Aku masih ingat sekali nasehatnya
waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan
sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya
ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai
tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa
lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan
yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar
yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan
bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang
diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang
dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan
saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu
apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di,
aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan!
Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau
juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau
melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya.
Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran
menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak
kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan
istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu
ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa
mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang
tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku
juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh
akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku
masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi
yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau
tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air
mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”