Sabtu, 31 Desember 2011

Sebut Saja Takdir

“Aku kangen kamu.”

“Basi.”

“Aku sayang kamu.”

“Nggak penting.”

“Aku cint….”

“Stop.”

“Kenapa? Kenapa kamu nggak pernah percaya sama aku. Demi Tuhan aku nggak bohong. Aku benar-benar cint….”

“Stop. Aku bilang stop. Dan jangan pernah bawa-bawa nama Tuhan. Aku nggak suka.”

“Oke, aku berhenti. Tapi, kamu beritahu aku, kenapa kamu nggak memberiku kesempatan? Kenapa?”

“Kamu sudah tahu jawabannya.”

“Nggak. Aku nggak tahu apa-apa.”

“Jangan pura-pura nggak tahu.”

“Aku nggak pura-pura. Aku memang nggak tah…”

“Aku sudah menikah. Mengerti? Apa kamu nggak lihat cincin di jariku ini?”

“Kamu berubah. Dulu kamu bilang mencintaiku. Dulu kamu bilang kita akan selalu bersama. Bohong, kamu pembohong.”

“Takdir yang tidak sejalan dengan kita.”

Bullshit! Tadi, kamu bilang jangan bawa-bawa nama Tuhan, sekarang kamu berbicara tentang takdir? Tahu apa kamu tentang takdirku? Tahu apa kamu tentang takdirmu? Tahu apa kamu tentang takdir kita hahhhh???!!!”

“Dari awal sudah bisa tertebak bagaimana akhir hubungan kita.”

“Oh. Gitu? Berarti dari awal kamu memang sudah nggak serius denganku? Begitu?”

“Bukan begitu, tapi…”

“Tapi apa??!! Asal kamu tahu, aku susah payah mencarimu. Kamu menghilang begitu saja. Setalah apa yang telah kita lalui.”

“Aku harus membahagiakan orang tuaku. Dengan menikahinya! Tahu kamu??!!”

“Apa harus dengan cara itu? Ada banyak cara untuk membahagiakan orang tua. Tapi, kamu memilih cara yang menyakitkanku.”

“Maaf. Maafkan aku, Roni.”

“…..”

“Maaf.”

“Baik. Aku akan memaafkanku. Lupakan semuanya. Lupakan kalau kita pernah mengenal satu sama lain. Ini mungkin yang terbaik untukmu. Salam untuk istrimu.”

Kedua lelaki itu berpelukan untuk terakhir kalinya. Saling melepaskan kasih masa lalu. Berhenti disitu. Mereka memendam dalam-dalam kisah mereka. Berjalan menjauh. Dan berlalu.

Senin, 26 Desember 2011

Sayang, asal kau tahu....

Sayang, asal kau tahu. Setiap jam, menit, detik, aku selalu menanyakan keberadaanmu. Bukan karena aku tak percaya padamu. Tetapi karena aku mengkhawatirkanmu.

Sayang, asal kau tahu. Tak pernah aku bercerita tentang masa lalu ku kepadamu. Bukan karena aku tak mau jujur dan berbagi kepadamu. Tetapi karena aku takut akan membuatmu terluka.

Sayang, asal kau tahu. Setiap saat aku berkata aku mencintaimu. Bukan karena aku seorang penjilat dan penggombal. Tetapi karena aku ingin kau tahu aku memang selalu mencintaimu.

Sayang, asal kau tahu. Aku melarangmu pergi dengan teman-temanmu hingga larut malam. Bukan karena aku membatasimu. Tetapi karena aku takut akan terjadi apa-apa kepadamu.

Sayang, asal kau tahu. Aku jarang menceritakan masalah-masalahku padamu. Bukan karena aku tak mau terbuka padamu. Tetapi karena aku takut membuatmu khawatir.

Sayang, asal kau tahu. Aku posesif. Karena aku mencintaimu.

Ayah

Hai perkenalkan, namaku Fasya Putri. Tapi, kalian boleh memanggilku Acha. Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Ibuku , entahlah. Aku lupa. Kata ayah, ibu pergi karena ada urusan. Tapi, sampai sekarang ibu tak pernah kembali. Biarlah, yang penting aku punya ayah yang selalu menyayangiku. Dari kecil hingga sekarang aku berumur 8 tahun, seingatku, ayah lah yang terus menjagaku. Aku sayaaaang sekali sama ayah. Dan aku tahu ayah juga sangat menyayangiku.

Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil di perkampungan. Kontrakannya kecil, tapi tidak terlalu kumuh seperti rumah kontrakan ku yang dulu. Kami sering berpindah tempat tinggal. Aku tak pernah tahu alasannya. Dan aku tak pernah bertanya. Karena setiap kali akan pindah, raut wajah ayah seram sekali. Walaupun ayah tak pernah memarahiku, aku tetap saja takut melihatnya seperti itu.

Ayah mempunyai seorang teman dekat. Namanya Pak Bowo. Kami sering tinggal di rumah Pak Bowo, dan aku juga berteman dekat dengan anak Pak Bowo, namanya Tiara. Ayah dan Pak Bowo seringkali berbicara sangat serius. Aku dan tiara yang melihat mereka jadi bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Tapi, kami tak benar-benar bertanya. Karena, ibunya Tiara melarang kami untuk bertanya. Itu urusan orang dewasa, anak kecil belum boleh tahu, katanya.

Oh iya, aku tidak bersekolah. Tapi, aku tetap belajar lho. Ayah seringkali membawa buku-buku untuk aku baca dan pelajari. Kalau Tiara sedang les, aku juga terkadang ikut. Dengan membawa buku-buku yang ayah beri padaku, aku bertanya soal yang tidak aku mengerti kepada guru les Tiara. Tiara senang sekali karena ia jadi tak sendirian kalau les. Aku tentu saja juga senang sekali.

Aku tak pernah tahu ayah kerja apa. Suatu waktu, aku pernah bertanya pada ayah, sebenarnya dia kerja apa. Tapi, ia hanya tersenyum, dan bilang bahwa ia bekerja membahagiakanku. Aku senang, tapi juga tidak lega. Ayah selalu saja bercanda. Ah betapa aku sangat menyayangi ayahku.

****

“Acha sayang, kok nggak dimakan makanannya?” Tanya Dewo, ayah Acha.

“Kan Acha nunggu ayah. Acha nggak mau makan sendirian.” Ujar Acha. Gadis kecil itu memasang muka sebal kepada ayahnya.

“Lho, kan ayah sudah bilang, ayah pulang terlambat, Acha makan duluan aja,” kata Dewo. Ia lalu menggendong anak semata wayang nya itu.

Acha kecil menahan kantuk dan laparnya demi menunggu sang ayah. Tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan ayahnya di luar sana.

****

Hari ini sikap ayah aneh sekali. Ia menutup semua jendela dan pintu. Setiap jam selalu melongok ke jendela melihat keluar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, kemarin ayah pulang telat sekali. Ayah tak biasanya pulang se telat iu. Raut muka nya terlihat lelah dan tegang. Aku menghampiri ayah yang sedang berdiri di samping jendela. Ku peluk ayah dengan erat. Aku takut ayah kenapa-kenapa. Ayah balas memelukku dan mengelus-elus rambutku.

Jam 10.00 WIB, ayah menyuruhku mengemas barang-barang. Ah sudah saatnya kita pindah lagi. Tak banyak yang dibawa memang, hanya beberapa bajuku, buku-buku, dan satu boneka beruang hadiah dari ayah. Ayah sendiri telah selesai berkemas. Lalu, kami keluar melalui pintu belakang. Ayah menggendongku sepanjang jalan. Sedikit berlari dan tergesa, ayah meninggalkan rumah kontrakan kita.

Kami naik bus kota menuju rumah Pak Bowo. Di depan rumah, ayah dihadang satpam rumah Pak Bowo. Kenapa? Padahal selama ini, kalau kami kemari satpam ini selalu ramah. Tapi, tidak kali ini. Maaf pak, tapi ini perintah Pak Bowo, bapak dilarang masuk, ujarnya. Aku semakin bingung. Kenapa Pak Bowo melarang ayah masuk? Apa mereka bertengkar? Apa mereka sudah tidak bersahabat lagi?

Ayah terlihat marah sekali. Ia berteriak dan memaki kepada satpam itu. Berulang kali ayah berteriak memanggil Pak Bowo. Tapi, ia lalu diusir oleh si satpam. Aku menutup mata dan kedua telingaku. Seperti yang selama ini ayah ajarkan. Ketika ayah mulai berubah menjadi seram, kau harus menutup kedua mata dan telingamu, katanya. Maka sejenak, aku tak akan melihat keseraman ayah.

