Jumat, 16 Juni 2017

Secuil Cerita Tentang Lingga, Yang Dulu Pernah Menjadi Linggaku

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"
Kalimat itu menjadi titik awal dari akhir yang baru. Kami memang pernah berakhir karena ketakutanku akan perasaanku sendiri.

Mari kuceritakan sejenak tentang Lingga. Manusia setinggi 173cm pemilik mata teduh, yang membuatku betah untuk berlama-lama menatapnya.

Aku bertemu Lingga pertama kali di sebuah rumah sakit. Saat itu aku menemani ibuku dan Lingga hanya seorang diri entah sedang apa. Pertama kali aku melihat Lingga, aku tak tahu bahwa nantinya kami akan dipertemukan lagi.

Tapi satu yang aku tahu pasti, Lingga membuatku tertarik untuk mengamatinya. Aku dan ibuku duduk di sebuah bangku, sedangkan Lingga ada hanya beberapa langkah di depanku.

Dari belakang aku melihatnya. Lama. Lalu perhatianku teralih pada suster yang memanggil nama ibuku. Kami pun masuk dan tak pernah bertemu lagi dengan Lingga, itu yang aku pikirkan saat itu.

Di jalan pulang, aku bercerita pada ibuku tentang Lingga, sosok yang hanya dalam waktu beberapa detik bisa membuatku jatuh cinta. Kalian mungkin tak percaya cinta pada pandangan pertama itu ada. Akupun awalnya begitu, tapi hey, aku baru saja merasakannya.

"Ibu lihat cowok tinggi yang tadi ada di depan kita?" tanyaku pada ibu yang aku bonceng di atas motor bututku.
"Yang mana?" balas ibu.
"Yang menarik, yang tadi duduk beberapa bangku di depan kita," jawabku masih tetap memfokuskan diri pada jalanan.
"Oh yang sendirian itu? Kenapa emang?" tanya ibu.
"Aku suka dia," ungkapku.
Ibu diam saja. Ia mungkin berpikir saat itu aku sedang meracau.

Perbincangan itu terjadi secara tiba-tiba dan berlalu begitu saja. Selang beberapa bulan, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Lingga. Ia ternyata karyawan di tempat kerja baruku. Demi Tuhan, aku kaget bukan main.

Ketika itu karyawan-karyawan baru sepertiku berbincang mengenai ini itu. Kuliah, pekerjaan lama, momen interview, semua saling berbagi pengalaman. Begitu pula denganku. Tapi mereka tak tahu, bahwa mataku tak pernah lepas dari Lingga. Lingga sekali lagi berada hanya beberapa jangkau dariku. Aku ingin menyapanya, ingin mengatakan bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi, seperti biasa aku terlalu takut dan mengurungkan niatku.

Siapa sangka ternyata ketakutan itu membuatku berada pada titik ini. Titik terendah untuk orang yang sedang jatuh cinta. Aku sadar betul, bahwa seharusnya aku tak melulu merasa seperti ini. Tapi, logika dan hatiku memutuskan untuk berseteru. Terus begitu sepanjang hari.

Sekarang akan aku ceritakan hubunganku dengan Lingga. Hubunganku dan Lingga memang rumit. Kami pernah lebih dari sekedar teman, tapi tak bisa disebut kekasih. Aku pernah merasa begitu terbuai olehnya, tapi aku juga pernah merasa begitu jatuh.

Aku sadar aku menyukainya, dan aku juga sadar Lingga tak menyukaiku. Lingga tipe manusia yang lebih suka pada perempuan idaman semua pria. Sedangkan aku? Tak perlu aku jawab karena kalian pasti bisa menebaknya sendiri.

Suatu hari aku dibuat begitu linglung oleh perasaanku sendiri. Karena ketakutanku, aku memutuskan untuk menjauhi Lingga. Hubungan kami yang tampaknya baik-baik saja akhirnya merenggang karena keputusanku sendiri. Saat itu aku merasa aku tak ingin lagi terbayang-bayang oleh orang yang sudah pasti tak akan menjadi masa depanku.

Lingga bingung atas keputusanku yang tiba-tiba. Ia heran mengapa aku memutuskan untuk membuat hubungan kami jadi buruk. Tapi, ia menerimanya. Mungkin karena ia juga sadar aku tak bisa menjadi bagian dalam masa depannya.

Sejak saat itu tak ada lagi sosok Lingga dalam hidupku. Aku sibuk (atau menyibukkan diri) dengan duniaku, dan dia kembali ke dunianya.

Seminggu berlalu, aku jatuh sakit. Bukan dalam arti sebenarnya, tapi aku benar-benar sakit. Rasa sakit yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kau melihat postingannya di media sosial. Rasa sakit yang muncul saat ponselmu berbunyi dan berharap itu darinya. Rasa sakit yang tak pernah ingin kau harapkan dan akhirnya membuatmu terkapar.

Lalu, aku memutuskan untuk mencari obat akan rasa sakitku. Lingga. Dia satu-satunya obat yang bisa menyembuhkanku. Aku mempertaruhkan segala harga diri yang tersisa untuk menghubunginya.

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"

Kau mungkin akan berpikir, perempuan macam apa yang mengajak laki-laki yang telah ia jauhi secara sepihak untuk bertemu kembali. Tapi, persetan. Saat itu aku merasa menjauhinya adalah hal yang baik untukku. Namun, malah kebalikannya. Rinduku mengalahkan segalanya.

Itu tadi pernyataan dan pertanyaan yang aku kirim untuknya. Negatif. Obatku tampaknya sudah kadaluarsa. Ia tak bergeming sedikitpun.

Keesokan harinya aku masih melalui hariku tanpa Lingga. Namun, tiba-tiba Lingga muncul dan membuatku sehat seperti sedia kala, meski masih ada beberapa bagian tubuh yang tak lagi sama, harga diri misalnya.

Kami setuju untuk bertemu. Kau tak mengerti betapa senangnya aku saat itu. Lingga pamit sejenak, ada hal yang harus dibereskan, katanya. Aku mengiyakan. Dan aku menunggu. Menunggu. Menunggu. Dan terus menunggu.

Menunggu untuk bisa bersama lagi dengan Lingga. Menunggu untuk melampiaskan segala rindu yang tertimbun. Menunggu untuk bisa berbincang entah tentang apa.

Tapi, ternyata Lingga hilang. Lingga yang dulu selalu bergerilya di pikiranku. Lingga yang pernah membuatku sebal dan bahagia dalam waktu bersamaan. Lingga yang selalu bisa membuatku tersenyum saat kami bersama. Lingga itu tak ada lagi.

Linggaku pergi. Membiarkanku mati membusuk akan ego dan ketakutanku sendiri. Ia pergi. Bersama dengan secuil harapan, Linggaku memutuskan untuk tak kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar