Sabtu, 22 Desember 2012

Tuhan Maha Adil

Tuhanku yang Maha Adil, aku kelaparan. Dan mereka di luar sana makan dengan rakusnya hingga perut mereka sakit. Jangankan makan hingga sakit perut, sesuap nasi pun aku tidak punya.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kedinginan. Dan mereka di luar sana dengan mudah membeli jaket necis tebal yang mahal. Jangankan jaket necis tebal yang mahal, yang aku punya hanya selembar selimut tipis yang aku pakai berdua dengan adikku.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kesakitan. Dan mereka di luar sana terlihat segar bugar dengan vitamin yang dikonsumsinya setiap hari. Jangankan mengkonsumsi vitamin, untuk makan saja aku sudah kesusahan.

Kau memang adil Tuhanku. Kau memang adil.

Okay

"Telepon aku kapan saja kau membutuhkanku,"
"Okay."
"Jika kau sedang merasa kacau, telepon aku,"
"Okay."
"Jika kau tengah sedih, telepon aku."
"Okay."
"......."
"......."
"Sayang? Kau mendengarkanku?"
"Okay."

Berfikir

Aku berhenti berfikir sebentar untuk melihat hujan melalui jendela kamar. Tidak. Aku tidak bisa berhenti berfikir. Bahkan untuk berfikir aku akan berhenti berfikir pun, aku masih tetap berfikir. Sial. Aku mulai gila.

Jumat, 21 September 2012

Kita


                Dia berjalan menjauhiku. Dengan tenangnya, membawa segala kenangan-kenangan manis kami bersama. Ia tampak tegar dibalik semua pahit yang menghampirinya. Ia tak tampak ringkih. Ia masih saja seorang laki-laki kuat yang aku kenal. Yang aku percaya, bahwa hanya dia yang dapat membuatku merasa sebahagia ini.
                Tidak ada yang menyukai perpisahan ini. Kau tidak menyukainya. Apalagi aku. Air mata yang aku tahan sedari tadi akhirnya runtuh juga. Tidak, tidak di hadapanmu aku menangis. Aku juga mau terlihat kuat sepertimu. Walaupun itu semua hanya semu.
                Aku akan tetap menunggumu disini. Merapikan kenangan-kenangan kita yang masih tersisa. Dan menyusunnya rapi menjadi tumpukan rindu. Disinilah. Di tempat pertama kita bertemu, kita akan bertemu lagi. Memulai segala dari awal lagi. Kita akan membuat takdir kita sendiri. Yang akan kita jalani nantinya. Bernama, masa depan. Masa depan kita.

Sabtu, 26 Mei 2012

Apa salahku?


Aku lapar. Aku lapar sekali. Sudah seharian aku tidak makan apa-apa. Kenapa wanita ini tidak memberiku makan. Kenapa dia tidak makan untukku? Aku hanya diberi asap. Asap rokok yang mengepul dan membuatku tidak nyaman. Tidak ada makanan, hanya asap. Aku hanya bisa berdiam diri. Berharap ia akan memakan sesuatu untuk membuatku kenyang. Tapi, yang dilakukannya seharian hanya berkutat dengan nikotin. Seakan-akan itu telah menjadi oksigennya.
Wanita ini berdiri dari duduknya. Ia muntah. Rasakan. Karena aku telah menendangnya sekuat tenaga. Salah sendiri ia membiarkanku. Salah sendiri ia tidak merawatku. Wajahnya yang ayu terlihat pucat setelah memuntahkan entah apapun itu. Tubuhnya terkulai lemas. Tanpa tenaga, ia kembali ke tempat duduknya semula.
Ia memegang kepalanya yang terasa pening. Tubuhku menjadi lemas juga. Ah, kenapa dia masih saja tidak memakan apa-apa. Ia kembali berkecimpung pada dunia asapnya. Tanpa memperdulikan aku yang kelaparan dan lemah ini.
Tok.. Tok..
Pintu kamarnya ada yang mengetuk. Ia segera beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Terlihat seorang laki-laki tambun dengan kumis tebal sudah berdiri disana. Ia segera memeluk laki-laki itu dengan mesra. Laki-laki itu membalas pelukannya.
Aku merasa mual. Ia membuatku mual dengan melihatnya bermesraan dengan laki-laki itu. Aku menendangnya sekali lagi dengan sangat keras. Ia memegangi perutnya, dan langsung beranjak ke kamar mandi, muntah lagi. Muntah kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Ia berkeringat dingin. Mukanya terlihat panik. Dengan gelisah, ia mengambil test pack dari kabinet di kamar mandi. Ia segera mengencinginya.
Laki-laki tambun itu juga terlihat gelisah. Pria itu memanggil-manggilnya dari luar kamar mandi. Mungkin ia terlalu takut untuk masuk. Terlalu takut untuk melihat kenyataan yang akan dihadapinya sebentar lagi.
Wanita ini keluar dari kamar mandi. Badannya terlihat lebih lunglai. Diberikannya test pack itu pada si lelaki tambun. Dua garis. Dua garis terlihat jelas pada test pack yang dipegangnya. Lelaki itu terdiam. Terlalu kaget. Terlalu mengagetkan. Ia melempar test pack itu padanya. Laki-laki tambun memakinya. Sumpah serapah diteriakkan. Wanita itu menangis. Ia menangis sesenggukan di hadapan laki-laki itu. Hal itu memompa amarah si lelaki tambun seketika. Ia menampar wanita itu dengan keras. Ia memaki lagi. Dan meninggalkan wanita itu begitu saja.
Wanita itu masih saja menangis. Ia terduduk lemah di lantai. Ia memukul-mukul perutnya. Tempatku berada. Aku kesakitan. Rasanya sakit sekali. Aku ikut menangis dengannya. Aku tidak minta untuk hidup dalam rahimnya. Ia yang membuatku berada disini. Ia yang memulainya. Tapi, ia tidak menginginkanku. Ia membenciku.
“Bangsaaaaaatttt!!” Ia memaki-maki.
Ia masih terus memukuli perutnya. Ia memukuliku. Aku tidak tahan. Sakit sekali rasanya. Aku merasa lemah. Mengapa ia menyalahkanku, apa salahku. Ia yang melakukannya. Bukan aku. Aku hanya menumpang untuk hidup di dunia ini melalu rahimnya. Mengapa ia begitu membenciku. Apa salahku?!
Pukulan-pukulannya membuatku kesakitan. Aku menyerah. Aku menyerah untuk bertahan melawan rasa sakit ini. Ibu… Maafkan aku…

Kamis, 26 April 2012

Rindu

Rindu menggeliat.
Ingin melepaskan diri dari jeratan logika.
Jangan, kataku.
Rindu masih saja menggeliat.
Mengetuk-ngetuk hati yang terbaring lemah.
Jangan, kataku lagi.
Rindu menggeliat lebih keras.
Ia menghanguskan memori-memori sendu.
Rindu berhasil membujuk kenangan untuk bekerja sama.
Aku tak berdaya.
Logika telah dikuasainya.
Aku kalah.

Aku mulai menekan-nekan tombol di ponselku yang sudah ku hafal di luar kepala.
Satu nada sambung.
Dua nada sambung.
“Halo,”
Nah, rindu. Kau pemenangnya.
“Emm, hai. Apa kabar?”