Ayah menggendongku lagi. Ayah meninggalkan rumah Pak Bowo dengan berlari. Berlari kencang sekali. Kami kembali menaiki bus. Aku diam saja. Walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan, aku memilih diam. Bus kami berbenti di pinggir jalan. Kami turun, dan ayah menggendongku lagi di sepanjang trotoar. Kami menaiki becak untuk menyusuri kampung-kampung. Dan berhentilah kami di sebuah rumah berwarna biru muda. Banyak tanaman dan bunga di depan rumahnya. Indah sekali. Lalu terdapat tulisan kecil di depan pagar. Panti Asuhan Bunga Matahari.

****

“Acha, untuk sementara, acha disini dulu ya. Ayah sudah bilang sama Ibu April, yang punya rumah bermain ini. Ayah akan cari rumah kontrakan untuk kita. Acha istirahat dulu saja disini ya.” Ujar Dewo kepada gadis kecil berbaju merah muda itu. Ia menunjuk wanita setengah baya yang berdiri di depan pintu. Wanita itu tersenyum pada Dewo dan Acha “Ayah janji tidak akan lama.”

“Tapi, kenapa yah? Selama ini kalau kita mencari rumah, Acha selalu ikut. Kenapa sekarang Acha tak boleh ikut?” Tanya Acha polos. Raut mukanya terlihat bingung sekali. “Ah! Acha tahu! Jangan-jangan ayah capek ya gendong Acha terus. Acha bisa jalan kok, yah.”

Dewo terhenyak mendengar ucapan lugu putrinya. Matanya terlihat berkaca-kaca, lekas ia mendongak agar air matanya tak tumpah.

“Kenapa ayah menangis?” Tanya Acha.

“Ah, ehm, tidak apa-apa. Mata ayah kemasukan debu,” Dewo mengusap-usap matanya. “Ayah tidak ingin Acha kecapekan. Jadi, Acha tunggu disini dulu saja ya. Ayah cuma sebentar.”

“Janji?” Acha menyodorkan jari kelingkingnya.

Dewo terdiam sejanak.

“Janji.” Dewo menautkan jari kelingkingnya ke kelingking Acha. Ia lalu memeluknya dengan erat. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya tumpah juga. Perlahan, ia mengusap air matanya.

“Ayah, aku selalu sayang sama ayah.” Ujar Acha. Ia tersenyum dengan manisnya.

“Ayah juga selalu sayang sama Acha. Selalu.”

****

Sudah seminggu ayah tak menemuiku. Ayah bohong. Aku benci ayah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Ayah meninggalkanku seorang diri disini. Padahal ayah tahu, aku hanya mau sama ayah. Tapi, ternyata ayah tak mau bersamaku lagi. Aku terus-terusan menangis. Aku bilang kepada Ibu April, aku akan menyusul ayah. Tapi, Ibu April melarang. Ia bilang tidak tahu dimana keberadaan ayah. Ayah jahat. Ayah jahat sekali.

Menangis terus membuatku lapar. Aku melupakan sejenak tentang ayah. Mungkin ayah belum menemukan rumah kontrakan, jadi aku masih harus menunggu disini, pikirku. Aku berjalan ke meja makan untuk mencari makanan. Aku ambil sebuah pisang goreng dan mulai memakannya. Terlihat Ibu April sedang menonton televisi di ruang tengah. Aku ikut menonton juga dari belakang.

****

“Pelaku pembunuhan Direktur Utama PT. Wijaya Putra akhirnya tertangkap. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang belum diketahui siapa otak dibalik semua ini. Polisi masih menggali informasi tentang siapa yang menyuruh pembunuh bayaran ini.” Kata seorang pembawa berita kriminal di televisi.

April membelalakkan mata.

“Pak Dewo?!” teriak April tak percaya.

Acha yang mendengar suara April, kaget. Ia lalu menghampiri televisi. Ia mengamati sosok pembunuh bayaran yang dimaksud si pembawa berita.

Acha terdiam. Pisang goreng di tangannya jatuh.

“Ayah…..”

Jumat, 23 Desember 2011

Berkenalan

Aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Ia selalu duduk disitu. Di sebuah bangku kecil di dekat lampu taman. Dengan earphone yang selalu ia kenakan, ia disitu. Duduk dan membaca sebuah buku dengan tenangnya. Itu sudah buku kelima yang ia baca sejak seminggu lalu aku mengamatinya. Aku belum berkenalan dengannya. Terlalu takut. Terlalu malu. Jadilah aku hanya disini. Menikmati kopi dan batangan nikotin sambil menatapnya.

