Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Februari 2023

Aku Diciptakan untuk Menenangkanmu, Sayang.

Namanya Bara. Sesuai namanya, ia sanggup membuat kasihku membara. Tiga kali sehari ia menikmati seluruh tubuhku. Dia puas, aku pun puas. Semua kulakukan demi rasa sayangku pada Bara.

Bara pernah berkata, ia tidak akan bisa hidup tanpaku. Sungguh aku senang bukan main. Begitu berpengaruhnya aku dalam hidup Bara. Begitupun ia padaku.

Namun, semua berubah ketika seorang wanita jalang bernama Lisa datang dalam kehidupannya. Aku tak tau pasti sejalang apa nenek sihir ini, anggap saja begitu. Yang jelas, kedatangan Lisa membuat Bara yang kukenal hilang entah kemana. 

Bara tak lagi menyentuhku. Bara tak lagi melumatku. Bara yang kucinta, kini berpaling pada Lisa.

Hari-hari yang biasa Bara lalui denganku, kini diisi dengan kehadiran Lisa. Hampir setiap hari Lisa datang ke kamar kos Bara yang mengenaskan ini. Baju berantakan, sampah tak dibuang, tapi toh aku tak pernah berkomentar sedikitpun. Aku mencintai Bara apa adanya dirinya.

Bara bahkan tak mempedulikan aku yang ada di kamarnya saat ia membawa Lisa pulang. Mereka bercumbu dan bercinta di depanku! Binatang! Pelacur! Semua sumpah serapah kuteriakkan di sela-sela desahan si perempuan jalang. Tapi, mereka tetap saja bergumul. Seolah mereka tak mendengar pekikanku.

Setiap hari kulalui dengan kesedihan yang begitu pilu. Bara sialan. Perempuan itu apa lagi. Mereka tega berbahagia di atas penderitaanku. Begitu teganya.

Lima bulan berlalu, aku menyerah. Hanya bisa terbaring di atas meja. Tiba-tiba, Bara datang. Kali ini tanpa si perempuan jalang. Ia menutup pintu kamarnya secara perlahan dan duduk bersandar. Bara memegangi kepalanya, ia menangis. Oh, Bara-ku sayang. Ada apa?

Tangisnya semakin kencang. Ia memukul-mukul kepalanya.

"Diam, DIAM. DIAAAMMMMMM!!!" teriaknya.

Oh.

OH!

Bara-ku..... Kembali?

Bara bangkit dan terseok-seok berjalan ke arahku. Aku berdebar. Benarkah Bara-ku kembali?

Ia mengambil gelas kosong dan menuang air dari teko plastik murah yang tak pernah dicucinya selama entah berapa lama. Tapi, bukan itu yang terpenting. Bara-ku kembali!

Tangan Bara bergerak ke arahku. Aku menggelinjang. Ia membuka plastik yang membungkusku. Mengambil satu bagian tubuhku, lalu terdiam beberapa saat. Ia mengambil lagi satu bagian tubuhku lainnya. Ooohhh, Bara. Begitu rindunya kau padaku. 

Bara menggenggamku erat. Tangannya bergetar. Tenang, sayang. Aku ada di sini. Lumat aku bulat-bulat, kasihku.

Dan dimasukkannya aku dalam mulutnya, didorongnya dengan air. Aku menari bebas menuruni kerongkongannya. 

Air mata Bara turun lagi. Tapi, aku sudah kembali mengalir dalam setiap aliran darahnya. Bara meletakkan kepalanya di atas meja. Aku mulai bereaksi, menenangkan Bara dan suara-suara dalam kepalanya yang selama ini menyesaki pikirannya. 

Benar kan sayang, bukan Lisa yang bisa membuatmu tenang. Tapi, aku. Memang itu tugasku. 

Mungkin malah Lisa yang membuatmu mendengar suara-suara itu lagi. Tak apa sayang, ada aku di sini. Aku tak akan pernah lagi menyangsikanmu. Aku percaya, kau memang tidak akan pernah bisa hidup tanpaku. 

Selamat datang kembali, Bara. Dari aku yang akan selalu menenangkanmu. 

Selasa, 06 Juli 2021

Sampai Bertemu di Sana, Sayangku

 

Jam dinding di ruang kantorku belum juga menunjukkan pukul 17.00 WIB. Tapi, aku sudah mencicil untuk berkemas. Thomas, rekan kerja di sebelah yang melihatku mulai memasukkan barang-barangku ke dalam tas pun menatap heran.

“Nggak biasanya kamu cepat-cepat pulang,” ujarnya sambal bertopang dagu melihatku.

“Hari ini spesial,” jawabku pendek sambal menggulung kabel earphone-ku.

“Oh ya? Ada acara apa emangnya? Biasanya kamu lebih suka menghabiskan waktu di kantor. Akhirnya kamu sekarang normal juga,” selorohnya.

“Normal?” tanyaku bingung.

“Yah, maksudku, siapa sih karyawan yang mau berlama-lama di kantor? Kecuali kamu, kamu malah suka menyibukkan diri di sini,” jawabnya sambal menyomot biskuit di samping keyboard-nya.

“Seperti kubilang, hari ini spesial,” kataku mengulangi jawabanku.

“Ada yang ulang tahun? Oh! Mau kencan ya?” godanya sambil senyum-senyum sendiri.

Aku balas menjawabnya dengan senyuman dan menepuk pundaknya sambil bangkit dari kursiku.

Seperti yang kubilang tadi, hari ini memang spesial. Hari ini, aku akhirnya memutuskan untuk menjemputnya.

------------------------------------------------------------------------------

Pertemuan terakhirku dengan Elisa saat itu diakhiri dengan air mata. Air mata Elisa. Air mata dari wanita yang aku cintai sepenuh hati. Tak pernah sedetikpun paras cantiknya menghilang dari pikiranku. Di dunia ini, kurasa, hanya Elisa-lah wanita yang paling berpengaruh dalam hidupku.

Berkat Elisa, aku memiliki keberanian untuk menata kembali hidupku yang sudah carut marut dari entah kapan. Aku mulai berani untuk bermimpi tentang masa depan, bahwa aku pun, berhak untuk punya masa depan. Dan itu semua karena Elisa.

