Tampilkan postingan dengan label racauan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label racauan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 September 2021

Tawa & Lara

 Tawa bisa bersuka ria.

Berlarut-larut dalam canda.


Tawa menghadirkan sebuah cerita.

Dengan harapan akhir yang bahagia.


Tawa tak peduli apa kata mereka.

Riang gembira bersuka cita.


Namun, Tawa menyimpan sebuah rahasia.

Yang ia bagi pada Yang Maha Kuasa.


Bahwa, Tawa tak terlalu suka jadi tawa.

Pikirnya, semua sia-sia.


Jika saja Tawa bisa mengungkap semua.

Jancok kambing taek asu, Tawa berkata.


Tawa muak, ingin jadi Lara saja.

Karena, Lara tidak berpura-pura.


Lara menghela nafas mendengar ucapan Tawa.

Tapi, tetap dituruti saja.


Kini, Tawa adalah Lara.

Dan ternyata ia tetap tertawa.



Selasa, 31 Desember 2019

Esensi Hidup

Hidup manusia dipenuhi ambisi.
Segala hal dilakukan berbekal intuisi.
Merah merupakan darah.
Putih berarti fitrah.
Kau bilang, merah bisa saja curah.
Dan putih adalah gairah.

Suatu saat akan datang distraksi.
Hingga hidupmu mengalami transisi.
Ada pesan, jangan terbawa amarah.
Lebih baik terus menengadah.
Dia bilang, semua akan kembali menjadi tanah.
Katamu, itu hanya untuk orang-orang pasrah.

Aku hanya bisa berharap Tuhan tak emosi.
Melihat manusia bereinkarnasi.
Yang diciptakan susah payah.
Namun, berubah menjadi sampah.
Jika tiba waktunya Dia jengah.
Sayang, mau tak mau kau akan kalah.
x

Minggu, 04 Agustus 2019

Rubah Temanku

Aku sudah terlalu tua untuk tersesat.
Berhenti terlalu lama untuk berjalan kembali.
Aku diam.
Terlalu diam.
Hanya ada seekor rubah di sampingku.
Rubah temanku, penenang sekaligus pelipur laraku.
Ia lah yang selalu menemaniku.

Hutan yang kumasuki bertahun lalu tampak semakin lebat.
Aku tahu, karena aku diam.
Berada di tempat yang sama entah berapa lama sudah.
Lebatnya hutan membuat bisingnya kota ikut diam.
Kota tempatku dulu tinggal dengan segala keangkuhanku.

Sepertinya rubah temanku bukan penunjuk arah yang baik.
Ia ingin aku untuk diam, menemaninya.
Maka aku diam.
Kami bergerak seperlunya saja.
Aku merasa tenang.
Sangat tenang.

Kini aku semakin tua.
Aku tidak ingin diam lagi.
Namun, aku juga takut tersesat.
Karena aku telah terlalu lama diam.
Aku tidak tahu jalan pulang.
Aku tidak tahu jalan sama sekali.

Rubah temanku tampaknya merasakan kegelisahanku. Ia mengeluskan kepalanya ke kakiku.
Tepat seperti kucing, ia bertindak layaknya kucing.
Ia kembali menenangkanku.
Maka aku diam lagi.

Aku jadi ingat saat masih tinggal di kota.
Menjadi manusia tamak yang penuh ambisi.
Manusia bahagia yang penuh kesedihan.
Suka tertawa namun dipenuhi amarah.

Hingga aku bertemu si rubah.
Saat itu ia belum menjadi temanku.
Ia beberapa kali muncul di depanku.
Selalu mengamati gerak gerikku.
Hingga akhirnya ia masuk ke dalam hutan ini.
Dan aku pun mengikutinya.

Lalu, segala kericuhan dan kerancuan kota hilang.
Aku menjadi tenang.
Untuk pertama kalinya aku diam.
Dan aku merasa senang.
Rubah pun ikut senang.

Sekarang aku tak lagi merasa senang.
Aku tak merasakan apa-apa.
Aku hanya diam.
Bersama rubah temanku.
Aku diam.
Terus diam.
Rubah senang. 
x

Jumat, 15 September 2017

Malam Temaram

Aku dapat melihat bulan sabit dari jendela kamarnya.
Bulan favoritku.
Aku dapat mendengar dengkur tidurnya di sampingku.
Suara favoritku.
Aku dapat memandang wajah tirusnya dari cahaya temaram.
Wajah favoritku.

Jam ini, menit ini, detik ini, adalah akhir dari sebuah perjalanan singkat.
Dalam hidup yang hanya sementara, aku tak menyangka dia telah membuatku terpikat.
Ah, di malam yang sungguh pekat.
Sayangnya waktu kita telah tenggat.

Selamat tinggal.
Terima kasih telah bersedia singgah.

Senin, 01 Mei 2017

Dua Puluh Empat

Dua puluh empat. Usia yang tak lagi muda, namun juga tak benar-benar tua.

Dua puluh empat. Hampir seperempat abad, tapi masih sering mengumpat.

Dua puluh empat. Ketika wajah-wajah lama semakin lenyap, wajah -wajah baru datang untuk mengendap.

Dua puluh empat. Hanya bisa menatap, kemana hidup akan membawanya menetap.

Dua puluh empat. Masih percaya romansa klise, membuatnya larut dalam berbagai fase.

Dua puluh empat. Waktunya keluar dari zona nyaman, meski harus berada di tempat tak aman.

Dua puluh empat. Saat raga semakin lemah, oleh kerasnya kehidupan tanpa arah.

Dua puluh empat. Tiga puluh persen matang, tujuh puluh persen masih senang-senang.

Dua puluh empat. Usia yang tepat untuk menata hidup, tanpa tahu apa yang harus diraup.

Dua puluh empat. Berharap kelak akan datang orang yang tepat.

Jumat, 04 November 2016

Kita Pernah Jatuh Cinta

Pernah menghabiskan malam dengan berbagi cerita.
Pernah begitu bahagia hanya dengan bertemu raga.
Pernah saling merengkuh tubuh dengan lembut.
Dan memadu kasih dengan mulut yang terpagut.

Tanpa bahasa. Tanpa aksara.
Kita pernah begitu gila.

Pernah bertahta tertinggi di hati satu sama lain.
Pernah menyusun masa depan dalam bayangan baju pengantin.
Pernah merasakan debar jantung yang begitu bising.
Dan lupa bahwa dulunya kita hanyalah orang asing.

Ya, aku ingat betul tiap detik yang kulalui bersamamu.

Dengan genggaman tangan yang enggan kau lepas.
Dengan desahan nafas yang semakin memanas.
Dan dengan kenangan itulah kau berkemas.
Memastikan sisa-sisa impian kita telah kandas.

Aku tak pernah memintamu untuk tinggal.
Namun, kadang-kadang aku berpikir.

Ingatkah kau bahwa kita pernah sejatuh cinta itu?

Jumat, 19 Agustus 2016

Binatang Tamak

Dari sekian banyak binatang di dunia ini, kau lah yang paling tamak.
Setiap mangsa yang berada didekatmu akan kau santap dengan lahap.
Kau lebih dari sekedar liar. Kau buas.
Tak puas hanya menghabisi satu nyawa, kau terus berburu lagi dan lagi.
Kau tak pernah mengenal kata kenyang.
Seakan perutmu mampu menampung seluruh makhluk tak berdaya di hutan metropolitan ini.
Lucunya, kini kau telah memiliki seorang tuan.
Hanya tuanmu lah yang bisa menjinakkanmu.
Tuanmu tak pernah tahu serendah apa masa lalumu.
Sepertinya ia terlalu percaya bahwa binatangnya memang sejinak yang ia pikirkan.
Hah. Lucu sekali.
Suatu saat akan kulemparkan bongkahan bangkai busuk di depan mukanya.
Sehingga ia bisa melihat sendiri seganas apa binatang yang begitu disayanginya itu.

Sabtu, 09 Juli 2016

Aku Mulai Gila

Orang bilang waktu bisa menyembuhkan segalanya.
Tapi, sepertinya hal itu tak berlaku untukku.
Dia yang selalu bisa membuatku merasakan jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaan.
Dia yang telah berusaha kulenyapkan dari benakku selama bertahun-tahun.
Bagaikan sebuah hadiah sekaligus petaka yang diberikan Tuhan untukku, dia datang.
Masih dengan senyumnya yang selalu membuatku tergila-gila.
Dan juga tatapannya yang tak pernah bisa kulupakan.
Dia datang.

