Aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Yang aku
tahu hanyalah goresan nama di dinding usang yang tanpa sengaja kutemukan di
toilet umum pujasera dekat kantorku, lengkap dengan nomor teleponnya. Maya.
Begitu nama itu tertulis. Seperti nama mantan kekasihku dulu yang meninggalkanku demi laki-laki barunya. Tapi, itu cerita
lama.
Tanpa pikir panjang aku pun menyimpan nomor telepon
itu di ponselku. Maya. Nama yang tak begitu asing terdengar di telingaku. Di
tempat kerjaku sendiri ada 2 Maya. Maya pertama merupakan rekan kerjaku yang
mempunyai body aduhai. Sudah bukan rahasia lagi jika teman-teman kantorku suka
mengajak Maya untuk berkencan hingga berakhir di ranjang. Maya malah dengan
senang hati melayani mereka.
Maya yang kedua adalah bosku satu-satunya, seorang
janda tanpa anak yang begitu gemar memarahi anak buahnya, termasuk aku. Pernah
suatu kali aku gagal saat meraih target bulananku. Maya marah habis-habisan,
semua sumpah serapah ia teriakkan kepadaku. Aku langsung kalut dan menghabiskan
sisa malam itu dengan menenggak 5 botol bir kesukaanku.
Lalu, seperti apa Maya kali ini? Penasaran, aku pun mengirim
sebuah pesan pendek ke nomor ponselnya. "Hai, Maya," tulisku. Dengan
cepat aku mengirim pesan itu sebelum aku dapat menyesali perbuatanku. Tak butuh
waktu lama untuk Maya membalas pesanku.
"Iya :) Ini siapa ya?" jawabnya.
"Gundala. Tapi Maya bisa memanggilku Dala aja," balasku.
"Namanya unik sekali. Salam kenal Dala
:)," ujarnya.
"Nama Maya juga cantik. Pasti secantik
orangnya," godaku.
"Ah Dala sok tahu :p," timpalnya.
Soreku di kantor kuhabiskan dengan berbalas pesan
dengan Maya. Aku pun penasaran apa pekerjaan Maya hingga akhirnya nomornya
bersarang di dinding kamar mandi umum. Apakah dia seorang wanita panggilan?
Apakah dia korban kekesalan mantan kekasihnya hingga akhirnya nomornya
disebarluaskan di tempat kotor? Rasa penasaranku yang semakin memuncak akhirnya
kulampiaskan juga.
"Maya, kalau boleh tahu Maya kerja apa
ya?" tanyaku. Aku tak sampai hati untuk mengatakan jika aku menemukan
nomornya di dinding kamar mandi. Aku takut Maya jadi marah atau bahkan sedih
saat mengetahui fakta tersebut.
"Aku buka usaha sendiri. Online shop lebih
tepatnya. Hehe. Lebih enak kerja sendiri daripada ikut orang," jawabnya.
Sepertinya Maya bukan wanita panggilan. Paling tidak
setahuku. Ia sama sekali tak menggodaku diluar batas atau mengajakku bercinta
dengan tarif yang ditentukannya. Mungkin Maya adalah opsi kedua, yaitu korban
mantan kekasihnya. Namun, aku tak pernah menanyakan hal itu.
Percakapanku dan Maya pun berlanjut hingga keesokan
hari. Maya menjelaskan ia asli Surabaya dan tak pernah pindah dari Kota
Pahlawan hingga 24 tahun hidupnya. Maya menyukai film, terutama film dengan
genre drama romantis, tipikal perempuan. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku
pun mengajak Maya nonton film terbaru yang sedang tayang di bioskop. Sayangnya,
ia menolak ajakanku.
"Maaf, Dala. Aku belum cukup kenal Dala
untuk bisa percaya kalau Dala cuma bermaksud ngajak menonton,"
ujarnya.
Aku kaget melihat jawabannya. Bukan seperti yang kuharapkan karena toh kita sudah saling kenal melalui berbagai kiriman pesan. Tapi, aku
maklum. "Tenang, Maya. Aku janji cuma ngajak Maya nonton aja. Yah, kalau
beruntung setelah nonton kita bisa makan malam sambil mengenal lebih
jauh," jawabku.
"Terima kasih banyak atas tawarannya, Dala. Tapi,
maaf banget aku nggak berani. Dala orang asing sih :p," balasnya.
"Makanya kita ketemu supaya Maya nggak ngerasa
asing lagi. Tenang aja, aku udah jinak kok," candaku.
Maya kembali menolak ajakanku. Aku semakin heran
kenapa gadis semanis dan selugu Maya bisa ada di dinding kotor tempatku pertama
kali mengenalnya. Maya yang ini sepertinya tak seganas kedua Maya di kantorku dan sejahat Maya mantan kekasihku.
Maya yang ini begitu membuatku penasaran dengan setiap barisan kata yang dikirimkannya untukku.
Dua hari kemudian, tepat jam satu malam Maya mengirim
pesan untukku. Pesan yang tak pernah kusangka akan hadir di kotak pesanku dari
Maya.
"Dala, lagi apa? Aku kesepian nih. Dala temenin
dong," tulisnya.
"Maya kenapa? Ada masalah?" balasku
basa-basi. Padahal aku tahu pasti apa yang dimaksud kesepian olehnya.
"Enggak sih, cuma ngerasa kesepian aja. Coba
Dala ada di sini. Di kamar kosku. Di samping tempat tidurku...," jawabnya.
Aku yang tadinya malas-malasan di kamar langsung
terduduk tegak. Akhirnya, seruku dalam hati.
"Kos Maya dimana? Aku bersedia kok nemenin Maya
;)," ujarku penuh harap.
"Nggak bisa, Dala. Kan aku udah bilang Dala
orang asing. Aku nggak berani ketemu Dala dulu. Dala nemenin aku lewat sini aja
ya. Btw, malem ini panas banget ya. Aku mau tidur sampai nggak pake
apa-apa," balasnya.
Penisku langsung bereaksi setelah membaca kata-kata
terakhir Maya di pesan itu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung meladeninya.
Berbagai pesan penuh birahi saling berbalas hingga membuatku ereksi. Terangsang
oleh pesan-pesan darinya, aku pun ejakulasi.
Sejak saat itu setiap malam kuhabiskan dengan
berbalas pesan nakal dengan Maya. Setiap malam juga aku membayangkan meniduri
tubuh indah Maya dan menghisap puting merah muda miliknya seperti yang
dideskripsikannya.
Aku tak mempermasalahkan lagi alasan-alasan Maya
saat tak mau diajak bertemu, atau bahkan sekedar mendengarkan suaranya via
telepon. Maya sepertinya lebih nyaman untuk saling memuaskan nafsu satu sama
lain melalui pesan. Dan aku pun tak keberatan sama sekali. Selama Maya masih
membalas pesan-pesanku. Selama Maya masih mau melayaniku walau sekedar lewat
pesan.
Siapa sangka, berawal dari kamar mandi pujasera
dekat kantorku, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis bernama Maya yang siap
menjadi objek fantasi-fantasi liarku. Ah Maya... Nama yang indah untuk gadis
yang indah pula.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sebuah kamar kos kecil, seorang lelaki tambun berkacamata tampak asik
mengetik di layar ponselnya. Lelaki itu sesekali menggaruk
kelaminnya yang terasa gatal akibat berhari-hari tak mengganti celana dalam
karena terlalu malas untuk mandi.
Lelaki itu terkadang tersenyum sendiri ke arah
ponselnya. Tak ada yang tahu dengan siapa ia berbalas pesan. Namun, satu yang
ia tahu pasti. Seorang lelaki bernama Gundala telah mengikuti permainan iseng
yang dibuatnya dibilik kecil kamar mandi pujasera dekat tempat kosnya beberapa
hari lalu.
Gundala mengenalnya dengan nama Maya. Bukan tubuh
seksi perempuan seperti yang selama ini dibayangkan Gundala, Maya ternyata
hidup dalam sosok laki-laki tambun berkacamata yang menjadikannya bahan
fantasinya sendiri.