Kita bersentuhan dalam rangsangan
yang tak lagi bisa dibendung. Ciuman demi ciuman kau daratkan di bibir hingga
leherku. Desahanku memenuhi kamar hotel bintang 5 ternama yang sering kita
sewa. Kau membuka bajuku dengan kasar dan menindihku di atas tempat tidur. Kau mulai
melucuti pakaianmu tanpa melepas bibir kita yang masih berpagutan. Dengan gairah
yang telah memuncak, kita pun mulai bersenggama.
“Jadi bagaimana?” tanyaku sambil
memandangmu yang beranjak dari kasur setelah memuaskan birahi satu sama lain.
“Apanya?” tanyamu sambil kembali
mengancingkan kancing kemejamu satu persatu.
“Tentang kita,” jawabku lirih.
“Kita sudah pernah membahas
tentang ini,” ujarmu. Ada percikan amarah yang terdengar melalui nada bicaramu.
Namun, aku mengabaikannya.
“Tapi, sampai kapan?” aku masih
gigih meminta jawaban pasti.
“Dengar, sayang. Aku bisa
memberikanmu apapun. Handphone, mobil, apartemen, tubuhku, semua bisa aku
berikan untukmu,” kau berusaha menenangkanku dengan mengecup lembut dahiku. Tapi,
itu tak berhasil.
“Kamu tahu bukan itu yang aku
inginkan,” jawabku ketus.
“Ya. Dan kamu tahu tak ada dari
kita yang ingin hidup kita sama-sama hancur,” jelasmu. “Maaf, tapi aku harus
lekas kembali ke rumah. Istriku sudah menunggu.”
Kau berjalan keluar
meninggalkanku yang masih terbaring tanpa sehelai benangpun. Aroma tubuhmu
masih bisa kurasakan, begitu juga dengan peluh dan cairanmu yang menempel di tubuhku.
Ah, aku tak pernah menyangka
hidupku akan serumit ini. Entah bagaimana dua insan yang saling mencintai
seperti kita tak pernah bisa bersama untuk selamanya.
Aku membenamkan wajahku dengan
kedua tangan. Aku mulai menangis. Karena aku sadar, takdir tak akan pernah
mempersatukan dua laki-laki seperti kita.