Selasa, 17 April 2012

Hai kau

Hai kau yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Apa kabar? Aku disini baik-baik saja. Tentu aku masih tetap dengan usahaku menghapus luka. Jangan marah, aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkan diri sendiri. Hiduplah yang membawa kita seperti ini. Hidup juga yang mengatur pertemuan dan perpisahan ini.
Aku masih mengingat jelas “Suatu hari nanti aku akan kerumahmu,” atau “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” dan untaian-untaian janji lainnya darimu. Manis memang, indah memang, tapi itu tidak menutup caci dan makian darimu. Aku lebih mengingat kata-kata khas Suroboyo yang sering kau lontarkan ketika amarah menguasaimu. Jangan salahkan aku yang masih mengingat memori itu. Kau sendiri yang menancapkannya di otakku. Oh, terlebih hatiku. Kata-kata yang selalu aku dengar dengan mata nanar dan hati bernanah. Bisakah kau membayangkannya? Bisa?
Aku hanya seorang perempuan. Aku lemah, kau tahu. Aku lemah dengan sumpah serapahmu yang membabi buta itu. Satu tahun. Kurang lebih satu tahun aku menahan itu semua. Kenangan indah? Aku tidak ingat. Terpaku dan tertutup rapat pada peti kehancuran. Aku terperosok. Seolah kau disana, tapi kau tak dapat menolongku.
Sebut aku egois, sebut aku orang yang tidak mempunyai hati. Baiklah. Aku terima. Toh, aku sudah terlatih untuk mendengar kata-kata itu.
Hai kau yang pernah menjadi bagian hidupku. Sampai saat aku menulis ini, ketakutan masih saja menyergapku. Takut jika kau akan marah pada setiap detail huruf yang ada disini. Satu yang harus kau tahu. Aku menulis fakta. Dan aku tahu benar bahwa kau tahu itu.
Selamat malam, kau. Dan terima kasih.

Senin, 02 April 2012

Tolong aku!

Aku berjalan lurus kedepan. Hanya langkah kakiku yang terdengar menggema di sepanjang lorong ini. Ku tatap cahaya terang di ujung sana. Aku mulai berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tapi, cahaya itu enggan menungguku. Ia perlahan memudar. Tidak. Jangan! Jangan pergi. Tolong, aku mohon. Aku berlari semakin kencang. Aku menggapai-gapai cahaya di depanku. Ia tak mau menungguku. Dan hilang. Tepat disaat aku mulai menapak kilaunya, ia menghilang. Aku terkapar lemas. Tubuhku lelah sekali. Aku terengah-engah.

“Selamat datang kembali,” Ujar kegelapan sambil menyeringai. Seringai seram yang selama ini menghantui hari-hariku.

Tubuhku terseret gelap. Aku kembali terperosok dalam kelam. Aku meraih-raih pegangan. Mencari sisa-sisa cahaya yang tertinggal. Tapi, tak ada sedikitpun yang tersisa untukku. Aku tidak mau bertemu pekat. Aku tidak mau!

“Heh pecun ngelamun aje! Tuh, ada tamu. Layanin yang bener. Kalo nggak, abis lu ama gue.” Teriakan germo babi membuyarkan lamunanku.

Ah sial. Ku letakkan sejenak imaji ku. Ku matikan rokok, dan melangkah kembali pada realita.

Selasa, 14 Februari 2012

Selamat hari kasih sayang, wanitaku...

Sayang, selamat sore. Aku baru saja pulang bekerja. Rasanya lelah sekali badan ini. Tapi begitu bersamamu, lelah ini menghilang entah kemana. Hehe. Aku rindu, sayang. Aku rindu sekali. Ingin aku memelukmu dengan erat, mengecup keningmu, atau hanya sekedar duduk berdua menikmati kopi panas dengan cream kesukaanmu. Ah sayangku, aku benar-benar rindu.
Sayang, orang selalu bilang, bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita. Mereka tidak tahu mimpi-mimpi kita. Jadi, biarkan saja. Jangan hiraukan mereka ya, sayang. Kita tidak selemah yang mereka pikir. Kau, wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, kau jangan pernah bersedih ya.
Oh iya sayang, kau ingat, waktu pertama kita berkenalan? Waktu itu kau menunggu bus untuk pulang sekolah. Aku menawarkan tumpangan untukmu, tapi kau menolak. Memang saat itu, kita tidak terlalu dekat. Kita beda kelas. Tapi, aku selalu mengagumimu. Keberanianku untuk menawarkan tumpangan untukmu luluh lantak dengan satu kalimatmu, “tidak, terima kasih.” Dan kau tersenyum. Oh, bidadari memang nyata adanya!
Keesokan harinya, aku menawarkan tumpangan lagi untukmu. Dan kau menolak lagi. Kau memang keras kepala ya, sayang. Di hari ketiga, aku berjalan ke halte. Menemanimu menunggu hingga naik bus. Di dalam bus, kita duduk sebangku. Dan akhirnya kita berkenalan. Aku sadar, aku terlihat bodoh saat itu. Aku tegang sekali hingga tak bisa mencari bahan obrolan. Ah aku belum memberitahumu ya. Sebenarnya saat itu aku membawa sepeda motorku. Hanya saja aku ingin bersamamu. Jadilah, setelah kau turun dari bus, aku mencari bus untuk kembali ke sekolah, untuk mengambil sepeda motorku. Hehe, bodoh sekali ya, sayang.
Terlalu asyik aku bercerita, tak sadar langit telah gelap. Ah, sayang. Aku harus pulang. Besok sepulang kerja, aku akan kesini lagi. Menemanimu lagi. Jadi, jangan sedih ya, sayangku. Aku pulang dulu, sayang.
Kuletakkan sebuket mawar merah dan sekotak cokelat kesukaannya. Aku berjalan pelan menjauhi pusaranya. Terisak, aku menangis lagi.
Selamat hari kasih sayang, wanitaku…

