Jumat, 05 Februari 2021

Jasper yang Baik

"Dingin sekali malam ini," ujarku sedikit menggigil.

"Nanti tak terasa dingin lagi. Aku janji," kata Jasper tenang.

-----------------------------------------------------------

Hari ini aku datang kembali ke rumah Jasper. Ya, kalau kau bisa menyebut itu rumah. Jasper tinggal di sebuah mobil van tua yang ia sulap menjadi tempat tinggal. Tak ada kursi tengah dan belakang, ruang itu ditempati kasur lapuk yang penuh noda di sana sini. Ada kompor kecil dan tabung gas yang tak sampai satu meter jauhnya dari kasur. Di sebelahnya ada meja pendek tempat Jasper menaruh apapun. Bahkan kaus usangnya pun ada di atas meja itu, bercampur dengan bercak mie instan yang ia makan setiap harinya.

Mobil itu bisa saja ia kemudikan. Tapi, ia tak punya uang lebih untuk bensin. Lagian, mau pergi ke mana? Jasper tak punya tempat yang ingin ia tuju. Sehingga di sana lah Jasper menetap, di tanah kosong yang dikelilingi pohon-pohon liar. Aku rasa itu memang pohon liar karena tak ada yang dengan sengaja menanamnya. Tapi, aku tak begitu yakin.

Dari jalan, rumah van Jasper, begitu aku menyebutnya, tak terlalu kentara. Kecuali jika kau benar-benar memperhatikan tanah kosong itu. Kau akan melihat sedikit bagian dari rumah van Jasper, mobil tua oranye yang warnanya telah lama pudar. Kau juga bisa melihat rumah van itu ketika Jasper menyalakan api unggun saat malam tiba. Biasanya, Jasper menyalakan api unggun karena baterai lampu gantungnya habis.

Tak ada yang tahu milik siapa tanah dengan beragam jenis pohon itu. Mungkin aku saja yang tak tahu. Mungkin Jasper tahu. Tapi, aku tak yakin. Mungkin yang tahu hanya si pemilik tanah saja. Dan mungkin dia tak tahu bahwa tanahnya telah menjadi bagian dari tempat Jasper tinggal.

Malam itu aku datang ke rumah Jasper dengan luka di wajah dan memar di pahaku. Aku tak punya apapun untuk mengobatinya. Jasper punya. Ia pernah membelinya (atau mencuri, siapa yang tahu) untukku saat aku pertama kali datang ke rumahnya dengan tubuh penuh luka. Kala itu Jasper mengobati lukaku dengan tenang. Tak ada pertanyaan mengapa luka-luka ini muncul. Jasper diam. Aku diam. Tapi, aku tahu Jasper tahu. Karena sebelumnya aku pernah bercerita padanya. Malam ini, kami hanya diam.

Sesampainya di rumah Jasper, ia terlihat baru saja menyalakan api unggun. Baterai di lampu gantungnya habis lagi. Ia menoleh ke arahku, menatapku sebentar, lalu kembali sibuk dengan api unggunnya. Aku duduk di bangku kecil tempatku biasa duduk di depan api unggun. Ku arahkan kedua tanganku ke arah api unggun. Hangat. Aku suka.

Jasper kembali dari rumah van-nya dengan sekotak obat. Seperti biasa, ia mulai mengobati luka-lukaku. Perih, tapi aku tak mengernyit. Mungkin karena terbiasa. Aku masih memusatkan pikiranku ke kehangatan api unggun.

Biasanya, setelah mengobati lukaku, Jasper akan memberikan segelas air putih untukku. Rasanya seperti hangus karena dimasak di atas api unggun. Untuk memasak air, Jasper memang tak mau memakai kompor untuk menghemat gas. Aku rasa itu cerdas.

Setelah meminum air sampai habis, Jasper mengambil kembali gelas itu. Tak perlu repot-repot mencucinya karena toh akan dipakai lagi. Ia duduk di sebelahku dan mengambil ubi yang sebelumnya ia taruh di bawah kayu bakar. Ia memberi satu ubi untukku. Aku tak bertanya darimana ia mendapat ubi itu. Kami pun makan dengan khidmat. 

-----------------------------------------------------------

"Capek juga terluka terus," kataku sambil mengunyah ubi bakar yang tadi diberi Jasper.

Jasper diam, sibuk mengupas kulit ubi.

"Kapan dia akan berhenti?" tanyaku meski tahu tak ada yang bisa menjawabnya.

Jasper meniup ubi dan memakannya.

"Mungkin, memang aku diciptakan untuk dipenuhi luka," lanjutku sambil tetap mengunyah ubi.

Ubinya enak. 

----------------------------------------------------------

Setelah menghabiskan ubi keduanya, Jasper bangkit dari duduk dan masuk ke dalam rumah van-nya. Kemudian ia kembali dengan jaket kulit kebanggaannya. Lebih tepatnya, jaket satu-satunya yang ia punya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Memangnya aku ingin berdiri? Tapi, tetap saja aku meraih tangan Jasper.

