Sabtu, 26 Mei 2012

Apa salahku?


Aku lapar. Aku lapar sekali. Sudah seharian aku tidak makan apa-apa. Kenapa wanita ini tidak memberiku makan. Kenapa dia tidak makan untukku? Aku hanya diberi asap. Asap rokok yang mengepul dan membuatku tidak nyaman. Tidak ada makanan, hanya asap. Aku hanya bisa berdiam diri. Berharap ia akan memakan sesuatu untuk membuatku kenyang. Tapi, yang dilakukannya seharian hanya berkutat dengan nikotin. Seakan-akan itu telah menjadi oksigennya.
Wanita ini berdiri dari duduknya. Ia muntah. Rasakan. Karena aku telah menendangnya sekuat tenaga. Salah sendiri ia membiarkanku. Salah sendiri ia tidak merawatku. Wajahnya yang ayu terlihat pucat setelah memuntahkan entah apapun itu. Tubuhnya terkulai lemas. Tanpa tenaga, ia kembali ke tempat duduknya semula.
Ia memegang kepalanya yang terasa pening. Tubuhku menjadi lemas juga. Ah, kenapa dia masih saja tidak memakan apa-apa. Ia kembali berkecimpung pada dunia asapnya. Tanpa memperdulikan aku yang kelaparan dan lemah ini.
Tok.. Tok..
Pintu kamarnya ada yang mengetuk. Ia segera beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Terlihat seorang laki-laki tambun dengan kumis tebal sudah berdiri disana. Ia segera memeluk laki-laki itu dengan mesra. Laki-laki itu membalas pelukannya.
Aku merasa mual. Ia membuatku mual dengan melihatnya bermesraan dengan laki-laki itu. Aku menendangnya sekali lagi dengan sangat keras. Ia memegangi perutnya, dan langsung beranjak ke kamar mandi, muntah lagi. Muntah kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Ia berkeringat dingin. Mukanya terlihat panik. Dengan gelisah, ia mengambil test pack dari kabinet di kamar mandi. Ia segera mengencinginya.
Laki-laki tambun itu juga terlihat gelisah. Pria itu memanggil-manggilnya dari luar kamar mandi. Mungkin ia terlalu takut untuk masuk. Terlalu takut untuk melihat kenyataan yang akan dihadapinya sebentar lagi.
Wanita ini keluar dari kamar mandi. Badannya terlihat lebih lunglai. Diberikannya test pack itu pada si lelaki tambun. Dua garis. Dua garis terlihat jelas pada test pack yang dipegangnya. Lelaki itu terdiam. Terlalu kaget. Terlalu mengagetkan. Ia melempar test pack itu padanya. Laki-laki tambun memakinya. Sumpah serapah diteriakkan. Wanita itu menangis. Ia menangis sesenggukan di hadapan laki-laki itu. Hal itu memompa amarah si lelaki tambun seketika. Ia menampar wanita itu dengan keras. Ia memaki lagi. Dan meninggalkan wanita itu begitu saja.
Wanita itu masih saja menangis. Ia terduduk lemah di lantai. Ia memukul-mukul perutnya. Tempatku berada. Aku kesakitan. Rasanya sakit sekali. Aku ikut menangis dengannya. Aku tidak minta untuk hidup dalam rahimnya. Ia yang membuatku berada disini. Ia yang memulainya. Tapi, ia tidak menginginkanku. Ia membenciku.
“Bangsaaaaaatttt!!” Ia memaki-maki.
Ia masih terus memukuli perutnya. Ia memukuliku. Aku tidak tahan. Sakit sekali rasanya. Aku merasa lemah. Mengapa ia menyalahkanku, apa salahku. Ia yang melakukannya. Bukan aku. Aku hanya menumpang untuk hidup di dunia ini melalu rahimnya. Mengapa ia begitu membenciku. Apa salahku?!
Pukulan-pukulannya membuatku kesakitan. Aku menyerah. Aku menyerah untuk bertahan melawan rasa sakit ini. Ibu… Maafkan aku…