Rabu, 01 Februari 2012

Naskah Hidup

Ini bukan cerita yang kau inginkan. Ini bukan episode-episode yang kau impikan. Aku tahu. Aku tahu benar. Kita hanya pelakon drama kehidupan. Sudah ada sang sutradara yang mengatur ini semua. Bagaimanapun, naskah hidup kita telah selesai ditulis. Dan kita hanya tinggal memerankannya seperti anjing bodoh yang setia kepada majikan. Iya iya, tidak tidak. Hanya itu. Takdir dapat diubah? Tai. Itu hanya upaya manusia untuk memotivasi diri sendiri. Tapi, hey! Tak ada salahnya. Bahkan anjing bodoh pun tak ingin terlihat bodoh, bukan?
Naskah hidupku lebih keparat dibanding siapapun. Ya, kau bisa menyangkal itu. Aku tahu pasti kau merasa naskah hidupku lebih baik darimu. Karena memang begitulah manusia bereaksi. Benar-benar sampah. Bagaimana bisa aku mendapatkan naskah hidup yang seperti ini?! Akan ku lakukan apapun untuk casting sebagai pemeran drama hidup yang lain. Oh, percayalah! Aku memang tak baik dalam menjalani lakonku disini. Tapi, aku pasti lebih jika aku mendapat peran yang lain. Aku percaya itu.
Ah, setidaknya kau masih bisa makan enak didalam rumah yang nyaman. Bukan di sebuah prostitusi kelas sapi yang bau busuk ini. Setidaknya kau masih punya kedua orang tua. Bukan seorang germo menor yang tidak punya hati ini. Setidaknya kau masih bisa mengenyam pendidikan. Bukan mengenyam kelamin para laki-laki hidung belang ini. Anjing! Hey, kau anjing! Jangan pernah bilang hidupmu tidak lebih baik dariku! Tahu apa kau, bangsat!
Tai. Tai tetap saja tai. Aku hanya bisa berharap sang sutradara telah menyiapkan akhir bahagia untukku. Jika tidak, aku tak akan berhenti merutuknya. Dasar sutradara pembuat hidup sialan!

Minggu, 29 Januari 2012

Senja Tak Lagi Berwarna Jingga

Aku masih menunggumu. Kau bilang, kau akan pulang saat senja. Saat matahari menutup tugasnya. Saat langit bersemu malu. Jingga, katamu. Aku masih saja duduk di depan rumah. Dengan secangkir teh dan beberapa biskuit, aku menunggumu hingga langit tak lagi kemerahan. Bulan perlahan menaiki tahtanya. Dan aku tetap saja duduk menunggumu di depan rumah.

Aku masih ingat jelas saat kau pergi. Tak ada bahasa. Tak ada kata. Raut muka dan air mata mengisyaratkan semuanya. Aku terdiam. Tanpa peluk, kau pergi begitu saja. Aku hanya bisa menatap punggungmu hingga kau berlalu. Air mata ini belum kering benar, sayatan luka ini masih menganga lebar. Dan kau pergi. Kau pergi begitu saja!

Senja ini, aku masih menunggumu. Tetap saja tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Hingga seorang kawan berlari tergesa-gesa menuju rumah. Aku terlonjak kaget. Ia mengabarkan sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak lagi hanya seutas mimpi. Mimpi buruk ini nyata. Aku marah. Aku menyalahkan Tuhan! Tangis ini berderai. Sang kawan berusaha menenangkanku. Cahaya senja menjadi kelabu. Perlahan, lalu, hilang.

Senja kali ini berwarna jingga terang. Indah sekali. Dan kau pulang. Kau yang selama ini aku tunggu, akhirnya telah pulang. Benar, kau akan pulang saat jingga. Aku menengok ke arah senja. Para dewi telah menyamarkan kepedihan langit dibalik keindahan senja. Hey, bangun! Ini senja kesukaanmu! Bangunlah! Aku memeluk tubuhmu yang membiru. Tak bernafas. Tak bernyawa. Wajahmu basah oleh air mataku. Senja tak lagi berwarna jingga. Ia memucat. Berjalan beriringan dengan ketidak adilan. Senja menjadi kelam.

Rabu, 11 Januari 2012

Tak Bernama


Diam. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut mereka. Laki-laki dan perempuan itu terlihat kikuk dan tidak nyaman. Berkali-kali mereka mencoba membetulkan posisi duduknya. Sang laki-laki menggaruk-garuk hidungnya dengan canggung. Sang perempuan memainkan jemari-jemari lentiknya.
“Kau tahu…” laki-laki itu membuka suara. “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
“Aku juga.” Kata sang perempuan.
Diam. Mereka terdiam lagi. Bunyi gemericik hujan diluar sana mengiringi kebekuan mereka. Laki-laki itu menelan ludah. Seakan ada seonggok kalimat yang ingin ia katakan, tapi tercekat begitu saja tak tahu bagaimana menyampaikannya. Tak berbeda jauh dengan perempuan itu. Ia memainkan ujung rok yang dipakainya. Merasa bingung harus bagaimana untuk bersikap.
“Perasaan ini membuatku bahagia.” Laki-laki itu menatap mata sang perempuan.
“Aku juga. Aku juga merasa bahagia.” Perempuan itu membalas tatapan sang laki-laki. Ia tersenyum lembut.
“Boleh aku bertanya sesuatu? Kau boleh menganggapku idiot atau bodoh atau apapun itu karena telah menanyakan hal ini.” Laki-laki itu terlihat gugup. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan.
“Tentu. Dan, tidak. Aku tidak akan menganggapmu idiot atau bodoh atau apapun itu.” Perempuan itu masih menatap laki-laki di depannya itu.
Sang laki-laki berdeham. Ia menarik nafas panjang.
“Apakah kau…. Apakah setiap kali kau bersamaku, kau merasa jantungmu berdegup kencang seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.” Jawab sang perempuan.
“Lalu, apakah setiap kali melihatku, perutmu serasa digelitik seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
“Lalu, apakah setiap kali kau mendengar suaraku, ada bagian dari dirimu yang ingin menyimpan suara itu, untuk selalu kau bawa bersamamu…” laki-laki itu berhenti sejenak. “seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
Mereka terdiam lagi.
“Satu pertanyaan terakhir.” Kata laki-laki itu.
“Baik.”
“Apa kau tahu perasaan apa yang sedang kita rasakan sekarang?”
Perempuan itu memandang sang laki-laki penuh arti.
“Tidak. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku tak pernah merasakan sebelumnya.”
“Aku juga.”
Laki-laki dan perempuan itu menutup percakapan. Rasa heran dan kosong menyergap benak mereka. Mereka dapat merasakannya. Merasakan perasaan bahagia itu. Tapi, mereka tak pernah tahu. Tak pernah ada yang tahu disebut apa perasaan itu.