Jumat, 15 September 2017

Malam Temaram

Aku dapat melihat bulan sabit dari jendela kamarnya.
Bulan favoritku.
Aku dapat mendengar dengkur tidurnya di sampingku.
Suara favoritku.
Aku dapat memandang wajah tirusnya dari cahaya temaram.
Wajah favoritku.

Jam ini, menit ini, detik ini, adalah akhir dari sebuah perjalanan singkat.
Dalam hidup yang hanya sementara, aku tak menyangka dia telah membuatku terpikat.
Ah, di malam yang sungguh pekat.
Sayangnya waktu kita telah tenggat.

Selamat tinggal.
Terima kasih telah bersedia singgah.

Jumat, 16 Juni 2017

Secuil Cerita Tentang Lingga, Yang Dulu Pernah Menjadi Linggaku

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"
Kalimat itu menjadi titik awal dari akhir yang baru. Kami memang pernah berakhir karena ketakutanku akan perasaanku sendiri.

Mari kuceritakan sejenak tentang Lingga. Manusia setinggi 173cm pemilik mata teduh, yang membuatku betah untuk berlama-lama menatapnya.

Aku bertemu Lingga pertama kali di sebuah rumah sakit. Saat itu aku menemani ibuku dan Lingga hanya seorang diri entah sedang apa. Pertama kali aku melihat Lingga, aku tak tahu bahwa nantinya kami akan dipertemukan lagi.

Tapi satu yang aku tahu pasti, Lingga membuatku tertarik untuk mengamatinya. Aku dan ibuku duduk di sebuah bangku, sedangkan Lingga ada hanya beberapa langkah di depanku.

Dari belakang aku melihatnya. Lama. Lalu perhatianku teralih pada suster yang memanggil nama ibuku. Kami pun masuk dan tak pernah bertemu lagi dengan Lingga, itu yang aku pikirkan saat itu.

Di jalan pulang, aku bercerita pada ibuku tentang Lingga, sosok yang hanya dalam waktu beberapa detik bisa membuatku jatuh cinta. Kalian mungkin tak percaya cinta pada pandangan pertama itu ada. Akupun awalnya begitu, tapi hey, aku baru saja merasakannya.

"Ibu lihat cowok tinggi yang tadi ada di depan kita?" tanyaku pada ibu yang aku bonceng di atas motor bututku.
"Yang mana?" balas ibu.
"Yang menarik, yang tadi duduk beberapa bangku di depan kita," jawabku masih tetap memfokuskan diri pada jalanan.
"Oh yang sendirian itu? Kenapa emang?" tanya ibu.
"Aku suka dia," ungkapku.
Ibu diam saja. Ia mungkin berpikir saat itu aku sedang meracau.

Perbincangan itu terjadi secara tiba-tiba dan berlalu begitu saja. Selang beberapa bulan, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Lingga. Ia ternyata karyawan di tempat kerja baruku. Demi Tuhan, aku kaget bukan main.

Ketika itu karyawan-karyawan baru sepertiku berbincang mengenai ini itu. Kuliah, pekerjaan lama, momen interview, semua saling berbagi pengalaman. Begitu pula denganku. Tapi mereka tak tahu, bahwa mataku tak pernah lepas dari Lingga. Lingga sekali lagi berada hanya beberapa jangkau dariku. Aku ingin menyapanya, ingin mengatakan bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi, seperti biasa aku terlalu takut dan mengurungkan niatku.

Siapa sangka ternyata ketakutan itu membuatku berada pada titik ini. Titik terendah untuk orang yang sedang jatuh cinta. Aku sadar betul, bahwa seharusnya aku tak melulu merasa seperti ini. Tapi, logika dan hatiku memutuskan untuk berseteru. Terus begitu sepanjang hari.

Sekarang akan aku ceritakan hubunganku dengan Lingga. Hubunganku dan Lingga memang rumit. Kami pernah lebih dari sekedar teman, tapi tak bisa disebut kekasih. Aku pernah merasa begitu terbuai olehnya, tapi aku juga pernah merasa begitu jatuh.

Aku sadar aku menyukainya, dan aku juga sadar Lingga tak menyukaiku. Lingga tipe manusia yang lebih suka pada perempuan idaman semua pria. Sedangkan aku? Tak perlu aku jawab karena kalian pasti bisa menebaknya sendiri.

Suatu hari aku dibuat begitu linglung oleh perasaanku sendiri. Karena ketakutanku, aku memutuskan untuk menjauhi Lingga. Hubungan kami yang tampaknya baik-baik saja akhirnya merenggang karena keputusanku sendiri. Saat itu aku merasa aku tak ingin lagi terbayang-bayang oleh orang yang sudah pasti tak akan menjadi masa depanku.

Lingga bingung atas keputusanku yang tiba-tiba. Ia heran mengapa aku memutuskan untuk membuat hubungan kami jadi buruk. Tapi, ia menerimanya. Mungkin karena ia juga sadar aku tak bisa menjadi bagian dalam masa depannya.

Sejak saat itu tak ada lagi sosok Lingga dalam hidupku. Aku sibuk (atau menyibukkan diri) dengan duniaku, dan dia kembali ke dunianya.

Seminggu berlalu, aku jatuh sakit. Bukan dalam arti sebenarnya, tapi aku benar-benar sakit. Rasa sakit yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kau melihat postingannya di media sosial. Rasa sakit yang muncul saat ponselmu berbunyi dan berharap itu darinya. Rasa sakit yang tak pernah ingin kau harapkan dan akhirnya membuatmu terkapar.

Lalu, aku memutuskan untuk mencari obat akan rasa sakitku. Lingga. Dia satu-satunya obat yang bisa menyembuhkanku. Aku mempertaruhkan segala harga diri yang tersisa untuk menghubunginya.

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"

Kau mungkin akan berpikir, perempuan macam apa yang mengajak laki-laki yang telah ia jauhi secara sepihak untuk bertemu kembali. Tapi, persetan. Saat itu aku merasa menjauhinya adalah hal yang baik untukku. Namun, malah kebalikannya. Rinduku mengalahkan segalanya.

Itu tadi pernyataan dan pertanyaan yang aku kirim untuknya. Negatif. Obatku tampaknya sudah kadaluarsa. Ia tak bergeming sedikitpun.

Keesokan harinya aku masih melalui hariku tanpa Lingga. Namun, tiba-tiba Lingga muncul dan membuatku sehat seperti sedia kala, meski masih ada beberapa bagian tubuh yang tak lagi sama, harga diri misalnya.

Kami setuju untuk bertemu. Kau tak mengerti betapa senangnya aku saat itu. Lingga pamit sejenak, ada hal yang harus dibereskan, katanya. Aku mengiyakan. Dan aku menunggu. Menunggu. Menunggu. Dan terus menunggu.

Menunggu untuk bisa bersama lagi dengan Lingga. Menunggu untuk melampiaskan segala rindu yang tertimbun. Menunggu untuk bisa berbincang entah tentang apa.

Tapi, ternyata Lingga hilang. Lingga yang dulu selalu bergerilya di pikiranku. Lingga yang pernah membuatku sebal dan bahagia dalam waktu bersamaan. Lingga yang selalu bisa membuatku tersenyum saat kami bersama. Lingga itu tak ada lagi.

Linggaku pergi. Membiarkanku mati membusuk akan ego dan ketakutanku sendiri. Ia pergi. Bersama dengan secuil harapan, Linggaku memutuskan untuk tak kembali.

Sabtu, 20 Mei 2017

To The Man I Loved

How have you been?
I know you never ask, but I'm doing okay here.
Well, barely.
Tonight is one of those nights when suddenly I remember you.
Remember how close we were.
Remember the way you said my name.
Remember those beautiful eyes of yours.
Pathetic, I know.
I'll get over you fully as soon as possible.
I promise.
But, not today.
Maybe not tomorrow either.
Hey, do you ever wonder how it would be if we date?
We'd be the weirdest couple ever.
Cause I'm weird.
And you're weird too for liking a girl like me.
Sometimes I really wanna go back in time.
When everything was okay for us.
But, okay is not enough.
I kept getting greedy over you.
I kept wanting you for myself.
Only for me.
And that what killed me at the end.

To the man I loved.
Thank you for the memories.
The good one, the bad one.
Everything.
Now, I need to go and live my current life.
I'm sure I'll be okay.
I wish I am.

Senin, 01 Mei 2017

Dua Puluh Empat

Dua puluh empat. Usia yang tak lagi muda, namun juga tak benar-benar tua.

Dua puluh empat. Hampir seperempat abad, tapi masih sering mengumpat.

Dua puluh empat. Ketika wajah-wajah lama semakin lenyap, wajah -wajah baru datang untuk mengendap.

Dua puluh empat. Hanya bisa menatap, kemana hidup akan membawanya menetap.

Dua puluh empat. Masih percaya romansa klise, membuatnya larut dalam berbagai fase.

Dua puluh empat. Waktunya keluar dari zona nyaman, meski harus berada di tempat tak aman.

Dua puluh empat. Saat raga semakin lemah, oleh kerasnya kehidupan tanpa arah.

Dua puluh empat. Tiga puluh persen matang, tujuh puluh persen masih senang-senang.

Dua puluh empat. Usia yang tepat untuk menata hidup, tanpa tahu apa yang harus diraup.

Dua puluh empat. Berharap kelak akan datang orang yang tepat.

Jumat, 07 April 2017

Catatan Orang Baik #2: Bocor

Jumat (7/4/2017) sekitar jam 1 dini hari saya pulang melewati jalanan Sukodono, Sidoarjo. Ketika di jalan sebenarnya saya telah merasakan motor saya oleng. Tapi, waktu itu saya berpikir mungkin ban motor saya hanya kurang angin. Saya pun terus melaju ke arah rumah.

Tiba-tiba di depan Puspa Agro, ban motor saya pecah. Alhasil, motor pun langsung oleng nggak karuan, untungnya saat itu tak ada satu pun kendaraan yang melintas.

Setelah meminggirkan motor, saya menelepon ibu saya untuk mengabarkan keadaan. Ibu lalu berkata akan mengirim adik saya.

Saya menunggu adik saya bersama penjual nasi goreng serta 3 pria yang baru selesai makan. Mereka adalah orang baik pertama yang saya temui malam itu.

Mereka menemani saya menunggu adik setelah menunjukkan tukang tambal terdekat yang buka 24 jam.

"Mending ganti ban tubles, mbak. Kalau kena paku nggak perlu langsung tambal, nanti tambalnya kalau udah gajian," saran si penjual nasi goreng. Saya manggut-manggut aja karena memang tak begitu paham tentang masalah per-ban-an.

Tak lama, adik saya datang. Setelah pamit ke penjual nasi goreng serta 3 pria tadi, saya mulai menaiki motor saya pelan-pelan ke tukang tambal ban terdekat, yaitu di pertigaan Kletek.

Awalnya saya dorong motor saya, lalu adik saya menyarankan untuk dinaiki saja, toh nanti juga pasti ganti ban dalam karena bannya sudah pecah. Dia adalah orang baik kedua.

Adik saya sama sekali tak mengeluh ketika menemani saya. Bahkan ia dengan santai bercerita banyak tentang hal-hal kecil di warung kopi sebelah tukang tambal.

Setelah sampai di rumah, saya lihat ibu dan ayah saya sudah masuk di kamar mereka. Namun, kemudian ibu keluar. Ia bertanya tentang insiden tak terduga malam itu. Saya jawab nggak papa karena adik juga nggak ngeluh.

Ibu saya tak marah, hanya khawatir. Percakapan kami pun berujung pada kotak makan yang lupa saya bawa kerja pagi tadi. Padahal lauknya daging empal kesukaan saya, saya baru tahu ketika jam istirahat tiba.

Ibu saya tertawa ketika tahu saya lupa. Ternyata ia masih menyimpan daging empalnya untuk saya karena tahu itu lauk kesukaan saya. Dagingnya tinggal 3, lainnya dimakan ibu saya yang ternyata juga doyan. 3 daging itu lalu dibagi saya, ibu, dan adik saya. Ya, ibu adalah orang baik ketiga bagi saya malam itu.

Ayah saya juga masuk di daftar orang baik keempat. Ayah awalnya ingin ikut adik untuk menemani saya. Tapi, adik saya nggak mau karena dia tahu jika ayah saya ikut, maka dia yang akan disuruh dorong motor saya sedangkan saya dan ayah naik motornya.

Oh iya, tukang tambalnya juga baik karena memasang tarif normal untuk ban dalam saya, padahal awalnya saya takut harganya akan dinaikin karena tahu saya benar-benar butuh. Penjaga warung di sebelah tukang tambal juga sama baiknya, ia telah mengizinkan saya mengisi baterai ponsel walaupun hanya sebentar.

Catatan kali ini entah kenapa begitu panjang lebar. Intinya, malam dimana saya merasa sangat buruk ternyata malah membuat saya merasakan kebaikan orang-orang di sekitar saya. Ah, saya sangat beruntung.

Sabtu, 25 Maret 2017

Dia Bernama Laras

Perempuan berparas ayu yang sering kujumpai ketika aku tanpa sengaja lewat taman dekat komplek, dia bernama Laras.
Perempuan yang tak pernah lepas dari senyum ceria entah apapun yang ia rasakan saat itu, dia bernama Laras.
Perempuan yang selalu memakai sneakers butut tapi masih juga kece, dia bernama Laras.
Perempuan yang doyan nyamil lembaran keju, dia bernama Laras.
Perempuan berambut pendek yang secara cepat dapat menyita perhatianku, dia bernama Laras.
Perempuan yang aku kagumi dari jauh, dia bernama Laras.

Kalian pasti terusik karena aku berkali-kali menyebut namanya dalam setiap kalimat.
Aku maklum, kalian tak tahu betapa susahnya aku mengetahui nama perempuan yang telah berdiam lama di pikiranku itu.
Aku maklum, tak apa.

Suatu hari ibuku memberiku sebuah undangan yang tak aku ketahui dari siapa.
Kata ibu, itu dari tetangga satu komplek sekaligus anak teman ibu.
Kata ibu, anaknya seumuran denganku.
Kata ibu, anaknya tahu anggota karang taruna komplek, aku satu diantaranya.
Kata ibu, ia memang mengundang seluruh anak muda, baik yang ikut karang taruna atau tidak.

Undangan itu berupa bakti sosial sekaligus perayaan pernikahan.
Anak teman ibu keren juga, pikirku.
Ia tak menggelar resepsi pernikahan seperti layaknya orang umum.
Bakti sosial itu lah resepsi pernikahan yang, kata ibu, ia selalu inginkan.
Lalu, aku sekali lagi membaca nama yang tertera di undangan.

Dari sini kalian pasti sudah bisa menebak siapa yang memberiku undangan.
Ya, dia adalah Laras.
Nama yang baru aku dengar dari undangan pernikahannya.
Tapi orang yang telah aku kenal lama walaupun hanya bersifat satu arah.

Ketika tanggal pernikahan tiba aku datang ke sebuah panti asuhan tempat mereka menggelar bakti sosial.
Tak ada perayaan mewah, bahkan Laras tak memakai gaun pengantin.
Laras yang biasa aku lihat dari jauh, kali ini ia memakai perias wajah.
Jauh, jauh lebih memukau dari biasanya.
Aku tersenyum kecut, tampaknya aku masih saja mengagumi Laras yang telah menjadi istri orang.

Laras dan suaminya yang biasa aja, lebih keren aku, pikirku, menghampiriku dan anak-anak karang taruna lain.
Yang lainnya berjabat tangan dan mengucapkan selamat untuk mempelai.
Aku diam saja, menikmati sisa-sisa Laras untukku sendiri.
Kemudian tiba giliranku, aku menjabat tangannya, sepersekian detik lebih lama dari anak-anak lain.
Aku bisa melihat Laras dari dekat.
Aku menahan gejolak diri untuk menyentuh wajahnya, untuk berteriak bahwa akulah yang pantas mendampinginya.

Setelah acara selesai Laras tampak sendirian sambil mengamati tamu undangan yang hadir.
Lalu mata kita bertemu. Aku luluh lantak. Istri orang ini, masih juga menghipnotisku.
Kudekati dia dengan mengumpulkan segenap keberanian.
Aku tak mau menjadi pengecut seumur hidupku.

"Laras," kataku.
"Iya?" jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu tahu aku?" pertanyaan yang bodoh, pikirku.
Laras ketawa kecil.
"Tahu lah, kalau aku nggak tahu kan kamu nggak mungkin aku undang," jawabnya.
Aku diam, bingung.
"Kok bisa? Kan kita nggak pernah ketemu," ujarku.
Laras menatapku lama, aku masih bingung.
"Kamu selalu naik vespa merah saat melewati komplek taman, kamu selalu minum es kelapa muda depan komplek, kamu selalu pakai jaket jeans nggak layak pakai itu, kamu juga selalu diam-diam ngelihatin aku. Itu kamu kan?" jawabnya, masih juga tersenyum.
Headshot saudara-saudara, aku tumbang.
Bagaimana bisa selama ini Laras yang aku perhatikan dari jauh diam-diam juga memperhatikanku?
Bermimpi tentang itu pun aku tak berani.
Aku diam, merasa bingung sekaligus kalah.
"Suamiku," lanjutnya. "Adalah orang asing yang mengajakku kenalan di taman komplek. Ternyata dia adalah teman dari kakak temanku. Kata dia, dia sudah lama suka sama aku. Awalnya dia cuma bisa ngelihatin aja sampai akhirnya dia berani ngajak kenalan."
Aku mengutuk dalam hati.
"Dia sama denganmu, hanya saja dia lebih berani," kata Laras sambil melemparkan senyum terakhirnya untukku, lalu ia pergi.
Laras meninggalkanku yang masih diam terpaku.
Aku mengulang lagi setiap detil kalimat yang diucapkannya tentangku.

Ya Tuhan. Ya Tuhanku yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Seharusnya Laras bisa menjadi Larasku jika saja aku satu langkah lebih cepat dari pria yang kini telah mempersuntingnya itu.
AAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!!!!
DASAR SIALAN!!!!!!!!!
Ternyata aku tetap menjadi pengecut seumur hidupku........

Minggu, 19 Maret 2017

Catatan Orang Baik #1: Pom Bensin

Kejadian ini saya alami di sebuah pom bensin yang terletak di dekat Pasar Sukodono, Sidoarjo. Kejadian ini lah yang menginspirasi saya untuk membuat seri Catatan Orang Baik.
Saat itu sekitar pukul 15.00 WIB kurang, Minggu (19/3/2017), saya mampir ke sebuah pom bensin untuk mengisi scoopy milik saya. Ada 4 motor yang mengantre Pertalite di depan saya. Ketika antrean sudah menjadi 2 motor, saya turun untuk membuka penutup tangki bensin saya.
Kebetulan sekali penutup tangki saya susah untuk dibuka, entah karena saat itu saya memakai sarung tangan atau memang alot. Tiba-tiba bapak yang sedang mengantre di belakang saya menawarkan bantuan.
"Bisa neng?" tanya bapak itu. Mungkin usianya sekitar 50-an, berkumis, saat itu pakai kaos oblong hitam. Ia ragu-ragu untuk maju membantu karena saya masih berusaha membuka sendiri.
"Bisa pak," jawab saya sambil tersenyum, mungkin bapak itu nggak sadar saya tersenyum karena saya sedang memakai masker. Akhirnya setelah susah payah, penutup tangki berhasil saya buka.
Setelah mengisi Pertalite Rp 15 ribu, saya menoleh ke bapak baik itu. Saya pamit, walaupun nggak kenal, dan saya lupa untuk berterima kasih. Meskipun bapak itu akhirnya nggak membantu saya, paling tidak ia berniat untuk membantu.

"Monggo pak," kata saya. Bapak itu tersenyum, "Enggeh, monggo," balasnya.

Catatan Orang Baik: Sebuah Pengantar

Saya ingin memperkenalkan jenis postingan blog terbaru saya yang bernama Catatan Orang Baik.
Mengapa disebut demikian? Jawabannya simple, karena postingan ini akan berisi catatan-catatan orang baik yang telah saya alami, saya lihat, atau saya dengar.

Mengapa? Memang penting? Misalkan kalian bertanya seperti itu, saya ada jawabannya. Ya, menurut saya catatan ini memang penting.

Sebenarnya, ada banyak sekali orang-orang baik yang ada disekitar kita, yang baik pada kita. Namun, sering kali tanpa sadar kita mengabaikannya. Seperti kata pepatah, "Nila setitik, rusak susu sebelangga" kurang lebih begitu, kita lebih ingat pada orang-orang yang berbuat tak baik pada kita. Padahal, orang tak baik pun kadang pernah baik pada kita. Nah, menurut saya hal itu sebenarnya sayang sekali jika dilupakan begitu saja.

Tindakan baik yang tanpa sadar kita sadari kebanyakan bersifat remeh, sehingga hanya dalam waktu satu atau dua jam kita sudah lupa. Dengan adanya catatan ini, saya berharap kebaikan para orang baik itu akan kekal dalam bentuk tulisan. Bisa jadi juga untuk pembelajaran bagi kalian bahwa di dunia ini, atau paling tidak di tempat kalian tinggal, masih banyak sekali orang baik. Jika kalian keberatan menjadikan catatan ini sebagai bentuk pembelajaran, nggak papa, biar saya sendiri saja yang merasakannya.

Sekian pengantar Catatan Orang Baik dari saya, semoga saya konsisten untuk terus menulis tentang berbagai orang baik yang saya temui. Terima kasih banyak.