Sehingga, bisa kah kau bayangkan betapa sakitnya aku melihat air mata Elisa saat itu? Aku berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, Elisa tak percaya. Padahal, memiliki kepercayaan adalah dasar dari semua hubungan bukan? Lalu, jika Elisa sudah tak percaya? Apa lagi yang bisa kulakukan?

Sejak saat itu, tak ada lagi Elisa-ku.

------------------------------------------------------------------------------

Keberanian untuk menjemput Elisa hari ini terkumpul. Sepulang kerja, aku kembali ke kamar kos 3x4-ku. Aku memakai kemeja yang aku pakai saat pertama kali bertemu Elisa. Saat itulah aku tahu bahwa dia adalah wanita-ku.

Kupakai parfum yang aku pakai saat itu juga. Parfum inilah yang membuka obralanku dengan Elisa kala itu. Dia menyukai aroma parfum-ku. Aku rasa begitu, karena jika tak suka, mengapa ia bertanya tentang parfum-ku, kan?

Kulihat pantulan diriku di cermin untuk terakhir kali. Perfect. Aku menarik nafas panjang dan beranjak untuk menjemput Elisa. Aku berencana untuk mampir di sebuah kedai sandwich kesukaan Elisa. Aku tahu karena aku selalu melihatnya di sana untuk membeli makan malam. Akan kubawakan satu untuknya, Elisa pasti suka.

------------------------------------------------------------------------------

Aku memarkir motorku di parkiran kantor. Dengan jantung berdegup kencang aku berjalan ke lift dan memencet tombol 12. Aku begitu gugup untuk bertemu kembali dengan Elisa. Semoga semua berjalan lancar sesuai rencanaku!

Sesampainya di lantai 12, aku langsung disinari cahaya remang lampu kuning dan bau pengap. Lantai ini memang satu-satunya lantai di gedung ini yang tak terpakai. Sempat ada yang menyewa untuk dijadikan kantor, tapi itu tak bertahan lama.

Sekarang, lantai ini jadi saksi pertemuanku dengan Elisa.

------------------------------------------------------------------------------

“Hai, Elisa, maaf aku lama,” sapaku saat melihat Elisa.

Elisa hanya diam sambil bersandar ke tembok yang cat-nya telah mengelupas di sana sini. Sudah seminggu lebih dia sendiri di sini. Tapi tak apa, toh tiap malam aku selalu menemaninya.

“Oh, ayolah, sampai kapan kamu marah sama aku terus? Ini kubawakan sandwich kesukaanmu,” kataku lagi sambil menyodorkan bungkusan sandwich untuknya.

Ia menatapku nanar, air mata kembali memenuhi pelupuk matanya.

Aku menghela nafas dan membuka lakban di mulutnya.

“Toloooong! Tolooooong!” teriak Elisa sesaat setelah aku melepas lakban-nya.

“Elisa, kamu tahu tak akan ada yang mendengar kita di sini. Sudah berapa kali kamu mencobanya? Nggak capek?” tanyaku mengkhawatirkan keadaannya.

“Gila! Kamu gila!” kini ia berteriak padaku.

“Ya, Elisa, aku gila mencintaimu,” kataku sambil menatap hangat matanya. Namun, kehangatan itu dibalas dengan amarah. Elisa yang pemarah. Elisa yang tetap aku cinta.

“Kenapa aku? Kenapa kamu lakuin semua ini? Tolong lepaskan aku, aku bersumpah tak akan lapor ke polisi, aku bersumpah tak akan bilang ke siapapun!” ujarnya.

“Elisa, aku akan melepaskanmu, tenang aja. Sekarang makan dulu ya, setelah makan akan aku lepaskan,” aku menyodorkan sandwich ke mulutnya. Elisa tak bisa makan sendiri karena tangannya masih terikat. Oh, dan kakinya juga.

Elisa selalu tampak ketakutan jika bersama-ku, aku tak tahu mengapa. Tapi, paling tidak, ia akhirnya mau makan sandwich dari tanganku.

“Pintar,” kataku sambil mengelus rambutnya penuh sayang. Air mata Elisa kembali turun.

Elisa memberontak saat aku kembali memasang lakban di mulutnya, tangisnya semakin kencang.

“Jangan menangis, Sayang. Hari ini, tangisanmu akan berhenti. Aku janji. Karena aku telah menemukan cara agar kita bisa bersama selamanya. Bahagia. Selalu,” ujarku sambil membelai pipinya. Elisa bergidik, tapi tetap kulakukan.

------------------------------------------------------------------------------

Dengan satu tarikan nafas panjang, aku menjambak rambut panjang indahnya yang telah kusut setelah berhari-hari tak terawat. Dalam satu kali gerakan, kubenturkan kepalanya ke tembok di belakangnya. Dan Elisa pun tersungkur.

Aku membuka lakban di mulutnya dan membuka ikatan di kaki dan tangannya. Kupasangkan earphone untuk mendengarkan lagu kami. Satu di telingaku dan satu di telinga Elisa. Oh, Elisa-ku, akhirnya kini kita akan bersama selamanya.

------------------------------------------------------------------------------

Aku berada di rooftop dengan Elisa dalam gendonganku. Ku tatap langit malam ini. Gelap sekali. Tak ada satu bintang pun yang terlihat. Tak heran, bintang tercerah yang mereka miliki ada di sini bersamaku.

Lagu “Ava Adore” dari Smashing Pumpkin pun mulai mengalun di telinga kami. Aku berdiri di pinggir gedung masih sambil menggendong Elisa, menunggu lagu kesukaanku berakhir. Saat itu lah, hidup kami yang lama berakhir juga, dan hidup baru bersama selamanya akan dimulai.

“Sampai bertemu di sana, Sayangku,” ujarku lirih sambil memejamkan mata. Dan aku pun melangkah.

------------------------------------------------------------------------------

    Now playing:

    And I’ll pull your crooked teeth
    You’ll be perfect just like me
    You’ll be a lover in my bed
    And a gun to my head
    We must never be apart
    We must never be apart

Jumat, 05 Februari 2021

Jasper yang Baik

"Dingin sekali malam ini," ujarku sedikit menggigil.

"Nanti tak terasa dingin lagi. Aku janji," kata Jasper tenang.

-----------------------------------------------------------

Hari ini aku datang kembali ke rumah Jasper. Ya, kalau kau bisa menyebut itu rumah. Jasper tinggal di sebuah mobil van tua yang ia sulap menjadi tempat tinggal. Tak ada kursi tengah dan belakang, ruang itu ditempati kasur lapuk yang penuh noda di sana sini. Ada kompor kecil dan tabung gas yang tak sampai satu meter jauhnya dari kasur. Di sebelahnya ada meja pendek tempat Jasper menaruh apapun. Bahkan kaus usangnya pun ada di atas meja itu, bercampur dengan bercak mie instan yang ia makan setiap harinya.

Mobil itu bisa saja ia kemudikan. Tapi, ia tak punya uang lebih untuk bensin. Lagian, mau pergi ke mana? Jasper tak punya tempat yang ingin ia tuju. Sehingga di sana lah Jasper menetap, di tanah kosong yang dikelilingi pohon-pohon liar. Aku rasa itu memang pohon liar karena tak ada yang dengan sengaja menanamnya. Tapi, aku tak begitu yakin.

Dari jalan, rumah van Jasper, begitu aku menyebutnya, tak terlalu kentara. Kecuali jika kau benar-benar memperhatikan tanah kosong itu. Kau akan melihat sedikit bagian dari rumah van Jasper, mobil tua oranye yang warnanya telah lama pudar. Kau juga bisa melihat rumah van itu ketika Jasper menyalakan api unggun saat malam tiba. Biasanya, Jasper menyalakan api unggun karena baterai lampu gantungnya habis.

Tak ada yang tahu milik siapa tanah dengan beragam jenis pohon itu. Mungkin aku saja yang tak tahu. Mungkin Jasper tahu. Tapi, aku tak yakin. Mungkin yang tahu hanya si pemilik tanah saja. Dan mungkin dia tak tahu bahwa tanahnya telah menjadi bagian dari tempat Jasper tinggal.

Malam itu aku datang ke rumah Jasper dengan luka di wajah dan memar di pahaku. Aku tak punya apapun untuk mengobatinya. Jasper punya. Ia pernah membelinya (atau mencuri, siapa yang tahu) untukku saat aku pertama kali datang ke rumahnya dengan tubuh penuh luka. Kala itu Jasper mengobati lukaku dengan tenang. Tak ada pertanyaan mengapa luka-luka ini muncul. Jasper diam. Aku diam. Tapi, aku tahu Jasper tahu. Karena sebelumnya aku pernah bercerita padanya. Malam ini, kami hanya diam.

Sesampainya di rumah Jasper, ia terlihat baru saja menyalakan api unggun. Baterai di lampu gantungnya habis lagi. Ia menoleh ke arahku, menatapku sebentar, lalu kembali sibuk dengan api unggunnya. Aku duduk di bangku kecil tempatku biasa duduk di depan api unggun. Ku arahkan kedua tanganku ke arah api unggun. Hangat. Aku suka.

Jasper kembali dari rumah van-nya dengan sekotak obat. Seperti biasa, ia mulai mengobati luka-lukaku. Perih, tapi aku tak mengernyit. Mungkin karena terbiasa. Aku masih memusatkan pikiranku ke kehangatan api unggun.

Biasanya, setelah mengobati lukaku, Jasper akan memberikan segelas air putih untukku. Rasanya seperti hangus karena dimasak di atas api unggun. Untuk memasak air, Jasper memang tak mau memakai kompor untuk menghemat gas. Aku rasa itu cerdas.

Setelah meminum air sampai habis, Jasper mengambil kembali gelas itu. Tak perlu repot-repot mencucinya karena toh akan dipakai lagi. Ia duduk di sebelahku dan mengambil ubi yang sebelumnya ia taruh di bawah kayu bakar. Ia memberi satu ubi untukku. Aku tak bertanya darimana ia mendapat ubi itu. Kami pun makan dengan khidmat. 

-----------------------------------------------------------

"Capek juga terluka terus," kataku sambil mengunyah ubi bakar yang tadi diberi Jasper.

Jasper diam, sibuk mengupas kulit ubi.

"Kapan dia akan berhenti?" tanyaku meski tahu tak ada yang bisa menjawabnya.

Jasper meniup ubi dan memakannya.

"Mungkin, memang aku diciptakan untuk dipenuhi luka," lanjutku sambil tetap mengunyah ubi.

Ubinya enak. 

----------------------------------------------------------

Setelah menghabiskan ubi keduanya, Jasper bangkit dari duduk dan masuk ke dalam rumah van-nya. Kemudian ia kembali dengan jaket kulit kebanggaannya. Lebih tepatnya, jaket satu-satunya yang ia punya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Memangnya aku ingin berdiri? Tapi, tetap saja aku meraih tangan Jasper.

Jasper berjalan keluar dari tanah kosong tempat rumah van-nya menetap. Aku mengikutinya dari belakang. Jasper berhenti dan menoleh ke arahku. Aku ikut berhenti. Lalu, jalan lagi. Kini, aku berjalan bersisian dengan Jasper.

Aku tak tahu kemana Jasper akan pergi, kemana tujuan kami berjalan. Namun, aku tetap mengikutinya. Jalannya terasa familiar. Aku selalu melewati jalan ini ketika menuju rumah Jasper. Kami berjalan saja terus dalam diam.

Aku merapatkan jaket lusuh yang selalu kupakai untuk menghalau hawa dingin. Tentu saja tak berhasil karena jaketnya semakin tipis termakan usia. Tak apa, setidaknya aku sudah berusaha.

Jasper juga berjanji bahwa sebentar lagi akan hangat. Aku tak paham, tapi memilih untuk mempercayainya.

------------------------------------------------------------

"Untuk apa kita ke rumahku?" sekarang aku tahu kenapa jalannya terasa familiar. Karena kami memang berjalan ke arah rumahku.

Jasper diam dan menatap rumahku lekat-lekat. Tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.

