satu tarikan nafas
panjang, aku menjambak rambut panjang indahnya yang telah kusut setelah
berhari-hari tak terawat. Dalam satu kali gerakan, kubenturkan kepalanya ke
tembok di belakangnya. Dan Elisa pun tersungkur.
Aku membuka lakban di
mulutnya dan membuka ikatan di kaki dan tangannya. Kupasangkan earphone untuk
mendengarkan lagu kami. Satu di telingaku dan satu di telinga Elisa. Oh,
Elisa-ku, akhirnya kini kita akan bersama selamanya.
------------------------------------------------------------------------------
Aku berada di rooftop dengan Elisa dalam gendonganku. Ku
tatap langit malam ini. Gelap sekali. Tak ada satu bintang pun yang terlihat.
Tak heran, bintang tercerah yang mereka miliki ada di sini bersamaku.
Lagu “Ava Adore” dari
Smashing Pumpkin pun mulai mengalun di telinga kami. Aku berdiri di pinggir
gedung masih sambil menggendong Elisa, menunggu lagu kesukaanku berakhir. Saat
itu lah, hidup kami yang lama berakhir juga, dan hidup baru bersama selamanya akan
dimulai.
“Sampai bertemu di sana,
Sayangku,” ujarku lirih sambil memejamkan mata. Dan aku pun melangkah.
------------------------------------------------------------------------------
Now
playing:
And I’ll pull your crooked teeth
You’ll be perfect just like me
You’ll be a lover in my bed
And a gun to my head
We must never be apart
We must never be apart