Sabtu, 02 November 2013

Kau di Depan Sana, Selamat Untuk Kekasih Baru mu.

Hai. Ku dengar kau sudah menjadi miliknya ya? Miliknya seutuhnya? Jahat sekali. Aku bahkan belum sempat mengutarakannya padamu. Mengutarakan bagaimana aku terbius dengan aroma tubuhmu. Dengan pancaran semu kebahagiaanku saat bersamamu. Bagaimana bisa kau meninggalkanku begitu saja. Ah, jelas kau bisa. Memang aku siapa? Kau bahkan mungkin tidak mengenaliku.
Aku yang sudah terbiasa mengagumimu dari kejauhan ini merasa kehilangan. Bagaimana tidak, kau yang biasanya menjadi tumpuan mimpi-mimpiku untuk memilikimu, sekarang telah dimiliki orang lain. Beruntung sekali orang itu. Iya, orang itu. Kekasih barumu. Dia bisa mendapatkanmu tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri saat memandangimu. Tidak sepertiku, yang harus sembunyi-sembunyi agar kau tak sadar bahwa aku menatapmu sedari tadi.

Jujur saja, aku tidak ingin mendoakan jelek untuk hubunganmu. Karena bagaimanapun, kau bahagia bersamanya. Dan itu cukup untukku. Aku hanya berharap, kau masih sudi membagi secuil tubuhmu untukku. Untuk kupandangi sendiri. Untuk kukagumi, betapa aku benar-benar menyukaimu. Ini sudah gila, ini bukan suka lagi. Ini lebih dari itu. Entah apa namanya… 

Mimpi

Malam ini aku bermimpi tentangmu lagi. Tentang paras mu yang menggelayut manja di benakku. Kita berbicara lama sekali. Mataku terkunci pada matamu. Aku melihat pantulan diriku di mata beningmu. Ah, walaupun ini hanya sekedar mimpi, yang aku tahu pasti tidak akan terjadi di dunia nyata, aku tetap mengucap syukur pada Gusti. Karenanya, aku dapat memandangimu, memperhatikanmu dari dekat, walau hanya dari mimpi.
Kita berbincang. Membicarakan apa saja. Jarak kita hanya terpaut sepersekian centimeter. Ada jendela yang yang menghubungkan kita. Kita berdiri disana. Berbincang. Dan saling menatap. Hingga entah bagaimana, kau memberi sepucuk surat untukku. Aku lupa sebagian besar isi suratnya. Namun yang aku ingat, dalam surat itu ada kalimat…
“Namaku .…. Dan aku sudah berpacaran 7 tahun dengan .…. Masihkah kau menerimaku?”
Entah. Aku tidak menjawab surat itu. Mimpi terputus begitu saja. Ketika aku terbangun, hanya tiga kata yang terucap langsung dari bibirku.
“…Ya. Aku mau.”
Mungkin aku memang sudah gila. Untuk apa aku menjawab pertanyaan dari dunia fana? Dunia yang entah kapan aku bisa berada disana lagi... Ah, sial.