Selasa, 06 Juli 2021

Sampai Bertemu di Sana, Sayangku

 

Jam dinding di ruang kantorku belum juga menunjukkan pukul 17.00 WIB. Tapi, aku sudah mencicil untuk berkemas. Thomas, rekan kerja di sebelah yang melihatku mulai memasukkan barang-barangku ke dalam tas pun menatap heran.

“Nggak biasanya kamu cepat-cepat pulang,” ujarnya sambal bertopang dagu melihatku.

“Hari ini spesial,” jawabku pendek sambal menggulung kabel earphone-ku.

“Oh ya? Ada acara apa emangnya? Biasanya kamu lebih suka menghabiskan waktu di kantor. Akhirnya kamu sekarang normal juga,” selorohnya.

“Normal?” tanyaku bingung.

“Yah, maksudku, siapa sih karyawan yang mau berlama-lama di kantor? Kecuali kamu, kamu malah suka menyibukkan diri di sini,” jawabnya sambal menyomot biskuit di samping keyboard-nya.

“Seperti kubilang, hari ini spesial,” kataku mengulangi jawabanku.

“Ada yang ulang tahun? Oh! Mau kencan ya?” godanya sambil senyum-senyum sendiri.

Aku balas menjawabnya dengan senyuman dan menepuk pundaknya sambil bangkit dari kursiku.

Seperti yang kubilang tadi, hari ini memang spesial. Hari ini, aku akhirnya memutuskan untuk menjemputnya.

------------------------------------------------------------------------------

Pertemuan terakhirku dengan Elisa saat itu diakhiri dengan air mata. Air mata Elisa. Air mata dari wanita yang aku cintai sepenuh hati. Tak pernah sedetikpun paras cantiknya menghilang dari pikiranku. Di dunia ini, kurasa, hanya Elisa-lah wanita yang paling berpengaruh dalam hidupku.

Berkat Elisa, aku memiliki keberanian untuk menata kembali hidupku yang sudah carut marut dari entah kapan. Aku mulai berani untuk bermimpi tentang masa depan, bahwa aku pun, berhak untuk punya masa depan. Dan itu semua karena Elisa.

Sehingga, bisa kah kau bayangkan betapa sakitnya aku melihat air mata Elisa saat itu? Aku berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, Elisa tak percaya. Padahal, memiliki kepercayaan adalah dasar dari semua hubungan bukan? Lalu, jika Elisa sudah tak percaya? Apa lagi yang bisa kulakukan?

Sejak saat itu, tak ada lagi Elisa-ku.

------------------------------------------------------------------------------

Keberanian untuk menjemput Elisa hari ini terkumpul. Sepulang kerja, aku kembali ke kamar kos 3x4-ku. Aku memakai kemeja yang aku pakai saat pertama kali bertemu Elisa. Saat itulah aku tahu bahwa dia adalah wanita-ku.

Kupakai parfum yang aku pakai saat itu juga. Parfum inilah yang membuka obralanku dengan Elisa kala itu. Dia menyukai aroma parfum-ku. Aku rasa begitu, karena jika tak suka, mengapa ia bertanya tentang parfum-ku, kan?

Kulihat pantulan diriku di cermin untuk terakhir kali. Perfect. Aku menarik nafas panjang dan beranjak untuk menjemput Elisa. Aku berencana untuk mampir di sebuah kedai sandwich kesukaan Elisa. Aku tahu karena aku selalu melihatnya di sana untuk membeli makan malam. Akan kubawakan satu untuknya, Elisa pasti suka.

------------------------------------------------------------------------------

Aku memarkir motorku di parkiran kantor. Dengan jantung berdegup kencang aku berjalan ke lift dan memencet tombol 12. Aku begitu gugup untuk bertemu kembali dengan Elisa. Semoga semua berjalan lancar sesuai rencanaku!

Sesampainya di lantai 12, aku langsung disinari cahaya remang lampu kuning dan bau pengap. Lantai ini memang satu-satunya lantai di gedung ini yang tak terpakai. Sempat ada yang menyewa untuk dijadikan kantor, tapi itu tak bertahan lama.