Belum selesai aku berpikir, Jasper melangkah ke pintu rumahku. Aku mengikutinya setelah tertinggal beberapa langkah. 

-------------------------------------------------------------

Kakakku, sumber dari semua luka-lukaku selama ini, membukakan pintu dengan raut wajah kesal. Sepertinya karena tidur nyenyaknya diganggu. Selebihnya karena Jasper-lah yang menganggu.

Belum selesai ia bertanya apa yang Jasper inginkan, pukulan keras mendarat di wajahnya. Kakakku menjerit kesakitan dan mundur beberapa langkah. Jasper maju dan melayangkan tendangan ke perutnya. Kakakku tersungkur dan masih kesakitan.

Aku hanya diam saja. Karena ini adalah pemandangan yang tak pernah terlintas di pikirannku sebelumnya, melihat kakakku terluka. Luka yang sama yang sering ia berikan kepadaku.

Meskipun ia satu-satunya keluarga yang aku punya, aku tak merasa kasihan melihat pemandangan itu. Bahkan, aku tak merasakan apa-apa. Hanya terpaku, itu saja.

Kakakku tak berhenti menjerit kesakitan. Jasper tak berhenti memukulinya. Tak ada yang bisa mendengar jeritan kakakku karena jarak rumahku dengan rumah yang lain memang cukup jauh. Ya, mungkin saja ada yang akan mendengar jika tiba-tiba ada yang lewat di depan rumah. Tapi, mendengar atau tidakpun aku tak masalah. Selama ini juga tak ada yang mendengarku. Kecuali Jasper, Jasper mendengarku sekalipun aku tak teriak kesakitan. 

--------------------------------------------------------------

Batu bata yang dipukulkan Jasper berkali-kali ke kepala kakakku patah menjadi dua. Aku tak sadar kapan Jasper membawa batu bata itu. Mungkin ia bawa dari rumah van-nya. Atau memungutnya di perjalanan. Atau mengambilnya di pekarangan depan rumahku. Aku tak tahu.

Kakakku berhenti menjerit. Ia juga berhenti bernafas. Jasper menarik kakinya ke halaman belakang rumahku. Melewati ruang makan sekaligus dapur yang jarang sekali dipakai. Mungkin hampir tidak pernah.

Kakakku tak masak. Aku pun tak masak. Kakakku lebih sering berada di luar. Tiap pulang ia selalu dalam keadaan mabuk dan memukuliku hingga aku penuh luka. Kemudian ia berjalan sempoyongan ke kamarnya dan terlelap dalam waktu singkat. Jika sudah begitu, aku langsung pergi ke rumah Jasper.

Jasper melepaskan kaki kakakku setelah berada di halaman belakang rumahku. Ia masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebotol bensin. Lagi-lagi aku tak tahu darimana Jasper mendapatkannya. Mungkin milik kakakku, jaga-jaga jika motor usangnya kehabisan bensin karena rumahku memang jauh dari pom bensin. Tapi, ini hanya kemungkinan, aku tak tau pasti.

Jasper menuang sebotol bensin secara merata ke kakakku yang sudah tak bergerak. Dari kepala ke kaki ke kepala lagi. Ia mengambil korek kayu dari saku jaket kulitnya. Ia menyalakannya dan membuangnya ke tubuh kakakku. Dalam sekejap, kakakku pun dilalap kobaran api.

-------------------------------------------------------------

"Sudah tidak dingin lagi kan?" tanya Jasper tanpa menoleh ke arahku.

Aku diam sejenak.

"Iya," balasku singkat.

Jasper kembali diam, hanya menatap kobaran api yang melalap kakakku di depannya.

"Kau tidak diciptakan untuk dipenuhi luka," ujarnya. Sekarang menoleh ke arahku.

Aku pun tersenyum dan balas menatapnya.

Jasper yang baik. Ia sungguh menepati ucapannya. Seperti janjinya, malam ini sudah tak dingin lagi.

Senin, 23 Maret 2020

Jalan Buntu

"Tetap di rumah ya teman-teman, kita perlu banget terapkan social distancing sekarang."

"Aduh, kok ya masih ada aja yang keluyuran udah siaga satu gini statusnya."

"Heran sama yang masih keluar-keluar, ngga mikir apa akibatnya hah?!"

"Pada kebal virus kali tuh berani-beraninya keluar rumah."

"Kalian bikin pandemi virus ini ga kelar-kelar kalo masih ngga #dirumahaja. Sadar dong! Goblok."

Kota Pahlawan tak sepadat biasanya, padahal sang surya baru saja bertugas. Hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang. Tapi, isi kepala Trias begitu ramai. Riuh akan komentar-komentar bernada sinis untuk orang-orang yang masih berkeliaran di jalanan.

"Berisik," kata Trias lirih pada ocehan-ocehan orang dalam kepalanya.

Beberapa orang yang mengendarai motor ataupun angkutan umum tampak mengenakan jaket dan masker. Ada juga yang memakai sarung tangan. Semua mereka lakukan agar tetap hidup. Begitu susah payah mereka berusaha.

Trias mengamati orang-orang tersebut. Lalu ia melihat pantulan dirinya di mobil Xenia hitam yang parkir di pinggir jalan. Tak ada jaket, masker, ataupun sarung tangan. Kaos hitam yang dipakainya tak lagi bisa disebut hitam, mungkin lebih tepatnya abu-abu kelam. Ada sobekan di sana sini. Dan juga lobang gigitan rayap. Celana jeans selututnya kumal, entah telah berapa ratus kali ia pakai.

Trias menarik nafas panjang, kemudian kembali berjalan. Ia semakin mantap membawa baskom penuh gorengan yang ia bawa di kepalanya. Langkah Trias terhenti di sebuah warung kopi yang tampak tak terawat. Tak ada papan nama warung. Banner obat sakit kepala yang dijadikan taplak meja juga sudah memudar. Trias menaruh baskomnya di salah satu meja.

"Lengkap ta, Nduk?" tanya Yati, pemilik warung yang baru keluar dari toko kelontong kecil di sebelah warung kopi itu.

