Berjalan lurus tanpa arah, aku
seringkali tersesat. Diantara seluk beluk kebutuhan duniawi, aku menghalalkan
segala cara untuk bertahan hidup. Ini kebutuhan. Untukku dan keluargaku
bertahan dalam arus kebiadaban dunia. Persetan dengan opini orang. Toh bukan
mereka yang menghidupiku. Mengais dengan darah dan dosa, aku semakin tersesat.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.00
WIB. Aku dan teman-teman satu wismaku bersolek diri seperti biasanya. Hari ini
aku memakai baju baru pemberian salah satu pelangganku. Baju yang menurutnya
cocok untukku, menonjolkan bentuk tubuhku yang molek.
“Kau tampak cantik,” Komentar
Handoko, pelanggan tetapku.
Bapak satu anak itu memuji tubuhku
dengan belaian. Dengan dekapan mesra dan ciuman panas. Aku hanya tersenyum.
Pujian-pujian seperti itu sudah seringkali aku dengar. Hanya sebagai intermezzo mereka sebelum aku
melayaninya.
Malam ini sudah 6 tamu telah aku
layani. Germoku tersenyum puas. Senyum yang terdapat pada bibir bergincu merah
darah itu membuatku bergidik. Selama ini, dialah Tuhan-ku. Dia yang dapat
mengatur kehidupanku. Kapan aku bisa bahagia, dan kapan tidak.
Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba.
Germoku memberi kebebasan untuk kami tetap berada di wisma, atau pulang
kampung. Tahun-tahun lalu aku menghabiskan Ramadhan di wisma. Masih tetap
melayani. Namun, tahun ini aku berencana pulang kampung. Entah kenapa,
tiba-tiba rasa rindu kepada emak menjalariku.
“Bagaimana nduk, di kota? Kerasan toh?”
komentar emak saat kita duduk-duduk di teras rumah. Emak membelai rambutku dengan
sayang. Belaian yang sangat berbeda dengan yang selama ini aku rasakan dengan
para lelaki pencari kelamin.
“Ya
wes gitu itu, mak. Mau ndak mau ya kerasan,” jawabku.
Emak masih belum tahu apa
pekerjaanku di kota. Bagaimana aku menghabiskan malam di dekapan lelaki-lelaki
beristri. Yang emak tahu, aku bekerja kantoran di kota. Iya kantoran memang,
kantor kelamin.
Aku begitu menyayangi emak. Begitu
sayangnya, hingga aku bersedia melakukan segala cara untuk dapat membuatnya
bahagia. Sayangnya, cara yang aku pilih berbeda. Mencari jalan pintas untuk
mendapat lembaran rupiah dengan lebih gampang. Dan hasilnya sekarang, kehidupan
emak memang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bapak meninggalkan kami dengan
hutang. Tanpa sawah, tanpa harta peninggalan apapun, emak bekerja keras
menggarap sawah milik tetangga. Kini, emak telah memiliki sawah sendiri. Ia
juga sudah bisa menyewa petani untuk menggarap sawahnya.
“Yang penting jangan lupa sama Gusti
Allah, nduk. Gimana-gimana juga
Pangeran yang ngatur segalanya. Gusti Allah mboten sare.” Nasehat emak.
Aku hanya diam. Ngatur opo, batinku. Aku kayak gini apa iya Gusti juga yang ngatur?
Kalau aku meninggalkan pekerjaan nistaku ini, apa iya Gusti bisa memberi yang
lebih baik? Sempat 1 tahun hidup lontang-lantung di kota, Gusti juga diam saja.
Hingga akhirnya aku sendiri yang mengaturnya. Mengatur hidupku.
Minggu kedua bulan Ramadhan, emak mendengar
kabar dari tetangga yang menceritakan pekerjaanku di kota. Ia marah bukan main.
Ia menangis dan memohon kepadaku untuk berhenti. Aku ikut marah. Ia tidak tahu
bagaimana susahnya aku mengais uang untuk kehidupannya yang lebih baik.
“Ya
Allah, nduk. Kok isok kowe dadi koyok ngene? Taubat, nduk, taubat.” Emak menangis tersedu-sedu.
“Emak ndak tahu gimana susahnya cari uang di kota. Ini semua buat emak
juga! Untuk kehidupan emak!” belaku.
“Emak ndak perlu hidup enak yen
kowe nyari duit dengan cara sing ndak nggenah ngene,” tangisnya.
“Wes
to mak, aku ngerti opo sing tak lakokne. Wes, nek emak ora gelem nerimo duitku maneh yo rapopo!”
Saat itu juga aku kembali ke kota.
Ke tempatku mengais rejeki selama ini. Emak benar-benar keterlaluan. Aku hidup
nista seperti ini juga demi kehidupanku dan kehidupannya. Tapi, ia malah
memperlakukanku seperti ini. Ia anggap aku menjijikkan.
Hari itu adalah hari terakhir aku
bertemu emak. Hari terakhir aku merasakan dekapan penuh sayang dari emak.
Setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah kembali ke kampung. Sudah 5 tahun
lamanya. Aku tetap saja menjalani pekerjaan maksiatku, tanpa mengindahkan
nasehat emak. Walaupun begitu, aku masih tetap mengirim uang ke kampung.
Berharap emak akan ikhlas menerima uang haramku.
Namun,
itu hanya harapan. Ia tidak mau memakai uangku lagi. Uang yang aku kirim
dikumpulkan oleh emak dan tersimpan rapi di dalam lemarinya. Selama ini ia
bertahan hidup dari sawahnya. Hingga ia tidak mampu lagi membiayai petani yang
menggarap sawahnya, dan akhirnya menjualnya. Emak bertahan hidup hanya dengan
uang itu. Hingga akhir hayatnya.
Kini,
emak telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Beberapa bulan setelah kembali
ke kota saat itu, aku terserang HIV AIDS. Si germo yang dulu menyayangiku
mengusirku seakan aku tak pernah menghasilkan uang untuknya. Seakan dulu aku
tak pernah menjadi kembang kebanggaan di wismanya.
Aku
tak punya keluarga lagi. Aku tak punya tempat bernaung lagi. Kerabat-kerabatku
menjauhiku karena tahu pekerjaanku. Apalagi penyakitku. Nasehat emak yang dulu
terngiang di telingaku. Emak benar. Gusti
Allah mboten sare. Mengkhianati emakku, mengkhianati Tuhan-ku, aku menuai
apa yang telah aku tanam. Beribu ampun, Gusti… Nyuwun pangapunten…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar