Selasa, 30 September 2014

Teruntuk Wanita di Depan Altar

                Aku mengambil sebuah jas hitam yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk acara ini. Kulihat pantulan diriku sekali lagi di kaca untuk memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilanku. Aku menghela nafas. Masih tidak beranjak dari depan kaca.
Sebentar lagi aku akan melihatnya berdiri di depan altar. Wanita yang selalu aku cintai. Tidak dengan t-shirt band favorit dan sneakers kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia akan mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan warna senada yang membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya yang selalu diikat asal akan ditata rapi dan dihiasi dengan mahkota kecil dan wedding veil. Wajahnya yang memang sudah cantik tanpa make-up akan terlihat lebih cantik dengan make-up.
                Kau terlihat sangat cantik, akan kubisikkan itu padanya. Lalu, ia akan tersenyum dan menunjukkan dua lesung pipi yang menjadi ciri khas nya. Seperti yang selalu ia lakukan di tahun-tahun yang lalu.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya aku memutuskan untuk berangkat.
                Ia disana. Wanita yang selalu aku cintai. Tepat seperti apa yang aku bayangkan. Cantik. Anggun. Selalu membuatku jatuh cinta.
                Ya. Ia disana.
                 Aku duduk dalam diam. Mendoakan kebahagiaannya kepada Tuhan. Mendoakan agar ia selalu bahagia dalam setiap nafas yang dihembusnya. Dan berdoa, agar aku masih bisa melihat senyumnya yang dulu selalu ia tujukan hanya untukku.
Ya Allah, bahagiakanlah ia. Juga... keluarga kecil mereka. Ucapku dalam hati.
Aku membaca ulang sebuah notes kecil yang telah aku persiapkan dengan sebuket bunga tulip kesukaannya.

“Dear Catherine,

Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut berbahagia. Dan, kau terlihat sangat cantik hari ini. Ah, tidak. Kau memang selalu cantik dimataku. Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Alif.”


Aku dan dia memang tidak akan pernah bisa sama. Namun, kita tak pernah bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan aku, hingga saat ini, masih jatuh cinta padanya.

Jumat, 26 September 2014

Bulimia

Aku mengkonsumsi. Lalu, memuntahkan. Begitulah definisi bulimia. Namun, kasusku disini, bukan makanan yang aku konsumsi. Tapi, memori. Ribuan memori tentang aku dan kau, yang dulu pernah disebut dengan “kita”.
Memori yang menyenangkan, yang membawaku kembali dalam alunan rindu yang merdu sekaligus memekakkan telinga. Sekali waktu aku membuka kembali memori kita. Perlahan, lalu terbiasa. Begitu candunya aku akan memori itu.
Namun, aku segera memuntahkannya. Itu sangat tidak baik bagi tubuhku. Terlebih, hatiku.
Pernah suatu waktu, aku begitu kelaparan dan menghabiskan banyak porsi tentang memori kita. Tak pernah ada kata kenyang. Aku menjadi lebih rakus dari hari ke hari. Namun, disaat yang sama, aku segera memuntahkannya kembali. Aku tak bisa menambah kalori-kalori rindu ini untuk tubuhku. Sudah terlalu banyak lemak yang menguasai.
Aku sadar sekali ini tak baik untukku. Aku benar-benar sadar. Namun, candu ini begitu menggoda. Tak pernah cukup aku akan kau. Akan kita. Walau sekarang kau entah sedang beradu kasih dengan siapa. Walau aku tak pernah tahu pasti bibir siapa yang akan kau kecup. Tubuh baru yang kau peluk. Sebuah jiwa baru untuk kau ambil.
“Percayalah, aku akan selalu berada disini. Di dekatmu. Walau nyatanya memang kita terpaut jarak ribuan kilometer yang begitu menyiksa. Namun, aku selalu disini. Bersamamu. Kau harus percaya itu.”
Lebih dari ribuan kali kalimat itu aku telan mentah-mentah. Mengendap di seluruh tubuhku. Membuat jantungku berdegup tak karuan ketika aku memutar ulang memori itu. Lalu, tak lama, air mata seakan tak sanggup lagi berada di pelupuk. Ia jatuh. Tepat ketika aku bersuara...
“Iya. Aku percaya. Aku selalu percaya.”
Penyakit ini sudah begitu akut. Aku ingin sembuh. Aku tak ingin candu ini menggerogoti tiap aliran darahku. Tidak mudah memang, tapi aku harus mencoba.

Tak akan lagi aku mengkonsumsi memori ini. Sehingga tak akan ada lagi yang harus dimuntahkan selanjutnya. Seperti kata-kataku saat iku, “Aku percaya. Aku selalu percaya.” Ya. Aku percaya aku bisa.