Aku tak bisa memungkiri betapa bahagianya aku bisa menghabiskan waktu bersama dengannya.
Walaupun bukan hanya kami berdua. Karena hal itu tak akan mungkin terjadi.
Aku bahagia bisa ikut tertawa dengannya, mendengarkannya menyanyikan lagu cinta entah untuk siapa, atau bahkan sekedar berada dalam jangkauannya.
Aku begitu payah. Lagi-lagi tenggelam dalam perasaanku sendiri.
Tak ada yang bisa kulakukan kecuali memutar kembali saat-saat indah itu.
Hanya sebagai pengingat bahwa dia pernah menyadari keberadaanku.
Ah, sepertinya aku mulai gila.

Rabu, 13 April 2016

Sebuah Perubahan

23 tahun yang lalu ia lahir ke bumi, tanpa tahu akan seperti apa dunia menjadikannya kelak.
Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang selalu riang dan membuat orang disekitarnya ikut merasa bahagia. Ia tak pernah bersedih, kecuali ketika ayahnya mengganti acara kartun di televisi dengan pertandingan sepak bola.
Masa mudanya penuh warna. Berbagai konser band rock n roll hingga ska tak pernah absen untuk didatanginya. Ia memiliki teman-teman sebaya yang selalu memiliki acara untuk berkumpul bersama. Berbagi kisah, berbagi cerita.
Ia mungkin bukan siswi terpintar, namun ia pernah meraih nilai tertinggi di sekolahnya saat ujian nasional hingga membuat kedua orangtuanya bangga. Selalu ia ingat raut bahagia hingga tangis haru ayah ibunya saat tahu sang anak menjadi seorang juara.
Lalu, tiba-tiba takdir mempertemukannya dengan seorang pria.
Berawal dari pertemanan, mereka akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Keromantisan selalu mengiringi keberadaan mereka. Keduanya lupa bahwa sejatinya hidup tak hanya milik mereka saja. Namun, mereka tak peduli.
Ia menjalani hidup layaknya makhluk tuhan paling bahagia bersama sang kekasih. Sayangnya, hal itu hanya bisa dirasakan pada awal-awal bulan. Kekasihnya secara perlahan berubah menjadi monster menyeramkan yang begitu ditakutinya.
Sang kekasih tak pernah ragu untuk melayangkan tangan ke tubuhnya ketika dirinya merasa kesal. Pukulan demi pukulan diterimanya tanpa tahu apa yang membuatnya berhak untuk menerima perlakuan itu. Ia tetap memilih untuk bertahan.
Ia menjadi kebas. Tak ada perasaan sedih atau senang yang bisa dirasakan.
Hanya ketakutan yang selalu menjalarinya setiap kali melihat sosok sang kekasih. Seperti itukah definisi seorang kekasih? Tidak. Dan ia pun akhirnya sadar hingga memberanikan diri untuk meninggalkannya meskipun dengan perasaan terancam.
Untungnya, teman-teman yang dulu ditinggalkannya karena larangan sang kekasih ternyata memang selalu ada di sana untuk menunggu. Menunggunya kembali menjadi diri sendiri dan keluar dari berbagai kekejaman yang berkamuflase atas nama cinta.
Kini, ia tak lagi menjadi wanita murung yang selalu hidup dalam ketakutan. Meskipun terkadang bayangan-bayangan kelam itu susah untuk disingkirkan, ia percaya Tuhan telah mempersiapkan akhir yang bahagia untuknya. 

Rabu, 10 Desember 2014

Desember

Saya menyukai Desember. Tak pernah tahu pasti alasannya, namun Desember membawa kedamaian tersendiri bagi saya. Desember ibarat rumah yang selama ini saya tuju. Yang membuat saya menghela nafas lega dan berkata, “Ah, akhirnya tiba juga di bulan ini.”

Mungkin karena Desember merupakan bulan di penghujung tahun. Bulan dimana saya menengok kembali ke bulan-bulan sebelumnya dan mengingat apa yang telah saya lalui sepanjang tahun. Bulan pengasih yang seakan dapat memaafkan segala bentuk keabnormalan saya dan memeluk saya dengan lembut.