Sekarang, lantai ini jadi saksi pertemuanku dengan Elisa.

------------------------------------------------------------------------------

“Hai, Elisa, maaf aku lama,” sapaku saat melihat Elisa.

Elisa hanya diam sambil bersandar ke tembok yang cat-nya telah mengelupas di sana sini. Sudah seminggu lebih dia sendiri di sini. Tapi tak apa, toh tiap malam aku selalu menemaninya.

“Oh, ayolah, sampai kapan kamu marah sama aku terus? Ini kubawakan sandwich kesukaanmu,” kataku lagi sambil menyodorkan bungkusan sandwich untuknya.

Ia menatapku nanar, air mata kembali memenuhi pelupuk matanya.

Aku menghela nafas dan membuka lakban di mulutnya.

“Toloooong! Tolooooong!” teriak Elisa sesaat setelah aku melepas lakban-nya.

“Elisa, kamu tahu tak akan ada yang mendengar kita di sini. Sudah berapa kali kamu mencobanya? Nggak capek?” tanyaku mengkhawatirkan keadaannya.

“Gila! Kamu gila!” kini ia berteriak padaku.

“Ya, Elisa, aku gila mencintaimu,” kataku sambil menatap hangat matanya. Namun, kehangatan itu dibalas dengan amarah. Elisa yang pemarah. Elisa yang tetap aku cinta.

“Kenapa aku? Kenapa kamu lakuin semua ini? Tolong lepaskan aku, aku bersumpah tak akan lapor ke polisi, aku bersumpah tak akan bilang ke siapapun!” ujarnya.

“Elisa, aku akan melepaskanmu, tenang aja. Sekarang makan dulu ya, setelah makan akan aku lepaskan,” aku menyodorkan sandwich ke mulutnya. Elisa tak bisa makan sendiri karena tangannya masih terikat. Oh, dan kakinya juga.

Elisa selalu tampak ketakutan jika bersama-ku, aku tak tahu mengapa. Tapi, paling tidak, ia akhirnya mau makan sandwich dari tanganku.

“Pintar,” kataku sambil mengelus rambutnya penuh sayang. Air mata Elisa kembali turun.

Elisa memberontak saat aku kembali memasang lakban di mulutnya, tangisnya semakin kencang.

“Jangan menangis, Sayang. Hari ini, tangisanmu akan berhenti. Aku janji. Karena aku telah menemukan cara agar kita bisa bersama selamanya. Bahagia. Selalu,” ujarku sambil membelai pipinya. Elisa bergidik, tapi tetap kulakukan.

------------------------------------------------------------------------------

Dengan satu tarikan nafas panjang, aku menjambak rambut panjang indahnya yang telah kusut setelah berhari-hari tak terawat. Dalam satu kali gerakan, kubenturkan kepalanya ke tembok di belakangnya. Dan Elisa pun tersungkur.

Aku membuka lakban di mulutnya dan membuka ikatan di kaki dan tangannya. Kupasangkan earphone untuk mendengarkan lagu kami. Satu di telingaku dan satu di telinga Elisa. Oh, Elisa-ku, akhirnya kini kita akan bersama selamanya.

------------------------------------------------------------------------------

Aku berada di rooftop dengan Elisa dalam gendonganku. Ku tatap langit malam ini. Gelap sekali. Tak ada satu bintang pun yang terlihat. Tak heran, bintang tercerah yang mereka miliki ada di sini bersamaku.

Lagu “Ava Adore” dari Smashing Pumpkin pun mulai mengalun di telinga kami. Aku berdiri di pinggir gedung masih sambil menggendong Elisa, menunggu lagu kesukaanku berakhir. Saat itu lah, hidup kami yang lama berakhir juga, dan hidup baru bersama selamanya akan dimulai.

“Sampai bertemu di sana, Sayangku,” ujarku lirih sambil memejamkan mata. Dan aku pun melangkah.

------------------------------------------------------------------------------

    Now playing:

    And I’ll pull your crooked teeth
    You’ll be perfect just like me
    You’ll be a lover in my bed
    And a gun to my head
    We must never be apart
    We must never be apart