Minggu, 29 Januari 2012

Senja Tak Lagi Berwarna Jingga

Aku masih menunggumu. Kau bilang, kau akan pulang saat senja. Saat matahari menutup tugasnya. Saat langit bersemu malu. Jingga, katamu. Aku masih saja duduk di depan rumah. Dengan secangkir teh dan beberapa biskuit, aku menunggumu hingga langit tak lagi kemerahan. Bulan perlahan menaiki tahtanya. Dan aku tetap saja duduk menunggumu di depan rumah.

Aku masih ingat jelas saat kau pergi. Tak ada bahasa. Tak ada kata. Raut muka dan air mata mengisyaratkan semuanya. Aku terdiam. Tanpa peluk, kau pergi begitu saja. Aku hanya bisa menatap punggungmu hingga kau berlalu. Air mata ini belum kering benar, sayatan luka ini masih menganga lebar. Dan kau pergi. Kau pergi begitu saja!

Senja ini, aku masih menunggumu. Tetap saja tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Hingga seorang kawan berlari tergesa-gesa menuju rumah. Aku terlonjak kaget. Ia mengabarkan sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak lagi hanya seutas mimpi. Mimpi buruk ini nyata. Aku marah. Aku menyalahkan Tuhan! Tangis ini berderai. Sang kawan berusaha menenangkanku. Cahaya senja menjadi kelabu. Perlahan, lalu, hilang.

Senja kali ini berwarna jingga terang. Indah sekali. Dan kau pulang. Kau yang selama ini aku tunggu, akhirnya telah pulang. Benar, kau akan pulang saat jingga. Aku menengok ke arah senja. Para dewi telah menyamarkan kepedihan langit dibalik keindahan senja. Hey, bangun! Ini senja kesukaanmu! Bangunlah! Aku memeluk tubuhmu yang membiru. Tak bernafas. Tak bernyawa. Wajahmu basah oleh air mataku. Senja tak lagi berwarna jingga. Ia memucat. Berjalan beriringan dengan ketidak adilan. Senja menjadi kelam.

Rabu, 11 Januari 2012

Tak Bernama


Diam. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut mereka. Laki-laki dan perempuan itu terlihat kikuk dan tidak nyaman. Berkali-kali mereka mencoba membetulkan posisi duduknya. Sang laki-laki menggaruk-garuk hidungnya dengan canggung. Sang perempuan memainkan jemari-jemari lentiknya.
“Kau tahu…” laki-laki itu membuka suara. “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
“Aku juga.” Kata sang perempuan.
Diam. Mereka terdiam lagi. Bunyi gemericik hujan diluar sana mengiringi kebekuan mereka. Laki-laki itu menelan ludah. Seakan ada seonggok kalimat yang ingin ia katakan, tapi tercekat begitu saja tak tahu bagaimana menyampaikannya. Tak berbeda jauh dengan perempuan itu. Ia memainkan ujung rok yang dipakainya. Merasa bingung harus bagaimana untuk bersikap.
“Perasaan ini membuatku bahagia.” Laki-laki itu menatap mata sang perempuan.
“Aku juga. Aku juga merasa bahagia.” Perempuan itu membalas tatapan sang laki-laki. Ia tersenyum lembut.
“Boleh aku bertanya sesuatu? Kau boleh menganggapku idiot atau bodoh atau apapun itu karena telah menanyakan hal ini.” Laki-laki itu terlihat gugup. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan.
“Tentu. Dan, tidak. Aku tidak akan menganggapmu idiot atau bodoh atau apapun itu.” Perempuan itu masih menatap laki-laki di depannya itu.
Sang laki-laki berdeham. Ia menarik nafas panjang.
“Apakah kau…. Apakah setiap kali kau bersamaku, kau merasa jantungmu berdegup kencang seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.” Jawab sang perempuan.
“Lalu, apakah setiap kali melihatku, perutmu serasa digelitik seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
“Lalu, apakah setiap kali kau mendengar suaraku, ada bagian dari dirimu yang ingin menyimpan suara itu, untuk selalu kau bawa bersamamu…” laki-laki itu berhenti sejenak. “seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
Mereka terdiam lagi.
“Satu pertanyaan terakhir.” Kata laki-laki itu.
“Baik.”
“Apa kau tahu perasaan apa yang sedang kita rasakan sekarang?”
Perempuan itu memandang sang laki-laki penuh arti.
“Tidak. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku tak pernah merasakan sebelumnya.”
“Aku juga.”
Laki-laki dan perempuan itu menutup percakapan. Rasa heran dan kosong menyergap benak mereka. Mereka dapat merasakannya. Merasakan perasaan bahagia itu. Tapi, mereka tak pernah tahu. Tak pernah ada yang tahu disebut apa perasaan itu.