Sore ini perempuan berparas ayu itu kembali bergelut dengan bukunya. Dan masih tetap dengan earphone di telinganya. Aku mengumpulkan segenap nyaliku. Aku harus berkenalan dengannya. Bosan juga menjadi pengecut yang hanya menikmati keindahannya dari kejauhan. aku beranjak dari dudukku. Diam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika ia menolak berkenalan? Bagaimana jika ia takut padaku? Dan yang paling parah, bagaimana jika ia tak lagi mau duduk di bangku kecil itu? Ah, sial. Aku kembali duduk. Kembali menghisap rokokku. Kembali memandangi dirinya.

Sore berikutnya, tanpa berfikir, aku menghampiri perempuan cantikku itu. Duduk di dekatnya. Berpura-pura membaca buku yang sengaja aku bawa. Dengan hati-hati, aku tamati wajahnya dari dekat. Jantungku berdebar tak karuan. Sampai-sampai aku takut jika ia dapat mendengar detakan jantung ini. Ia menoleh. Menatapku beberapa saat, dan tersenyum. Sungguh, itu senyum terindah yang pernah aku lihat. Detik itu juga, aku tahu. Aku jatuh cinta padanya.

Hari-hari berikutnya, masih dengan kepura-puraan ku membaca buku, aku semakin sering dekat dengannya. Dan, belum. Aku belum mengetahui namanya. Aku ingin berbicara dengannya, tapi ia selalu memakai earphone. Bagaimana caraku mendekatinya tanpa membuatnya merasa terganggu? Entah. Aku belum bisa memikirkannya.

Hari ini aku kembali duduk di dekatnya. Aku menemukan sebuah cara untuk mendekatinya. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis.

‘Hai.’ Sapaku dalam tulisan di kertas itu. Aku berikan kertas itu padanya

Ia menoleh kepadaku. Terdiam sejenak, lalu tersenyum. Ya Tuhan, andai Kau tahu betapa aku berterima kasih pada-Mu karena telah menciptakan makhluk seindah ini.

‘Ya? :)’ ia juga menulis dalam kertas itu.

‘Lagu apa yang kamu dengarkan? Kayaknya kamu selalu memakai earphone itu.’ Tulisku lagi. Membuka pembicaraan.

Kali ini ia tidak menjawabnya. Ia menoleh dan menggeleng. Tak lupa dengan senyumnya yang indah itu.

‘Kamu tak mau beritahu? Aku yakin itu pasti lagu yang sangat spesial. Sampai-sampai kamu tak mau membaginya dengan orang lain. :)’ tulisku.

Ia tersenyum lagi. Dan mulai menulis.

‘Kamu yakin ingin tahu?’ balasnya

‘Ya.’ Jawabku mantab.

Ia mengambil sebelah earphone nya, dan dipasangkan di telingaku. Hening. Sepi. Tak ada suara apa-apa dari earphone itu. Aku mencoba menutup sebelah telingaku yang tak terpasang earphone. Mencoba berkonsentrasi akan suara yang diantar dari earphone nya. Tapi tetap tak ada suara apa-apa. Tetap hening. Tetap sepi.

Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku.

“Jadi?” tanyaku bingung.

Ia tersenyum lagi. Lalu mulai menggerak-gerakkan tangannya. Aku seperti pernah melihat gerakan-gerakan itu. Aku mengernyitkan dahi. Mencoba memahami maksudnya. Oh! Aku ingat! Ini sandi yang biasa orang tuli gunakan untuk berkomunikasi. Ah, perempuan ini....

Aku menatapnya. Perasaan kaget dan bingung menyergapku. Ia masih tetap tersenyum. Ia masih tetap dengan senyum indah yang aku sukai. Aku menatap matanya. Dan tersenyum.

‘Salam kenal ya :)’ tulisku dalam kertas tadi.

Aku bukan lagi seorang pengecut yang hanya bisa mengaguminya dari jauh. Aku seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta yang begitu dalam dengan perempuan berparas ayu yang selalu duduk di bangku kecil dekat lampu taman. Ya, aku tahu. Aku tahu benar perasaan ini. Aku jatuh cinta.