Selasa, 21 Juni 2016

Rumit

Kita bersentuhan dalam rangsangan yang tak lagi bisa dibendung. Ciuman demi ciuman kau daratkan di bibir hingga leherku. Desahanku memenuhi kamar hotel bintang 5 ternama yang sering kita sewa. Kau membuka bajuku dengan kasar dan menindihku di atas tempat tidur. Kau mulai melucuti pakaianmu tanpa melepas bibir kita yang masih berpagutan. Dengan gairah yang telah memuncak, kita pun mulai bersenggama.
“Jadi bagaimana?” tanyaku sambil memandangmu yang beranjak dari kasur setelah memuaskan birahi satu sama lain.
“Apanya?” tanyamu sambil kembali mengancingkan kancing kemejamu satu persatu.
“Tentang kita,” jawabku lirih.
“Kita sudah pernah membahas tentang ini,” ujarmu. Ada percikan amarah yang terdengar melalui nada bicaramu. Namun, aku mengabaikannya.
“Tapi, sampai kapan?” aku masih gigih meminta jawaban pasti.
“Dengar, sayang. Aku bisa memberikanmu apapun. Handphone, mobil, apartemen, tubuhku, semua bisa aku berikan untukmu,” kau berusaha menenangkanku dengan mengecup lembut dahiku. Tapi, itu tak berhasil.
“Kamu tahu bukan itu yang aku inginkan,” jawabku ketus.
“Ya. Dan kamu tahu tak ada dari kita yang ingin hidup kita sama-sama hancur,” jelasmu. “Maaf, tapi aku harus lekas kembali ke rumah. Istriku sudah menunggu.”
Kau berjalan keluar meninggalkanku yang masih terbaring tanpa sehelai benangpun. Aroma tubuhmu masih bisa kurasakan, begitu juga dengan peluh dan cairanmu yang menempel di tubuhku.
Ah, aku tak pernah menyangka hidupku akan serumit ini. Entah bagaimana dua insan yang saling mencintai seperti kita tak pernah bisa bersama untuk selamanya.
Aku membenamkan wajahku dengan kedua tangan. Aku mulai menangis. Karena aku sadar, takdir tak akan pernah mempersatukan dua laki-laki seperti kita.