Sabtu, 05 Juli 2014

Teruntuk Sebuah Nyawa Di Dalam Rahimku

Selamat pagi, kamu di dalam perutku. Aku masih tidak menyangka kamu hadir dalam kehidupanku. Dalam hari-hariku. Kamu yang akan menemaniku selama 9 bulan nanti. Kamu yang akan selalu ada denganku. Aku tidak sabar untuk melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dengan bantuan mesin USG sang bidan.
Kamu sang juara. Bayangkan betapa banyak teman yang kamu kalahkan untuk menetap di rahimku. Kamu juaranya! Kamu yang terhebat! Kamu hebat, Nak!
Nak, anakku tersayang. Jika kelak kamu telah lahir ke dunia, jangan pernah tanya siapa bapakmu ya. Karena sejujurnya, ibu pun tidak tahu. Tidak ada yang tahu siapa bapakmu. Tapi, ibu bisa menjadi ibu sekaligus bapak untukmu. Ibu janji. Ibu akan melakukan apa saja untuk bisa membahagiakanmu.

Ibumu memang seorang jalang. Bapakmu tak lebih hina dari binatang. Tapi, anakku sayang. Ibu pasti akan selalu membuatmu senang.

Masih Sanggupkah Kau Tersenyum Nanti?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Setelah ujian yang datang bertubi-tubi kepadamu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah orang-orang menghinamu disana-sini, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah semuanya menyudutkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah sakit yang terasa mematikan, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah hidup yang kau punya satu-satunya terkoyak, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kebahagiaan yang perlahan meninggalkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kehancuran begitu ingin menghampirimu, masih sanggupkah kau tersenyum?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Berhenti

Aku masih ingat sekali nasehatnya waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di, aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan! Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”