Jumat, 09 September 2016

Melalui Sebuah Nama

Aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Yang aku tahu hanyalah goresan nama di dinding usang yang tanpa sengaja kutemukan di toilet umum pujasera dekat kantorku, lengkap dengan nomor teleponnya. Maya. Begitu nama itu tertulis. Seperti nama mantan kekasihku dulu yang meninggalkanku demi laki-laki barunya. Tapi, itu cerita lama.
Tanpa pikir panjang aku pun menyimpan nomor telepon itu di ponselku. Maya. Nama yang tak begitu asing terdengar di telingaku. Di tempat kerjaku sendiri ada 2 Maya. Maya pertama merupakan rekan kerjaku yang mempunyai body aduhai. Sudah bukan rahasia lagi jika teman-teman kantorku suka mengajak Maya untuk berkencan hingga berakhir di ranjang. Maya malah dengan senang hati melayani mereka.
Maya yang kedua adalah bosku satu-satunya, seorang janda tanpa anak yang begitu gemar memarahi anak buahnya, termasuk aku. Pernah suatu kali aku gagal saat meraih target bulananku. Maya marah habis-habisan, semua sumpah serapah ia teriakkan kepadaku. Aku langsung kalut dan menghabiskan sisa malam itu dengan menenggak 5 botol bir kesukaanku.
Lalu, seperti apa Maya kali ini? Penasaran, aku pun mengirim sebuah pesan pendek ke nomor ponselnya. "Hai, Maya," tulisku. Dengan cepat aku mengirim pesan itu sebelum aku dapat menyesali perbuatanku. Tak butuh waktu lama untuk Maya membalas pesanku.
"Iya :) Ini siapa ya?" jawabnya.
"Gundala. Tapi Maya bisa memanggilku Dala aja," balasku.
"Namanya unik sekali. Salam kenal Dala :)," ujarnya.
"Nama Maya juga cantik. Pasti secantik orangnya," godaku.
"Ah Dala sok tahu :p," timpalnya.
Soreku di kantor kuhabiskan dengan berbalas pesan dengan Maya. Aku pun penasaran apa pekerjaan Maya hingga akhirnya nomornya bersarang di dinding kamar mandi umum. Apakah dia seorang wanita panggilan? Apakah dia korban kekesalan mantan kekasihnya hingga akhirnya nomornya disebarluaskan di tempat kotor? Rasa penasaranku yang semakin memuncak akhirnya kulampiaskan juga.
"Maya, kalau boleh tahu Maya kerja apa ya?" tanyaku. Aku tak sampai hati untuk mengatakan jika aku menemukan nomornya di dinding kamar mandi. Aku takut Maya jadi marah atau bahkan sedih saat mengetahui fakta tersebut.
"Aku buka usaha sendiri. Online shop lebih tepatnya. Hehe. Lebih enak kerja sendiri daripada ikut orang," jawabnya.
Sepertinya Maya bukan wanita panggilan. Paling tidak setahuku. Ia sama sekali tak menggodaku diluar batas atau mengajakku bercinta dengan tarif yang ditentukannya. Mungkin Maya adalah opsi kedua, yaitu korban mantan kekasihnya. Namun, aku tak pernah menanyakan hal itu.
Percakapanku dan Maya pun berlanjut hingga keesokan hari. Maya menjelaskan ia asli Surabaya dan tak pernah pindah dari Kota Pahlawan hingga 24 tahun hidupnya. Maya menyukai film, terutama film dengan genre drama romantis, tipikal perempuan. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun mengajak Maya nonton film terbaru yang sedang tayang di bioskop. Sayangnya, ia menolak ajakanku.
"Maaf, Dala. Aku belum cukup kenal Dala untuk bisa percaya kalau Dala cuma bermaksud ngajak menonton," ujarnya.
Aku kaget melihat jawabannya. Bukan seperti yang kuharapkan karena toh kita sudah saling kenal melalui berbagai kiriman pesan. Tapi, aku maklum. "Tenang, Maya. Aku janji cuma ngajak Maya nonton aja. Yah, kalau beruntung setelah nonton kita bisa makan malam sambil mengenal lebih jauh," jawabku.