"Cuma jemblem aja yang nggak ada, Bulek. Lainnya lengkap," jawab Trias. Ia duduk di bangku kayu panjang yang warna bagian tengahnya semakin memudar. Mungkin kebanyakan bergesekan dengan bokong.

"Yowes, nggak papa," balas Yati sambil menggelung rambut panjangnya yang tipis dan lepek. Ia menuang teh dari teko yang sudah ia siapkan subuh tadi ke gelas. Teh itu ia taruh di meja depan Trias.

Trias mengambil gelas teh sambil meniupnya. Asap tipis mengepul. Terlalu panas. Ia pun mengambil remote dan menyalakan televisi. Trias menggeser duduknya agar bisa menonton televisi lebih nyaman. Meskipun susah mengingat ia duduk di bangku kayu yang tak memiliki senderan punggung.

Berita tentang virus corona muncul di beragam saluran televisi. Jumlah korban semakin naik. Kelangkaan masker. Imbauan untuk bekerja di rumah. Anak-anak sekolah dan kuliah diliburkan. Rupiah melemah. Jalan raya semakin sepi.

Trias menghela nafas lagi. Ia minum tehnya lambat-lambat. Trias berpikir. Apakah benar ia tak takut virus karena masih keliaran di luar rumah? Tentu saja ia takut. Dengan berita yang bergaung agung tanpa jeda begitu, siapa yang tak takut?

Trias lalu menatap sebaskom gorengan yang ia bawa tadi. Lama. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia tak tahu yang mana yang lebih ia takutkan, terkena virus lalu mati, atau tak kena virus lalu tetap hidup.

Satu persatu pria memasuki warung kopi Yati. Kini ada empat pria yang duduk di bangku kayu setelah memesan kopi pada Yati. Semuanya kopi. Tak ada teh seperti milik Trias. Trias beranjak dan ganti duduk di sofa lusuh di bagian pojok kanan warung. Ia tak masalah meski sofa itu apek karena tak pernah dijemur setelah kehujanan. Dan juga bercampur bau pesing dari air kencing kucing liar.

Dua pria datang lagi, masih sama, masih memesan kopi hitam. Warung kopi Yati pun mendadak ramai dengan ocehan para pria tersebut. Trias mengamati pemandangan warung tersebut. Tak ada yang memakai masker atau sarung tangan. Tapi, apakah diam-diam sebenarnya mereka juga takut? Trias tidak tahu.

Di acara berita, diinfokan harga masker melonjak drastis. Trias tak tahu harga masker sebelumnya berapa, ia toh tak pernah membelinya. Yang ia tahu dari berita, kini ada yang menjual masker seharga Rp 300 ribu satu boxnya. Satu box berisi 50 masker. Artinya satu masker harganya Rp 6 ribu. Jika Trias ingin membeli satu masker, maka harus ada sembilan gorengannya yang laku. Itupun tanpa laba.

Trias dilanda keresahan. Ia merasa hidupnya yang telah susah malah bertambah susah. Trias kembali menatap para pembeli di warung Yati. Apa mereka sebenarnya juga sedih? Apa Bulek Yati sedih juga? Apakah mereka semakin sedih karena sekarang lebih susah untuk bertahan hidup?

Trias bertanya-tanya. Mengapa begitu susah untuk sekedar hidup? Trias tak mungkin bisa mengikuti anjuran untuk terus berada di rumah. Sama saja bunuh diri, pikirnya. Ia bisa saja terhindar dari virus, tapi yang tak terhindarkan adalah kelaparan. Ya bagaimana Trias menghasilkan uang untuk bertahan hidup jika harus mendekam di rumah?

Ada perut yang harus diisi. Ada listrik dan air yang harus dibayar. Juga kontrakan rumah. Semua perlu uang. Yang gratis hanya udara. Dan sekarang itu pun perlu uang? Dengan membeli masker? Ya Tuhan. Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan.

Sebuah jalan buntu. Keluar rumah bisa mati, tetap berada di rumah apalagi. Apakah kami tidak pantas hidup hanya karena kami miskin?

Trias bergidik saat pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia bangkit dan berlari. Tentunya setelah berterima kasih pada Yati untuk tehnya. Semakin lama semakin kencang Trias berlari. Menuju rumah.

Ia sampai di rumah kecil beratap asbes dan berdinding lapisan triplek. Pintu rumah terbuka. Sayup-sayup terdengar suara televisi tua yang sudah lama kehilangan remote. Di depan televisi, di kasur lapuk berdipan kayu, terlihat seorang perempuan renta terbaring. Matanya terpejam. Ia ibu Trias.

Trias mengatur nafas kemudian masuk. Ia berdiri di samping ibunya. Tak lama, ia lalu duduk. Dipandangi ibunya yang sedang tidur. Lelap meski bantal kapuknya mulai menipis.

Tak sadar air mata muncul di pelupuk mata Trias. Mereka pun meluncur menuruni pipi cekung perempuan berambut sebahu itu. Trias kembali mengatur nafas. Kali ini bukan karena ngos-ngosan setelah berlari, tapi agar tak terisak hingga bisa membangunkan ibunya.

Trias berdiri dan berjalan ke samping rumah. Dapurnya, bisa dibilang begitu, meski tak tampak seperti dapur karena jadi satu dengan area mencuci baju dan kandang ayam milik Pak Rohmat, tetangga sekaligus pemilik rumah kontrakan Trias.

Trias menuang air panas ke baskom kecil dari termos. Air itu sudah disiapkan dulu oleh Trias sebelum ia berangkat ke warung Yati. Kemudian ia meraih gentong dan menuang sedikit air ke baskom kecil itu.

Trias kembali ke samping ibunya setelah menyambar handuk kecil putih yang tak lagi putih itu. Ia memasukkan handuk kecil ke dalam baskom dan memerasnya.

"Ibuk, mandi dulu ya," kata Trias sambil membasuh kaki sang ibu dengan handuk.

Mata ibunda Trias terbuka, ia beberapa kali mengerjap. Sambil melihat Trias, sang ibu tersenyum lemah. Kegiatan rutin Trias memandikannya sudah berlangsung selama 5 tahun sejak ia tiba-tiba lumpuh. Sejak saat itu lah ia hanya bisa berbaring di kasur dan menonton televisi di saluran yang sama karena remotenya tak ada.

Sang ibu mengelus kepala Trias, seakan mengucurkan setiap gram kasih sayangnya melalui usapan tangannya. Ia tak akan menduga 30 menit sebelumnya Trias bersimpuh di sampingnya dan menangis sambil menahan isakan.

Trias balas tersenyum. Tapi, ternyata ia tak benar-benar membalas senyuman ibunya. Sebab, dalam kepalanya berkecamuk.

Jalan buntu, Buk, kata Trias dalam hati, masih sambil membasuh kaki sang ibu. Senyum kosong tak lepas dari bibirnya. Tak ada jalan keluar, sekeras apapun kita berusaha. Kita kalah telak. Kita harus bagaimana, Buk?

Tak ada yang tahu jawaban dari pertanyaan Trias. Atau, mungkin kau tahu? Tolong beritahu Trias. Sebelum hidup benar-benar membunuhnya. Dengan atau tanpa adanya virus. 

Selasa, 03 September 2019

Pamit

"Tuanku, aku lelah.
Menjadi budakmu bukanlah pekerjaan yang mudah. 
Tak akan ada yang mengira kau selicin lintah.

Tuanku, aku sedih.
Sadarkah kau setiap hari kulalui dengan tertatih.
Semua hinaan kau tujukan padaku tanpa belas kasih.

Tuanku, aku sudah muak.
Melayani ketamakanmu membuatku ingin teriak.
Sadarlah, kau tak lebih suci dari para peminum arak.

Tuanku, aku akan pamit.
Tak sanggup lagi ku menjalani hari-hari pahit. 
Tak akan lagi ku bekerja untuk si bandit.

Dan Tuanku, sekarang aku pergi.
Semoga kau berhenti menjadi manusia keji."

Sang Tuan terpaku membaca surat itu di singgasana emasnya. Dalam kenaifannya, ia tak pernah merasa dirinya seburuk itu di mata para pekerjanya. Sang Tuan percaya dirinya dikenal sebagai pribadi yang ramah dan rendah hati oleh orang sekitar. Namun, ternyata tak demikian halnya di mata orang yang selalu membantu memenuhi ambisinya.

Sang Tuan telah gagal. Ia gagal memenuhi ambisinya sebagai manusia yang dipandang sempurna oleh semua orang. Ia benci kegagalan. Ia juga benci pada orang yang menyadarkannya akan kegagalan ini.

Sang Tuan gemetar. Ia bangkit dari duduknya diterpa gelombang amarah. Sang Tuan mengambil pistol yang telah lama tersimpan di brangkasnya. Ia tak pernah membayangkan hari ini akan tiba, hari dimana ia akan menghabisi sebuah nyawa.

Marah. Ia dipenuhi dengan kemarahan. Ia menarik pelatuk pistolnya dan menatap dalam-dalam di cermin. Sang Tuan pun memutuskan nyawa mana yang akan ia habisi. 

Sabtu, 25 Maret 2017

Dia Bernama Laras

Perempuan berparas ayu yang sering kujumpai ketika aku tanpa sengaja lewat taman dekat komplek, dia bernama Laras.
Perempuan yang tak pernah lepas dari senyum ceria entah apapun yang ia rasakan saat itu, dia bernama Laras.
Perempuan yang selalu memakai sneakers butut tapi masih juga kece, dia bernama Laras.
Perempuan yang doyan nyamil lembaran keju, dia bernama Laras.
Perempuan berambut pendek yang secara cepat dapat menyita perhatianku, dia bernama Laras.
Perempuan yang aku kagumi dari jauh, dia bernama Laras.

Kalian pasti terusik karena aku berkali-kali menyebut namanya dalam setiap kalimat.
Aku maklum, kalian tak tahu betapa susahnya aku mengetahui nama perempuan yang telah berdiam lama di pikiranku itu.
Aku maklum, tak apa.

Suatu hari ibuku memberiku sebuah undangan yang tak aku ketahui dari siapa.
Kata ibu, itu dari tetangga satu komplek sekaligus anak teman ibu.
Kata ibu, anaknya seumuran denganku.
Kata ibu, anaknya tahu anggota karang taruna komplek, aku satu diantaranya.
Kata ibu, ia memang mengundang seluruh anak muda, baik yang ikut karang taruna atau tidak.

Undangan itu berupa bakti sosial sekaligus perayaan pernikahan.
Anak teman ibu keren juga, pikirku.
Ia tak menggelar resepsi pernikahan seperti layaknya orang umum.
Bakti sosial itu lah resepsi pernikahan yang, kata ibu, ia selalu inginkan.
Lalu, aku sekali lagi membaca nama yang tertera di undangan.

Dari sini kalian pasti sudah bisa menebak siapa yang memberiku undangan.
Ya, dia adalah Laras.
Nama yang baru aku dengar dari undangan pernikahannya.
Tapi orang yang telah aku kenal lama walaupun hanya bersifat satu arah.

Ketika tanggal pernikahan tiba aku datang ke sebuah panti asuhan tempat mereka menggelar bakti sosial.
Tak ada perayaan mewah, bahkan Laras tak memakai gaun pengantin.
Laras yang biasa aku lihat dari jauh, kali ini ia memakai perias wajah.
Jauh, jauh lebih memukau dari biasanya.
Aku tersenyum kecut, tampaknya aku masih saja mengagumi Laras yang telah menjadi istri orang.

Laras dan suaminya yang biasa aja, lebih keren aku, pikirku, menghampiriku dan anak-anak karang taruna lain.
Yang lainnya berjabat tangan dan mengucapkan selamat untuk mempelai.
Aku diam saja, menikmati sisa-sisa Laras untukku sendiri.
Kemudian tiba giliranku, aku menjabat tangannya, sepersekian detik lebih lama dari anak-anak lain.
Aku bisa melihat Laras dari dekat.
Aku menahan gejolak diri untuk menyentuh wajahnya, untuk berteriak bahwa akulah yang pantas mendampinginya.

