Selasa, 03 September 2019

Pamit

"Tuanku, aku lelah.
Menjadi budakmu bukanlah pekerjaan yang mudah. 
Tak akan ada yang mengira kau selicin lintah.

Tuanku, aku sedih.
Sadarkah kau setiap hari kulalui dengan tertatih.
Semua hinaan kau tujukan padaku tanpa belas kasih.

Tuanku, aku sudah muak.
Melayani ketamakanmu membuatku ingin teriak.
Sadarlah, kau tak lebih suci dari para peminum arak.

Tuanku, aku akan pamit.
Tak sanggup lagi ku menjalani hari-hari pahit. 
Tak akan lagi ku bekerja untuk si bandit.

Dan Tuanku, sekarang aku pergi.
Semoga kau berhenti menjadi manusia keji."

Sang Tuan terpaku membaca surat itu di singgasana emasnya. Dalam kenaifannya, ia tak pernah merasa dirinya seburuk itu di mata para pekerjanya. Sang Tuan percaya dirinya dikenal sebagai pribadi yang ramah dan rendah hati oleh orang sekitar. Namun, ternyata tak demikian halnya di mata orang yang selalu membantu memenuhi ambisinya.

Sang Tuan telah gagal. Ia gagal memenuhi ambisinya sebagai manusia yang dipandang sempurna oleh semua orang. Ia benci kegagalan. Ia juga benci pada orang yang menyadarkannya akan kegagalan ini.

Sang Tuan gemetar. Ia bangkit dari duduknya diterpa gelombang amarah. Sang Tuan mengambil pistol yang telah lama tersimpan di brangkasnya. Ia tak pernah membayangkan hari ini akan tiba, hari dimana ia akan menghabisi sebuah nyawa.

Marah. Ia dipenuhi dengan kemarahan. Ia menarik pelatuk pistolnya dan menatap dalam-dalam di cermin. Sang Tuan pun memutuskan nyawa mana yang akan ia habisi.