Minggu, 04 Agustus 2019

Rubah Temanku

Aku sudah terlalu tua untuk tersesat.
Berhenti terlalu lama untuk berjalan kembali.
Aku diam.
Terlalu diam.
Hanya ada seekor rubah di sampingku.
Rubah temanku, penenang sekaligus pelipur laraku.
Ia lah yang selalu menemaniku.

Hutan yang kumasuki bertahun lalu tampak semakin lebat.
Aku tahu, karena aku diam.
Berada di tempat yang sama entah berapa lama sudah.
Lebatnya hutan membuat bisingnya kota ikut diam.
Kota tempatku dulu tinggal dengan segala keangkuhanku.

Sepertinya rubah temanku bukan penunjuk arah yang baik.
Ia ingin aku untuk diam, menemaninya.
Maka aku diam.
Kami bergerak seperlunya saja.
Aku merasa tenang.
Sangat tenang.

Kini aku semakin tua.
Aku tidak ingin diam lagi.
Namun, aku juga takut tersesat.
Karena aku telah terlalu lama diam.
Aku tidak tahu jalan pulang.
Aku tidak tahu jalan sama sekali.

Rubah temanku tampaknya merasakan kegelisahanku. Ia mengeluskan kepalanya ke kakiku.
Tepat seperti kucing, ia bertindak layaknya kucing.
Ia kembali menenangkanku.
Maka aku diam lagi.

Aku jadi ingat saat masih tinggal di kota.
Menjadi manusia tamak yang penuh ambisi.
Manusia bahagia yang penuh kesedihan.
Suka tertawa namun dipenuhi amarah.

Hingga aku bertemu si rubah.
Saat itu ia belum menjadi temanku.
Ia beberapa kali muncul di depanku.
Selalu mengamati gerak gerikku.
Hingga akhirnya ia masuk ke dalam hutan ini.
Dan aku pun mengikutinya.

Lalu, segala kericuhan dan kerancuan kota hilang.
Aku menjadi tenang.
Untuk pertama kalinya aku diam.
Dan aku merasa senang.
Rubah pun ikut senang.

Sekarang aku tak lagi merasa senang.
Aku tak merasakan apa-apa.
Aku hanya diam.
Bersama rubah temanku.
Aku diam.
Terus diam.
Rubah senang. 
x