Setelah acara selesai Laras tampak sendirian sambil mengamati tamu undangan yang hadir.
Lalu mata kita bertemu. Aku luluh lantak. Istri orang ini, masih juga menghipnotisku.
Kudekati dia dengan mengumpulkan segenap keberanian.
Aku tak mau menjadi pengecut seumur hidupku.

"Laras," kataku.
"Iya?" jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu tahu aku?" pertanyaan yang bodoh, pikirku.
Laras ketawa kecil.
"Tahu lah, kalau aku nggak tahu kan kamu nggak mungkin aku undang," jawabnya.
Aku diam, bingung.
"Kok bisa? Kan kita nggak pernah ketemu," ujarku.
Laras menatapku lama, aku masih bingung.
"Kamu selalu naik vespa merah saat melewati komplek taman, kamu selalu minum es kelapa muda depan komplek, kamu selalu pakai jaket jeans nggak layak pakai itu, kamu juga selalu diam-diam ngelihatin aku. Itu kamu kan?" jawabnya, masih juga tersenyum.
Headshot saudara-saudara, aku tumbang.
Bagaimana bisa selama ini Laras yang aku perhatikan dari jauh diam-diam juga memperhatikanku?
Bermimpi tentang itu pun aku tak berani.
Aku diam, merasa bingung sekaligus kalah.
"Suamiku," lanjutnya. "Adalah orang asing yang mengajakku kenalan di taman komplek. Ternyata dia adalah teman dari kakak temanku. Kata dia, dia sudah lama suka sama aku. Awalnya dia cuma bisa ngelihatin aja sampai akhirnya dia berani ngajak kenalan."
Aku mengutuk dalam hati.
"Dia sama denganmu, hanya saja dia lebih berani," kata Laras sambil melemparkan senyum terakhirnya untukku, lalu ia pergi.
Laras meninggalkanku yang masih diam terpaku.
Aku mengulang lagi setiap detil kalimat yang diucapkannya tentangku.

Ya Tuhan. Ya Tuhanku yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Seharusnya Laras bisa menjadi Larasku jika saja aku satu langkah lebih cepat dari pria yang kini telah mempersuntingnya itu.
AAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!!!!
DASAR SIALAN!!!!!!!!!
Ternyata aku tetap menjadi pengecut seumur hidupku........

Jumat, 09 September 2016

Melalui Sebuah Nama

Aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Yang aku tahu hanyalah goresan nama di dinding usang yang tanpa sengaja kutemukan di toilet umum pujasera dekat kantorku, lengkap dengan nomor teleponnya. Maya. Begitu nama itu tertulis. Seperti nama mantan kekasihku dulu yang meninggalkanku demi laki-laki barunya. Tapi, itu cerita lama.
Tanpa pikir panjang aku pun menyimpan nomor telepon itu di ponselku. Maya. Nama yang tak begitu asing terdengar di telingaku. Di tempat kerjaku sendiri ada 2 Maya. Maya pertama merupakan rekan kerjaku yang mempunyai body aduhai. Sudah bukan rahasia lagi jika teman-teman kantorku suka mengajak Maya untuk berkencan hingga berakhir di ranjang. Maya malah dengan senang hati melayani mereka.
Maya yang kedua adalah bosku satu-satunya, seorang janda tanpa anak yang begitu gemar memarahi anak buahnya, termasuk aku. Pernah suatu kali aku gagal saat meraih target bulananku. Maya marah habis-habisan, semua sumpah serapah ia teriakkan kepadaku. Aku langsung kalut dan menghabiskan sisa malam itu dengan menenggak 5 botol bir kesukaanku.
Lalu, seperti apa Maya kali ini? Penasaran, aku pun mengirim sebuah pesan pendek ke nomor ponselnya. "Hai, Maya," tulisku. Dengan cepat aku mengirim pesan itu sebelum aku dapat menyesali perbuatanku. Tak butuh waktu lama untuk Maya membalas pesanku.
"Iya :) Ini siapa ya?" jawabnya.
"Gundala. Tapi Maya bisa memanggilku Dala aja," balasku.
"Namanya unik sekali. Salam kenal Dala :)," ujarnya.
"Nama Maya juga cantik. Pasti secantik orangnya," godaku.
"Ah Dala sok tahu :p," timpalnya.
Soreku di kantor kuhabiskan dengan berbalas pesan dengan Maya. Aku pun penasaran apa pekerjaan Maya hingga akhirnya nomornya bersarang di dinding kamar mandi umum. Apakah dia seorang wanita panggilan? Apakah dia korban kekesalan mantan kekasihnya hingga akhirnya nomornya disebarluaskan di tempat kotor? Rasa penasaranku yang semakin memuncak akhirnya kulampiaskan juga.
"Maya, kalau boleh tahu Maya kerja apa ya?" tanyaku. Aku tak sampai hati untuk mengatakan jika aku menemukan nomornya di dinding kamar mandi. Aku takut Maya jadi marah atau bahkan sedih saat mengetahui fakta tersebut.
"Aku buka usaha sendiri. Online shop lebih tepatnya. Hehe. Lebih enak kerja sendiri daripada ikut orang," jawabnya.
Sepertinya Maya bukan wanita panggilan. Paling tidak setahuku. Ia sama sekali tak menggodaku diluar batas atau mengajakku bercinta dengan tarif yang ditentukannya. Mungkin Maya adalah opsi kedua, yaitu korban mantan kekasihnya. Namun, aku tak pernah menanyakan hal itu.
Percakapanku dan Maya pun berlanjut hingga keesokan hari. Maya menjelaskan ia asli Surabaya dan tak pernah pindah dari Kota Pahlawan hingga 24 tahun hidupnya. Maya menyukai film, terutama film dengan genre drama romantis, tipikal perempuan. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun mengajak Maya nonton film terbaru yang sedang tayang di bioskop. Sayangnya, ia menolak ajakanku.
"Maaf, Dala. Aku belum cukup kenal Dala untuk bisa percaya kalau Dala cuma bermaksud ngajak menonton," ujarnya.
Aku kaget melihat jawabannya. Bukan seperti yang kuharapkan karena toh kita sudah saling kenal melalui berbagai kiriman pesan. Tapi, aku maklum. "Tenang, Maya. Aku janji cuma ngajak Maya nonton aja. Yah, kalau beruntung setelah nonton kita bisa makan malam sambil mengenal lebih jauh," jawabku.
"Terima kasih banyak atas tawarannya, Dala. Tapi, maaf banget aku nggak berani. Dala orang asing sih :p," balasnya.
"Makanya kita ketemu supaya Maya nggak ngerasa asing lagi. Tenang aja, aku udah jinak kok," candaku.
Maya kembali menolak ajakanku. Aku semakin heran kenapa gadis semanis dan selugu Maya bisa ada di dinding kotor tempatku pertama kali mengenalnya. Maya yang ini sepertinya tak seganas kedua Maya di kantorku dan sejahat Maya mantan kekasihku. Maya yang ini begitu membuatku penasaran dengan setiap barisan kata yang dikirimkannya untukku.
Dua hari kemudian, tepat jam satu malam Maya mengirim pesan untukku. Pesan yang tak pernah kusangka akan hadir di kotak pesanku dari Maya.
"Dala, lagi apa? Aku kesepian nih. Dala temenin dong," tulisnya.
"Maya kenapa? Ada masalah?" balasku basa-basi. Padahal aku tahu pasti apa yang dimaksud kesepian olehnya.
"Enggak sih, cuma ngerasa kesepian aja. Coba Dala ada di sini. Di kamar kosku. Di samping tempat tidurku...," jawabnya.
Aku yang tadinya malas-malasan di kamar langsung terduduk tegak. Akhirnya, seruku dalam hati.
"Kos Maya dimana? Aku bersedia kok nemenin Maya ;)," ujarku penuh harap.
"Nggak bisa, Dala. Kan aku udah bilang Dala orang asing. Aku nggak berani ketemu Dala dulu. Dala nemenin aku lewat sini aja ya. Btw, malem ini panas banget ya. Aku mau tidur sampai nggak pake apa-apa," balasnya.
Penisku langsung bereaksi setelah membaca kata-kata terakhir Maya di pesan itu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung meladeninya. Berbagai pesan penuh birahi saling berbalas hingga membuatku ereksi. Terangsang oleh pesan-pesan darinya, aku pun ejakulasi.
Sejak saat itu setiap malam kuhabiskan dengan berbalas pesan nakal dengan Maya. Setiap malam juga aku membayangkan meniduri tubuh indah Maya dan menghisap puting merah muda miliknya seperti yang dideskripsikannya.
Aku tak mempermasalahkan lagi alasan-alasan Maya saat tak mau diajak bertemu, atau bahkan sekedar mendengarkan suaranya via telepon. Maya sepertinya lebih nyaman untuk saling memuaskan nafsu satu sama lain melalui pesan. Dan aku pun tak keberatan sama sekali. Selama Maya masih membalas pesan-pesanku. Selama Maya masih mau melayaniku walau sekedar lewat pesan.
Siapa sangka, berawal dari kamar mandi pujasera dekat kantorku, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis bernama Maya yang siap menjadi objek fantasi-fantasi liarku. Ah Maya... Nama yang indah untuk gadis yang indah pula.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sebuah kamar kos kecil, seorang lelaki tambun berkacamata tampak asik mengetik di layar ponselnya. Lelaki itu sesekali menggaruk kelaminnya yang terasa gatal akibat berhari-hari tak mengganti celana dalam karena terlalu malas untuk mandi.
Lelaki itu terkadang tersenyum sendiri ke arah ponselnya. Tak ada yang tahu dengan siapa ia berbalas pesan. Namun, satu yang ia tahu pasti. Seorang lelaki bernama Gundala telah mengikuti permainan iseng yang dibuatnya dibilik kecil kamar mandi pujasera dekat tempat kosnya beberapa hari lalu.
Gundala mengenalnya dengan nama Maya. Bukan tubuh seksi perempuan seperti yang selama ini dibayangkan Gundala, Maya ternyata hidup dalam sosok laki-laki tambun berkacamata yang menjadikannya bahan fantasinya sendiri.

Selasa, 30 September 2014

Teruntuk Wanita di Depan Altar

                Aku mengambil sebuah jas hitam yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk acara ini. Kulihat pantulan diriku sekali lagi di kaca untuk memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilanku. Aku menghela nafas. Masih tidak beranjak dari depan kaca.
Sebentar lagi aku akan melihatnya berdiri di depan altar. Wanita yang selalu aku cintai. Tidak dengan t-shirt band favorit dan sneakers kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia akan mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan warna senada yang membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya yang selalu diikat asal akan ditata rapi dan dihiasi dengan mahkota kecil dan wedding veil. Wajahnya yang memang sudah cantik tanpa make-up akan terlihat lebih cantik dengan make-up.
                Kau terlihat sangat cantik, akan kubisikkan itu padanya. Lalu, ia akan tersenyum dan menunjukkan dua lesung pipi yang menjadi ciri khas nya. Seperti yang selalu ia lakukan di tahun-tahun yang lalu.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya aku memutuskan untuk berangkat.
                Ia disana. Wanita yang selalu aku cintai. Tepat seperti apa yang aku bayangkan. Cantik. Anggun. Selalu membuatku jatuh cinta.
                Ya. Ia disana.
                 Aku duduk dalam diam. Mendoakan kebahagiaannya kepada Tuhan. Mendoakan agar ia selalu bahagia dalam setiap nafas yang dihembusnya. Dan berdoa, agar aku masih bisa melihat senyumnya yang dulu selalu ia tujukan hanya untukku.
Ya Allah, bahagiakanlah ia. Juga... keluarga kecil mereka. Ucapku dalam hati.
Aku membaca ulang sebuah notes kecil yang telah aku persiapkan dengan sebuket bunga tulip kesukaannya.

“Dear Catherine,

Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut berbahagia. Dan, kau terlihat sangat cantik hari ini. Ah, tidak. Kau memang selalu cantik dimataku. Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Alif.”


Aku dan dia memang tidak akan pernah bisa sama. Namun, kita tak pernah bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan aku, hingga saat ini, masih jatuh cinta padanya.