“Yang lalu biarlah. Because you made it until today. Don’t worry, you did great.” Mungkin jika Desember bisa berbicara, ia akan berbicara seperti itu.

Desember bagi setiap orang memang berbeda-beda. Namun, Desember saya selalu memaafkan.

Terlalu terlambat memang untuk mengatakan ini, namun terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali kan?

Selamat datang, Desember. Terima kasih telah bersedia menemani.


Jumat, 26 September 2014

Bulimia

Aku mengkonsumsi. Lalu, memuntahkan. Begitulah definisi bulimia. Namun, kasusku disini, bukan makanan yang aku konsumsi. Tapi, memori. Ribuan memori tentang aku dan kau, yang dulu pernah disebut dengan “kita”.
Memori yang menyenangkan, yang membawaku kembali dalam alunan rindu yang merdu sekaligus memekakkan telinga. Sekali waktu aku membuka kembali memori kita. Perlahan, lalu terbiasa. Begitu candunya aku akan memori itu.
Namun, aku segera memuntahkannya. Itu sangat tidak baik bagi tubuhku. Terlebih, hatiku.
Pernah suatu waktu, aku begitu kelaparan dan menghabiskan banyak porsi tentang memori kita. Tak pernah ada kata kenyang. Aku menjadi lebih rakus dari hari ke hari. Namun, disaat yang sama, aku segera memuntahkannya kembali. Aku tak bisa menambah kalori-kalori rindu ini untuk tubuhku. Sudah terlalu banyak lemak yang menguasai.
Aku sadar sekali ini tak baik untukku. Aku benar-benar sadar. Namun, candu ini begitu menggoda. Tak pernah cukup aku akan kau. Akan kita. Walau sekarang kau entah sedang beradu kasih dengan siapa. Walau aku tak pernah tahu pasti bibir siapa yang akan kau kecup. Tubuh baru yang kau peluk. Sebuah jiwa baru untuk kau ambil.
“Percayalah, aku akan selalu berada disini. Di dekatmu. Walau nyatanya memang kita terpaut jarak ribuan kilometer yang begitu menyiksa. Namun, aku selalu disini. Bersamamu. Kau harus percaya itu.”
Lebih dari ribuan kali kalimat itu aku telan mentah-mentah. Mengendap di seluruh tubuhku. Membuat jantungku berdegup tak karuan ketika aku memutar ulang memori itu. Lalu, tak lama, air mata seakan tak sanggup lagi berada di pelupuk. Ia jatuh. Tepat ketika aku bersuara...
“Iya. Aku percaya. Aku selalu percaya.”
Penyakit ini sudah begitu akut. Aku ingin sembuh. Aku tak ingin candu ini menggerogoti tiap aliran darahku. Tidak mudah memang, tapi aku harus mencoba.

Tak akan lagi aku mengkonsumsi memori ini. Sehingga tak akan ada lagi yang harus dimuntahkan selanjutnya. Seperti kata-kataku saat iku, “Aku percaya. Aku selalu percaya.” Ya. Aku percaya aku bisa.

Sabtu, 05 Juli 2014

Masih Sanggupkah Kau Tersenyum Nanti?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Setelah ujian yang datang bertubi-tubi kepadamu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah orang-orang menghinamu disana-sini, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah semuanya menyudutkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah sakit yang terasa mematikan, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah hidup yang kau punya satu-satunya terkoyak, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kebahagiaan yang perlahan meninggalkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kehancuran begitu ingin menghampirimu, masih sanggupkah kau tersenyum?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Sabtu, 02 November 2013

Kau di Depan Sana, Selamat Untuk Kekasih Baru mu.

Hai. Ku dengar kau sudah menjadi miliknya ya? Miliknya seutuhnya? Jahat sekali. Aku bahkan belum sempat mengutarakannya padamu. Mengutarakan bagaimana aku terbius dengan aroma tubuhmu. Dengan pancaran semu kebahagiaanku saat bersamamu. Bagaimana bisa kau meninggalkanku begitu saja. Ah, jelas kau bisa. Memang aku siapa? Kau bahkan mungkin tidak mengenaliku.
Aku yang sudah terbiasa mengagumimu dari kejauhan ini merasa kehilangan. Bagaimana tidak, kau yang biasanya menjadi tumpuan mimpi-mimpiku untuk memilikimu, sekarang telah dimiliki orang lain. Beruntung sekali orang itu. Iya, orang itu. Kekasih barumu. Dia bisa mendapatkanmu tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri saat memandangimu. Tidak sepertiku, yang harus sembunyi-sembunyi agar kau tak sadar bahwa aku menatapmu sedari tadi.

Jujur saja, aku tidak ingin mendoakan jelek untuk hubunganmu. Karena bagaimanapun, kau bahagia bersamanya. Dan itu cukup untukku. Aku hanya berharap, kau masih sudi membagi secuil tubuhmu untukku. Untuk kupandangi sendiri. Untuk kukagumi, betapa aku benar-benar menyukaimu. Ini sudah gila, ini bukan suka lagi. Ini lebih dari itu. Entah apa namanya… 

Mimpi

Malam ini aku bermimpi tentangmu lagi. Tentang paras mu yang menggelayut manja di benakku. Kita berbicara lama sekali. Mataku terkunci pada matamu. Aku melihat pantulan diriku di mata beningmu. Ah, walaupun ini hanya sekedar mimpi, yang aku tahu pasti tidak akan terjadi di dunia nyata, aku tetap mengucap syukur pada Gusti. Karenanya, aku dapat memandangimu, memperhatikanmu dari dekat, walau hanya dari mimpi.
Kita berbincang. Membicarakan apa saja. Jarak kita hanya terpaut sepersekian centimeter. Ada jendela yang yang menghubungkan kita. Kita berdiri disana. Berbincang. Dan saling menatap. Hingga entah bagaimana, kau memberi sepucuk surat untukku. Aku lupa sebagian besar isi suratnya. Namun yang aku ingat, dalam surat itu ada kalimat…
“Namaku .…. Dan aku sudah berpacaran 7 tahun dengan .…. Masihkah kau menerimaku?”
Entah. Aku tidak menjawab surat itu. Mimpi terputus begitu saja. Ketika aku terbangun, hanya tiga kata yang terucap langsung dari bibirku.
“…Ya. Aku mau.”
Mungkin aku memang sudah gila. Untuk apa aku menjawab pertanyaan dari dunia fana? Dunia yang entah kapan aku bisa berada disana lagi... Ah, sial.

Senin, 14 Januari 2013

Menunggu Takdir

Aku sudah tidak bisa membedakan lagi mana kenyataan dan mana fana. Mereka membaur menjadi satu, berusaha memporak-porandakan hidupku. Aku kacau. Aku terjerat dalam tipu daya mereka. Yang fana berpura-pura menjadi realita. Realita memperkenalkan dirinya sebagai fana. Aku berada di tengah-tengah. Terombang-ambing akan ketidak pastian. Aku ingin sekali menyerah. Aku sudah tidak tahan lagi.

Hanya takdir yang bisa menyelamatkanku. Aku harap ia juga tidak ikut mempermainkanku. Aku buta akan nurani. Realita yang membutakannya. Apa daya, aku juga butuh hidup. Namun, hidup tidak membutuhkanku. Terseok-seok aku melangsungkan hidup, ia meludahkanku mentah-mentah. Sedikitpun ia tak mau menengokku.

Takdir. Bagaimanapun juga, aku tetap akan menunggumu. Walau hidup berusaha untuk membinasakanku, aku percaya, kau, takdir, akan memihak kepadaku. Benar kan? Benar kan, takdir?

Sabtu, 22 Desember 2012

Tuhan Maha Adil

Tuhanku yang Maha Adil, aku kelaparan. Dan mereka di luar sana makan dengan rakusnya hingga perut mereka sakit. Jangankan makan hingga sakit perut, sesuap nasi pun aku tidak punya.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kedinginan. Dan mereka di luar sana dengan mudah membeli jaket necis tebal yang mahal. Jangankan jaket necis tebal yang mahal, yang aku punya hanya selembar selimut tipis yang aku pakai berdua dengan adikku.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kesakitan. Dan mereka di luar sana terlihat segar bugar dengan vitamin yang dikonsumsinya setiap hari. Jangankan mengkonsumsi vitamin, untuk makan saja aku sudah kesusahan.

Kau memang adil Tuhanku. Kau memang adil.

Selasa, 17 April 2012

Hai kau

Hai kau yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Apa kabar? Aku disini baik-baik saja. Tentu aku masih tetap dengan usahaku menghapus luka. Jangan marah, aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkan diri sendiri. Hiduplah yang membawa kita seperti ini. Hidup juga yang mengatur pertemuan dan perpisahan ini.
Aku masih mengingat jelas “Suatu hari nanti aku akan kerumahmu,” atau “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” dan untaian-untaian janji lainnya darimu. Manis memang, indah memang, tapi itu tidak menutup caci dan makian darimu. Aku lebih mengingat kata-kata khas Suroboyo yang sering kau lontarkan ketika amarah menguasaimu. Jangan salahkan aku yang masih mengingat memori itu. Kau sendiri yang menancapkannya di otakku. Oh, terlebih hatiku. Kata-kata yang selalu aku dengar dengan mata nanar dan hati bernanah. Bisakah kau membayangkannya? Bisa?
Aku hanya seorang perempuan. Aku lemah, kau tahu. Aku lemah dengan sumpah serapahmu yang membabi buta itu. Satu tahun. Kurang lebih satu tahun aku menahan itu semua. Kenangan indah? Aku tidak ingat. Terpaku dan tertutup rapat pada peti kehancuran. Aku terperosok. Seolah kau disana, tapi kau tak dapat menolongku.
Sebut aku egois, sebut aku orang yang tidak mempunyai hati. Baiklah. Aku terima. Toh, aku sudah terlatih untuk mendengar kata-kata itu.
Hai kau yang pernah menjadi bagian hidupku. Sampai saat aku menulis ini, ketakutan masih saja menyergapku. Takut jika kau akan marah pada setiap detail huruf yang ada disini. Satu yang harus kau tahu. Aku menulis fakta. Dan aku tahu benar bahwa kau tahu itu.
Selamat malam, kau. Dan terima kasih.

Rabu, 01 Februari 2012

Naskah Hidup

Ini bukan cerita yang kau inginkan. Ini bukan episode-episode yang kau impikan. Aku tahu. Aku tahu benar. Kita hanya pelakon drama kehidupan. Sudah ada sang sutradara yang mengatur ini semua. Bagaimanapun, naskah hidup kita telah selesai ditulis. Dan kita hanya tinggal memerankannya seperti anjing bodoh yang setia kepada majikan. Iya iya, tidak tidak. Hanya itu. Takdir dapat diubah? Tai. Itu hanya upaya manusia untuk memotivasi diri sendiri. Tapi, hey! Tak ada salahnya. Bahkan anjing bodoh pun tak ingin terlihat bodoh, bukan?
Naskah hidupku lebih keparat dibanding siapapun. Ya, kau bisa menyangkal itu. Aku tahu pasti kau merasa naskah hidupku lebih baik darimu. Karena memang begitulah manusia bereaksi. Benar-benar sampah. Bagaimana bisa aku mendapatkan naskah hidup yang seperti ini?! Akan ku lakukan apapun untuk casting sebagai pemeran drama hidup yang lain. Oh, percayalah! Aku memang tak baik dalam menjalani lakonku disini. Tapi, aku pasti lebih jika aku mendapat peran yang lain. Aku percaya itu.
Ah, setidaknya kau masih bisa makan enak didalam rumah yang nyaman. Bukan di sebuah prostitusi kelas sapi yang bau busuk ini. Setidaknya kau masih punya kedua orang tua. Bukan seorang germo menor yang tidak punya hati ini. Setidaknya kau masih bisa mengenyam pendidikan. Bukan mengenyam kelamin para laki-laki hidung belang ini. Anjing! Hey, kau anjing! Jangan pernah bilang hidupmu tidak lebih baik dariku! Tahu apa kau, bangsat!
Tai. Tai tetap saja tai. Aku hanya bisa berharap sang sutradara telah menyiapkan akhir bahagia untukku. Jika tidak, aku tak akan berhenti merutuknya. Dasar sutradara pembuat hidup sialan!