Jasper berjalan keluar dari tanah kosong tempat rumah van-nya menetap. Aku mengikutinya dari belakang. Jasper berhenti dan menoleh ke arahku. Aku ikut berhenti. Lalu, jalan lagi. Kini, aku berjalan bersisian dengan Jasper.

Aku tak tahu kemana Jasper akan pergi, kemana tujuan kami berjalan. Namun, aku tetap mengikutinya. Jalannya terasa familiar. Aku selalu melewati jalan ini ketika menuju rumah Jasper. Kami berjalan saja terus dalam diam.

Aku merapatkan jaket lusuh yang selalu kupakai untuk menghalau hawa dingin. Tentu saja tak berhasil karena jaketnya semakin tipis termakan usia. Tak apa, setidaknya aku sudah berusaha.

Jasper juga berjanji bahwa sebentar lagi akan hangat. Aku tak paham, tapi memilih untuk mempercayainya.

------------------------------------------------------------

"Untuk apa kita ke rumahku?" sekarang aku tahu kenapa jalannya terasa familiar. Karena kami memang berjalan ke arah rumahku.

Jasper diam dan menatap rumahku lekat-lekat. Tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.

Belum selesai aku berpikir, Jasper melangkah ke pintu rumahku. Aku mengikutinya setelah tertinggal beberapa langkah. 

-------------------------------------------------------------

Kakakku, sumber dari semua luka-lukaku selama ini, membukakan pintu dengan raut wajah kesal. Sepertinya karena tidur nyenyaknya diganggu. Selebihnya karena Jasper-lah yang menganggu.

Belum selesai ia bertanya apa yang Jasper inginkan, pukulan keras mendarat di wajahnya. Kakakku menjerit kesakitan dan mundur beberapa langkah. Jasper maju dan melayangkan tendangan ke perutnya. Kakakku tersungkur dan masih kesakitan.

Aku hanya diam saja. Karena ini adalah pemandangan yang tak pernah terlintas di pikirannku sebelumnya, melihat kakakku terluka. Luka yang sama yang sering ia berikan kepadaku.

Meskipun ia satu-satunya keluarga yang aku punya, aku tak merasa kasihan melihat pemandangan itu. Bahkan, aku tak merasakan apa-apa. Hanya terpaku, itu saja.

Kakakku tak berhenti menjerit kesakitan. Jasper tak berhenti memukulinya. Tak ada yang bisa mendengar jeritan kakakku karena jarak rumahku dengan rumah yang lain memang cukup jauh. Ya, mungkin saja ada yang akan mendengar jika tiba-tiba ada yang lewat di depan rumah. Tapi, mendengar atau tidakpun aku tak masalah. Selama ini juga tak ada yang mendengarku. Kecuali Jasper, Jasper mendengarku sekalipun aku tak teriak kesakitan. 

--------------------------------------------------------------

Batu bata yang dipukulkan Jasper berkali-kali ke kepala kakakku patah menjadi dua. Aku tak sadar kapan Jasper membawa batu bata itu. Mungkin ia bawa dari rumah van-nya. Atau memungutnya di perjalanan. Atau mengambilnya di pekarangan depan rumahku. Aku tak tahu.

Kakakku berhenti menjerit. Ia juga berhenti bernafas. Jasper menarik kakinya ke halaman belakang rumahku. Melewati ruang makan sekaligus dapur yang jarang sekali dipakai. Mungkin hampir tidak pernah.

Kakakku tak masak. Aku pun tak masak. Kakakku lebih sering berada di luar. Tiap pulang ia selalu dalam keadaan mabuk dan memukuliku hingga aku penuh luka. Kemudian ia berjalan sempoyongan ke kamarnya dan terlelap dalam waktu singkat. Jika sudah begitu, aku langsung pergi ke rumah Jasper.

Jasper melepaskan kaki kakakku setelah berada di halaman belakang rumahku. Ia masuk ke dalam rumah dan kembali dengan sebotol bensin. Lagi-lagi aku tak tahu darimana Jasper mendapatkannya. Mungkin milik kakakku, jaga-jaga jika motor usangnya kehabisan bensin karena rumahku memang jauh dari pom bensin. Tapi, ini hanya kemungkinan, aku tak tau pasti.

Jasper menuang sebotol bensin secara merata ke kakakku yang sudah tak bergerak. Dari kepala ke kaki ke kepala lagi. Ia mengambil korek kayu dari saku jaket kulitnya. Ia menyalakannya dan membuangnya ke tubuh kakakku. Dalam sekejap, kakakku pun dilalap kobaran api.

-------------------------------------------------------------

"Sudah tidak dingin lagi kan?" tanya Jasper tanpa menoleh ke arahku.

Aku diam sejenak.

"Iya," balasku singkat.

Jasper kembali diam, hanya menatap kobaran api yang melalap kakakku di depannya.

"Kau tidak diciptakan untuk dipenuhi luka," ujarnya. Sekarang menoleh ke arahku.

Aku pun tersenyum dan balas menatapnya.

Jasper yang baik. Ia sungguh menepati ucapannya. Seperti janjinya, malam ini sudah tak dingin lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar