Selasa, 09 Juli 2013

Gusti Allah Mboten Sare

            Berjalan lurus tanpa arah, aku seringkali tersesat. Diantara seluk beluk kebutuhan duniawi, aku menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup. Ini kebutuhan. Untukku dan keluargaku bertahan dalam arus kebiadaban dunia. Persetan dengan opini orang. Toh bukan mereka yang menghidupiku. Mengais dengan darah dan dosa, aku semakin tersesat.
            Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku dan teman-teman satu wismaku bersolek diri seperti biasanya. Hari ini aku memakai baju baru pemberian salah satu pelangganku. Baju yang menurutnya cocok untukku, menonjolkan bentuk tubuhku yang molek.
            “Kau tampak cantik,” Komentar Handoko, pelanggan tetapku.
            Bapak satu anak itu memuji tubuhku dengan belaian. Dengan dekapan mesra dan ciuman panas. Aku hanya tersenyum. Pujian-pujian seperti itu sudah seringkali aku dengar. Hanya sebagai intermezzo mereka sebelum aku melayaninya.
            Malam ini sudah 6 tamu telah aku layani. Germoku tersenyum puas. Senyum yang terdapat pada bibir bergincu merah darah itu membuatku bergidik. Selama ini, dialah Tuhan-ku. Dia yang dapat mengatur kehidupanku. Kapan aku bisa bahagia, dan kapan tidak.
            Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba. Germoku memberi kebebasan untuk kami tetap berada di wisma, atau pulang kampung. Tahun-tahun lalu aku menghabiskan Ramadhan di wisma. Masih tetap melayani. Namun, tahun ini aku berencana pulang kampung. Entah kenapa, tiba-tiba rasa rindu kepada emak menjalariku.
            “Bagaimana nduk, di kota? Kerasan toh?” komentar emak saat kita duduk-duduk di teras rumah. Emak membelai rambutku dengan sayang. Belaian yang sangat berbeda dengan yang selama ini aku rasakan dengan para lelaki pencari kelamin.
            “Ya wes gitu itu, mak. Mau ndak mau ya kerasan,” jawabku.
            Emak masih belum tahu apa pekerjaanku di kota. Bagaimana aku menghabiskan malam di dekapan lelaki-lelaki beristri. Yang emak tahu, aku bekerja kantoran di kota. Iya kantoran memang, kantor kelamin.
            Aku begitu menyayangi emak. Begitu sayangnya, hingga aku bersedia melakukan segala cara untuk dapat membuatnya bahagia. Sayangnya, cara yang aku pilih berbeda. Mencari jalan pintas untuk mendapat lembaran rupiah dengan lebih gampang. Dan hasilnya sekarang, kehidupan emak memang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bapak meninggalkan kami dengan hutang. Tanpa sawah, tanpa harta peninggalan apapun, emak bekerja keras menggarap sawah milik tetangga. Kini, emak telah memiliki sawah sendiri. Ia juga sudah bisa menyewa petani untuk menggarap sawahnya.
            “Yang penting jangan lupa sama Gusti Allah, nduk. Gimana-gimana juga Pangeran yang ngatur segalanya. Gusti Allah mboten sare.” Nasehat emak.
            Aku hanya diam. Ngatur opo, batinku. Aku kayak gini apa iya Gusti juga yang ngatur? Kalau aku meninggalkan pekerjaan nistaku ini, apa iya Gusti bisa memberi yang lebih baik? Sempat 1 tahun hidup lontang-lantung di kota, Gusti juga diam saja. Hingga akhirnya aku sendiri yang mengaturnya. Mengatur hidupku.
            Minggu kedua bulan Ramadhan, emak mendengar kabar dari tetangga yang menceritakan pekerjaanku di kota. Ia marah bukan main. Ia menangis dan memohon kepadaku untuk berhenti. Aku ikut marah. Ia tidak tahu bagaimana susahnya aku mengais uang untuk kehidupannya yang lebih baik.
            “Ya Allah, nduk. Kok isok kowe dadi koyok ngene? Taubat, nduk, taubat.” Emak menangis tersedu-sedu.
            “Emak ndak tahu gimana susahnya cari uang di kota. Ini semua buat emak juga! Untuk kehidupan emak!” belaku.
            “Emak ndak perlu hidup enak yen kowe nyari duit dengan cara sing ndak nggenah ngene,” tangisnya.
            “Wes to mak, aku ngerti opo sing tak lakokne. Wes, nek emak ora gelem nerimo duitku maneh yo rapopo!”
            Saat itu juga aku kembali ke kota. Ke tempatku mengais rejeki selama ini. Emak benar-benar keterlaluan. Aku hidup nista seperti ini juga demi kehidupanku dan kehidupannya. Tapi, ia malah memperlakukanku seperti ini. Ia anggap aku menjijikkan.
            Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu emak. Hari terakhir aku merasakan dekapan penuh sayang dari emak. Setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah kembali ke kampung. Sudah 5 tahun lamanya. Aku tetap saja menjalani pekerjaan maksiatku, tanpa mengindahkan nasehat emak. Walaupun begitu, aku masih tetap mengirim uang ke kampung. Berharap emak akan ikhlas menerima uang haramku.
Namun, itu hanya harapan. Ia tidak mau memakai uangku lagi. Uang yang aku kirim dikumpulkan oleh emak dan tersimpan rapi di dalam lemarinya. Selama ini ia bertahan hidup dari sawahnya. Hingga ia tidak mampu lagi membiayai petani yang menggarap sawahnya, dan akhirnya menjualnya. Emak bertahan hidup hanya dengan uang itu. Hingga akhir hayatnya.
Kini, emak telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Beberapa bulan setelah kembali ke kota saat itu, aku terserang HIV AIDS. Si germo yang dulu menyayangiku mengusirku seakan aku tak pernah menghasilkan uang untuknya. Seakan dulu aku tak pernah menjadi kembang kebanggaan di wismanya.
Aku tak punya keluarga lagi. Aku tak punya tempat bernaung lagi. Kerabat-kerabatku menjauhiku karena tahu pekerjaanku. Apalagi penyakitku. Nasehat emak yang dulu terngiang di telingaku. Emak benar. Gusti Allah mboten sare. Mengkhianati emakku, mengkhianati Tuhan-ku, aku menuai apa yang telah aku tanam. Beribu ampun, Gusti… Nyuwun pangapunten…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar