Rabu, 10 Desember 2014

Desember

Saya menyukai Desember. Tak pernah tahu pasti alasannya, namun Desember membawa kedamaian tersendiri bagi saya. Desember ibarat rumah yang selama ini saya tuju. Yang membuat saya menghela nafas lega dan berkata, “Ah, akhirnya tiba juga di bulan ini.”

Mungkin karena Desember merupakan bulan di penghujung tahun. Bulan dimana saya menengok kembali ke bulan-bulan sebelumnya dan mengingat apa yang telah saya lalui sepanjang tahun. Bulan pengasih yang seakan dapat memaafkan segala bentuk keabnormalan saya dan memeluk saya dengan lembut.

“Yang lalu biarlah. Because you made it until today. Don’t worry, you did great.” Mungkin jika Desember bisa berbicara, ia akan berbicara seperti itu.

Desember bagi setiap orang memang berbeda-beda. Namun, Desember saya selalu memaafkan.

Terlalu terlambat memang untuk mengatakan ini, namun terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali kan?

Selamat datang, Desember. Terima kasih telah bersedia menemani.


Rabu, 29 Oktober 2014

Musikalisasi Puisi: Ijinkan Aku

Sebuah musikalisasi puisi olehku dan para peramu imaji ulung, Rizal Firdausy a.k.a Teweh dan Amartha Anindita a.k.a May. Para mahkluk Tuhan yang kusayangi secara utuh, mereka, telah menciptakan sebuah alunan keresahan yang menjalar indah dan membuat candu.

Ijinkan Aku.
aku hanya ingin meminjam cahayamu sebentar.
mungkin sinarnya meredup, tapi percayalah ia tetap hidup.
meski pada tubuh-tubuh yang terlantar, ia tetap berpendar.
ijinkan aku meminjam cahayamu sebentar.
sudah lama aku tak merasakan hangat ini.
kehangatan yang mendamaikan setiap jengkal tubuh.
yang memelukku lembut dalam kekal, yang meredam suar keluh.
"jalang!"
mungkin kau berfikir seperti itu.
"bedebah!"
riak makimu kepadaku.
silahkan saja mendaifkanku semaumu.
aku tahu, kau pemilik utuh cahaya itu.
kaulah tuannya.
sedang aku, seorang benalu yang menginginkan secercanya.
yang bahkan harus mengemis untuk sebuah kedamaian fana.
tenang, sayang.
aku tak bermaksud mengambil alih cahayamu.
aku tahu ia milikmu.
namun ijinkan aku, ijinkan aku meminjam cahayamu sebentar. 
untukku.
untukku seorang.

Selasa, 28 Oktober 2014

Tak Bisa Aku Benar-Benar Mencintaimu

Sebab, ada lagu-lagu kami yang mengalir merdu di telinga.
Sebab, ada foto-foto yang mengkekalkan ribuan memori.
Sebab, ada telepon-telepon yang tanpa sengaja selalu ditunggu.
Sebab, ada pesan-pesan dalam ponsel yang masih enggan dihapus.

Adalah rindu yang tak bisa ditepis.
Adalah kenangan yang seringkali datang tanpa diundang.
Adalah hari-hari yang dulu kami lewati bersama.
Adalah tawa renyahnya yang masih sering terdengar dalam angan.

Jadi, ia yang entah sekarang ada dimana, masih bertahta disini.
Jadi, ia yang entah sekarang sedang apa, masih bertahan disini.
Jadi, ia yang entah sekarang milik siapa, masih bersemai disini.
Jadi, maafkan aku, kekasihku.


Tak bisa aku benar-benar mencintaimu.

Selasa, 30 September 2014

Teruntuk Wanita di Depan Altar

                Aku mengambil sebuah jas hitam yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk acara ini. Kulihat pantulan diriku sekali lagi di kaca untuk memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilanku. Aku menghela nafas. Masih tidak beranjak dari depan kaca.
Sebentar lagi aku akan melihatnya berdiri di depan altar. Wanita yang selalu aku cintai. Tidak dengan t-shirt band favorit dan sneakers kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia akan mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan warna senada yang membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya yang selalu diikat asal akan ditata rapi dan dihiasi dengan mahkota kecil dan wedding veil. Wajahnya yang memang sudah cantik tanpa make-up akan terlihat lebih cantik dengan make-up.
                Kau terlihat sangat cantik, akan kubisikkan itu padanya. Lalu, ia akan tersenyum dan menunjukkan dua lesung pipi yang menjadi ciri khas nya. Seperti yang selalu ia lakukan di tahun-tahun yang lalu.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya aku memutuskan untuk berangkat.
                Ia disana. Wanita yang selalu aku cintai. Tepat seperti apa yang aku bayangkan. Cantik. Anggun. Selalu membuatku jatuh cinta.
                Ya. Ia disana.
                 Aku duduk dalam diam. Mendoakan kebahagiaannya kepada Tuhan. Mendoakan agar ia selalu bahagia dalam setiap nafas yang dihembusnya. Dan berdoa, agar aku masih bisa melihat senyumnya yang dulu selalu ia tujukan hanya untukku.
Ya Allah, bahagiakanlah ia. Juga... keluarga kecil mereka. Ucapku dalam hati.
Aku membaca ulang sebuah notes kecil yang telah aku persiapkan dengan sebuket bunga tulip kesukaannya.

