Selasa, 14 Februari 2012

Selamat hari kasih sayang, wanitaku...

Sayang, selamat sore. Aku baru saja pulang bekerja. Rasanya lelah sekali badan ini. Tapi begitu bersamamu, lelah ini menghilang entah kemana. Hehe. Aku rindu, sayang. Aku rindu sekali. Ingin aku memelukmu dengan erat, mengecup keningmu, atau hanya sekedar duduk berdua menikmati kopi panas dengan cream kesukaanmu. Ah sayangku, aku benar-benar rindu.
Sayang, orang selalu bilang, bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita. Mereka tidak tahu mimpi-mimpi kita. Jadi, biarkan saja. Jangan hiraukan mereka ya, sayang. Kita tidak selemah yang mereka pikir. Kau, wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, kau jangan pernah bersedih ya.
Oh iya sayang, kau ingat, waktu pertama kita berkenalan? Waktu itu kau menunggu bus untuk pulang sekolah. Aku menawarkan tumpangan untukmu, tapi kau menolak. Memang saat itu, kita tidak terlalu dekat. Kita beda kelas. Tapi, aku selalu mengagumimu. Keberanianku untuk menawarkan tumpangan untukmu luluh lantak dengan satu kalimatmu, “tidak, terima kasih.” Dan kau tersenyum. Oh, bidadari memang nyata adanya!
Keesokan harinya, aku menawarkan tumpangan lagi untukmu. Dan kau menolak lagi. Kau memang keras kepala ya, sayang. Di hari ketiga, aku berjalan ke halte. Menemanimu menunggu hingga naik bus. Di dalam bus, kita duduk sebangku. Dan akhirnya kita berkenalan. Aku sadar, aku terlihat bodoh saat itu. Aku tegang sekali hingga tak bisa mencari bahan obrolan. Ah aku belum memberitahumu ya. Sebenarnya saat itu aku membawa sepeda motorku. Hanya saja aku ingin bersamamu. Jadilah, setelah kau turun dari bus, aku mencari bus untuk kembali ke sekolah, untuk mengambil sepeda motorku. Hehe, bodoh sekali ya, sayang.
Terlalu asyik aku bercerita, tak sadar langit telah gelap. Ah, sayang. Aku harus pulang. Besok sepulang kerja, aku akan kesini lagi. Menemanimu lagi. Jadi, jangan sedih ya, sayangku. Aku pulang dulu, sayang.
Kuletakkan sebuket mawar merah dan sekotak cokelat kesukaannya. Aku berjalan pelan menjauhi pusaranya. Terisak, aku menangis lagi.
Selamat hari kasih sayang, wanitaku…

Rabu, 01 Februari 2012

Naskah Hidup

Ini bukan cerita yang kau inginkan. Ini bukan episode-episode yang kau impikan. Aku tahu. Aku tahu benar. Kita hanya pelakon drama kehidupan. Sudah ada sang sutradara yang mengatur ini semua. Bagaimanapun, naskah hidup kita telah selesai ditulis. Dan kita hanya tinggal memerankannya seperti anjing bodoh yang setia kepada majikan. Iya iya, tidak tidak. Hanya itu. Takdir dapat diubah? Tai. Itu hanya upaya manusia untuk memotivasi diri sendiri. Tapi, hey! Tak ada salahnya. Bahkan anjing bodoh pun tak ingin terlihat bodoh, bukan?
Naskah hidupku lebih keparat dibanding siapapun. Ya, kau bisa menyangkal itu. Aku tahu pasti kau merasa naskah hidupku lebih baik darimu. Karena memang begitulah manusia bereaksi. Benar-benar sampah. Bagaimana bisa aku mendapatkan naskah hidup yang seperti ini?! Akan ku lakukan apapun untuk casting sebagai pemeran drama hidup yang lain. Oh, percayalah! Aku memang tak baik dalam menjalani lakonku disini. Tapi, aku pasti lebih jika aku mendapat peran yang lain. Aku percaya itu.
Ah, setidaknya kau masih bisa makan enak didalam rumah yang nyaman. Bukan di sebuah prostitusi kelas sapi yang bau busuk ini. Setidaknya kau masih punya kedua orang tua. Bukan seorang germo menor yang tidak punya hati ini. Setidaknya kau masih bisa mengenyam pendidikan. Bukan mengenyam kelamin para laki-laki hidung belang ini. Anjing! Hey, kau anjing! Jangan pernah bilang hidupmu tidak lebih baik dariku! Tahu apa kau, bangsat!
Tai. Tai tetap saja tai. Aku hanya bisa berharap sang sutradara telah menyiapkan akhir bahagia untukku. Jika tidak, aku tak akan berhenti merutuknya. Dasar sutradara pembuat hidup sialan!