"Terima kasih banyak atas tawarannya, Dala. Tapi, maaf banget aku nggak berani. Dala orang asing sih :p," balasnya.
"Makanya kita ketemu supaya Maya nggak ngerasa asing lagi. Tenang aja, aku udah jinak kok," candaku.
Maya kembali menolak ajakanku. Aku semakin heran kenapa gadis semanis dan selugu Maya bisa ada di dinding kotor tempatku pertama kali mengenalnya. Maya yang ini sepertinya tak seganas kedua Maya di kantorku dan sejahat Maya mantan kekasihku. Maya yang ini begitu membuatku penasaran dengan setiap barisan kata yang dikirimkannya untukku.
Dua hari kemudian, tepat jam satu malam Maya mengirim pesan untukku. Pesan yang tak pernah kusangka akan hadir di kotak pesanku dari Maya.
"Dala, lagi apa? Aku kesepian nih. Dala temenin dong," tulisnya.
"Maya kenapa? Ada masalah?" balasku basa-basi. Padahal aku tahu pasti apa yang dimaksud kesepian olehnya.
"Enggak sih, cuma ngerasa kesepian aja. Coba Dala ada di sini. Di kamar kosku. Di samping tempat tidurku...," jawabnya.
Aku yang tadinya malas-malasan di kamar langsung terduduk tegak. Akhirnya, seruku dalam hati.
"Kos Maya dimana? Aku bersedia kok nemenin Maya ;)," ujarku penuh harap.
"Nggak bisa, Dala. Kan aku udah bilang Dala orang asing. Aku nggak berani ketemu Dala dulu. Dala nemenin aku lewat sini aja ya. Btw, malem ini panas banget ya. Aku mau tidur sampai nggak pake apa-apa," balasnya.
Penisku langsung bereaksi setelah membaca kata-kata terakhir Maya di pesan itu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung meladeninya. Berbagai pesan penuh birahi saling berbalas hingga membuatku ereksi. Terangsang oleh pesan-pesan darinya, aku pun ejakulasi.
Sejak saat itu setiap malam kuhabiskan dengan berbalas pesan nakal dengan Maya. Setiap malam juga aku membayangkan meniduri tubuh indah Maya dan menghisap puting merah muda miliknya seperti yang dideskripsikannya.
Aku tak mempermasalahkan lagi alasan-alasan Maya saat tak mau diajak bertemu, atau bahkan sekedar mendengarkan suaranya via telepon. Maya sepertinya lebih nyaman untuk saling memuaskan nafsu satu sama lain melalui pesan. Dan aku pun tak keberatan sama sekali. Selama Maya masih membalas pesan-pesanku. Selama Maya masih mau melayaniku walau sekedar lewat pesan.
Siapa sangka, berawal dari kamar mandi pujasera dekat kantorku, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis bernama Maya yang siap menjadi objek fantasi-fantasi liarku. Ah Maya... Nama yang indah untuk gadis yang indah pula.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sebuah kamar kos kecil, seorang lelaki tambun berkacamata tampak asik mengetik di layar ponselnya. Lelaki itu sesekali menggaruk kelaminnya yang terasa gatal akibat berhari-hari tak mengganti celana dalam karena terlalu malas untuk mandi.
Lelaki itu terkadang tersenyum sendiri ke arah ponselnya. Tak ada yang tahu dengan siapa ia berbalas pesan. Namun, satu yang ia tahu pasti. Seorang lelaki bernama Gundala telah mengikuti permainan iseng yang dibuatnya dibilik kecil kamar mandi pujasera dekat tempat kosnya beberapa hari lalu.
Gundala mengenalnya dengan nama Maya. Bukan tubuh seksi perempuan seperti yang selama ini dibayangkan Gundala, Maya ternyata hidup dalam sosok laki-laki tambun berkacamata yang menjadikannya bahan fantasinya sendiri.