“Dear Catherine,

Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut berbahagia. Dan, kau terlihat sangat cantik hari ini. Ah, tidak. Kau memang selalu cantik dimataku. Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Alif.”


Aku dan dia memang tidak akan pernah bisa sama. Namun, kita tak pernah bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan aku, hingga saat ini, masih jatuh cinta padanya.

Jumat, 26 September 2014

Bulimia

Aku mengkonsumsi. Lalu, memuntahkan. Begitulah definisi bulimia. Namun, kasusku disini, bukan makanan yang aku konsumsi. Tapi, memori. Ribuan memori tentang aku dan kau, yang dulu pernah disebut dengan “kita”.
Memori yang menyenangkan, yang membawaku kembali dalam alunan rindu yang merdu sekaligus memekakkan telinga. Sekali waktu aku membuka kembali memori kita. Perlahan, lalu terbiasa. Begitu candunya aku akan memori itu.
Namun, aku segera memuntahkannya. Itu sangat tidak baik bagi tubuhku. Terlebih, hatiku.
Pernah suatu waktu, aku begitu kelaparan dan menghabiskan banyak porsi tentang memori kita. Tak pernah ada kata kenyang. Aku menjadi lebih rakus dari hari ke hari. Namun, disaat yang sama, aku segera memuntahkannya kembali. Aku tak bisa menambah kalori-kalori rindu ini untuk tubuhku. Sudah terlalu banyak lemak yang menguasai.
Aku sadar sekali ini tak baik untukku. Aku benar-benar sadar. Namun, candu ini begitu menggoda. Tak pernah cukup aku akan kau. Akan kita. Walau sekarang kau entah sedang beradu kasih dengan siapa. Walau aku tak pernah tahu pasti bibir siapa yang akan kau kecup. Tubuh baru yang kau peluk. Sebuah jiwa baru untuk kau ambil.
“Percayalah, aku akan selalu berada disini. Di dekatmu. Walau nyatanya memang kita terpaut jarak ribuan kilometer yang begitu menyiksa. Namun, aku selalu disini. Bersamamu. Kau harus percaya itu.”
Lebih dari ribuan kali kalimat itu aku telan mentah-mentah. Mengendap di seluruh tubuhku. Membuat jantungku berdegup tak karuan ketika aku memutar ulang memori itu. Lalu, tak lama, air mata seakan tak sanggup lagi berada di pelupuk. Ia jatuh. Tepat ketika aku bersuara...
“Iya. Aku percaya. Aku selalu percaya.”
Penyakit ini sudah begitu akut. Aku ingin sembuh. Aku tak ingin candu ini menggerogoti tiap aliran darahku. Tidak mudah memang, tapi aku harus mencoba.

Tak akan lagi aku mengkonsumsi memori ini. Sehingga tak akan ada lagi yang harus dimuntahkan selanjutnya. Seperti kata-kataku saat iku, “Aku percaya. Aku selalu percaya.” Ya. Aku percaya aku bisa.

Sabtu, 05 Juli 2014

Teruntuk Sebuah Nyawa Di Dalam Rahimku

Selamat pagi, kamu di dalam perutku. Aku masih tidak menyangka kamu hadir dalam kehidupanku. Dalam hari-hariku. Kamu yang akan menemaniku selama 9 bulan nanti. Kamu yang akan selalu ada denganku. Aku tidak sabar untuk melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dengan bantuan mesin USG sang bidan.
Kamu sang juara. Bayangkan betapa banyak teman yang kamu kalahkan untuk menetap di rahimku. Kamu juaranya! Kamu yang terhebat! Kamu hebat, Nak!
Nak, anakku tersayang. Jika kelak kamu telah lahir ke dunia, jangan pernah tanya siapa bapakmu ya. Karena sejujurnya, ibu pun tidak tahu. Tidak ada yang tahu siapa bapakmu. Tapi, ibu bisa menjadi ibu sekaligus bapak untukmu. Ibu janji. Ibu akan melakukan apa saja untuk bisa membahagiakanmu.

Ibumu memang seorang jalang. Bapakmu tak lebih hina dari binatang. Tapi, anakku sayang. Ibu pasti akan selalu membuatmu senang.

Masih Sanggupkah Kau Tersenyum Nanti?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Setelah ujian yang datang bertubi-tubi kepadamu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah orang-orang menghinamu disana-sini, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah semuanya menyudutkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah sakit yang terasa mematikan, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah hidup yang kau punya satu-satunya terkoyak, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kebahagiaan yang perlahan meninggalkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kehancuran begitu ingin menghampirimu, masih sanggupkah kau tersenyum?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Berhenti

Aku masih ingat sekali nasehatnya waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di, aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan! Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”