Sabtu, 22 Desember 2012
Tuhan Maha Adil
Tuhanku yang Maha Adil, aku kedinginan. Dan mereka di luar sana dengan mudah membeli jaket necis tebal yang mahal. Jangankan jaket necis tebal yang mahal, yang aku punya hanya selembar selimut tipis yang aku pakai berdua dengan adikku.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kesakitan. Dan mereka di luar sana terlihat segar bugar dengan vitamin yang dikonsumsinya setiap hari. Jangankan mengkonsumsi vitamin, untuk makan saja aku sudah kesusahan.
Kau memang adil Tuhanku. Kau memang adil.
Okay
"Okay."
"Jika kau sedang merasa kacau, telepon aku,"
"Okay."
"Jika kau tengah sedih, telepon aku."
"Okay."
"......."
"......."
"Sayang? Kau mendengarkanku?"
"Okay."
Berfikir
Jumat, 21 September 2012
Kita
Sabtu, 26 Mei 2012
Apa salahku?
Kamis, 26 April 2012
Rindu
Ingin melepaskan diri dari jeratan logika.
Jangan, kataku.
Rindu masih saja menggeliat.
Mengetuk-ngetuk hati yang terbaring lemah.
Jangan, kataku lagi.
Rindu menggeliat lebih keras.
Ia menghanguskan memori-memori sendu.
Rindu berhasil membujuk kenangan untuk bekerja sama.
Aku tak berdaya.
Logika telah dikuasainya.
Aku kalah.
Aku mulai menekan-nekan tombol di ponselku yang sudah ku hafal di luar kepala.
Satu nada sambung.
Dua nada sambung.
“Halo,”
Nah, rindu. Kau pemenangnya.
“Emm, hai. Apa kabar?”
Selasa, 17 April 2012
Hai kau
Senin, 02 April 2012
Tolong aku!
Aku berjalan lurus kedepan. Hanya langkah kakiku yang terdengar menggema di sepanjang lorong ini. Ku tatap cahaya terang di ujung sana. Aku mulai berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tapi, cahaya itu enggan menungguku. Ia perlahan memudar. Tidak. Jangan! Jangan pergi. Tolong, aku mohon. Aku berlari semakin kencang. Aku menggapai-gapai cahaya di depanku. Ia tak mau menungguku. Dan hilang. Tepat disaat aku mulai menapak kilaunya, ia menghilang. Aku terkapar lemas. Tubuhku lelah sekali. Aku terengah-engah.
“Selamat datang kembali,” Ujar kegelapan sambil menyeringai. Seringai seram yang selama ini menghantui hari-hariku.
Tubuhku terseret gelap. Aku kembali terperosok dalam kelam. Aku meraih-raih pegangan. Mencari sisa-sisa cahaya yang tertinggal. Tapi, tak ada sedikitpun yang tersisa untukku. Aku tidak mau bertemu pekat. Aku tidak mau!
“Heh pecun ngelamun aje! Tuh, ada tamu. Layanin yang bener. Kalo nggak, abis lu ama gue.” Teriakan germo babi membuyarkan lamunanku.
Ah sial. Ku letakkan sejenak imaji ku. Ku matikan rokok, dan melangkah kembali pada realita.
Selasa, 14 Februari 2012
Selamat hari kasih sayang, wanitaku...
Rabu, 01 Februari 2012
Naskah Hidup
Minggu, 29 Januari 2012
Senja Tak Lagi Berwarna Jingga
Aku masih menunggumu. Kau bilang, kau akan pulang saat senja. Saat matahari menutup tugasnya. Saat langit bersemu malu. Jingga, katamu. Aku masih saja duduk di depan rumah. Dengan secangkir teh dan beberapa biskuit, aku menunggumu hingga langit tak lagi kemerahan. Bulan perlahan menaiki tahtanya. Dan aku tetap saja duduk menunggumu di depan rumah.
Aku masih ingat jelas saat kau pergi. Tak ada bahasa. Tak ada kata. Raut muka dan air mata mengisyaratkan semuanya. Aku terdiam. Tanpa peluk, kau pergi begitu saja. Aku hanya bisa menatap punggungmu hingga kau berlalu. Air mata ini belum kering benar, sayatan luka ini masih menganga lebar. Dan kau pergi. Kau pergi begitu saja!
Senja ini, aku masih menunggumu. Tetap saja tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Hingga seorang kawan berlari tergesa-gesa menuju rumah. Aku terlonjak kaget. Ia mengabarkan sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak lagi hanya seutas mimpi. Mimpi buruk ini nyata. Aku marah. Aku menyalahkan Tuhan! Tangis ini berderai. Sang kawan berusaha menenangkanku. Cahaya senja menjadi kelabu. Perlahan, lalu, hilang.
Senja kali ini berwarna jingga terang. Indah sekali. Dan kau pulang. Kau yang selama ini aku tunggu, akhirnya telah pulang. Benar, kau akan pulang saat jingga. Aku menengok ke arah senja. Para dewi telah menyamarkan kepedihan langit dibalik keindahan senja. Hey, bangun! Ini senja kesukaanmu! Bangunlah! Aku memeluk tubuhmu yang membiru. Tak bernafas. Tak bernyawa. Wajahmu basah oleh air mataku. Senja tak lagi berwarna jingga. Ia memucat. Berjalan beriringan dengan ketidak adilan. Senja menjadi kelam.