Selasa, 31 Desember 2019

Esensi Hidup

Hidup manusia dipenuhi ambisi.
Segala hal dilakukan berbekal intuisi.
Merah merupakan darah.
Putih berarti fitrah.
Kau bilang, merah bisa saja curah.
Dan putih adalah gairah.

Suatu saat akan datang distraksi.
Hingga hidupmu mengalami transisi.
Ada pesan, jangan terbawa amarah.
Lebih baik terus menengadah.
Dia bilang, semua akan kembali menjadi tanah.
Katamu, itu hanya untuk orang-orang pasrah.

Aku hanya bisa berharap Tuhan tak emosi.
Melihat manusia bereinkarnasi.
Yang diciptakan susah payah.
Namun, berubah menjadi sampah.
Jika tiba waktunya Dia jengah.
Sayang, mau tak mau kau akan kalah.
x

Kamis, 31 Oktober 2019

Semua Akan Baik-baik Saja

Ada yang patah ketika kami bertemu kembali.
Seperti saat aku memeluk raganya untuk terakhir kali.
Sebuah rasa sakit yang sama.
Sebuah luka biru yang sama.
Tapi tak apa, hiburku.
Ini belum seberapa.

Aku berusaha untuk mengasingkan perasaan ini.
Mencoba membebaskan diri dari jeratan memori.
Sekali, tidak berhasil.
Dua kali, tidak juga berhasil.
Tak apa, pikirku.
Semua akan baik-baik saja.

Aku sedang menuai apa yang aku tanam.
Menyakiti untuk disakiti lebih dalam.
Aku tak bisa beranjak.
Malah semakin merasa terinjak.
Tapi tak apa, ucapku.
Ini belum seberapa.

Jika memang ini sebuah hukuman.
Biarkanku mengobatinya dengan sebuah pelukan.
Satu kali lagi.
Tanpa ada air mata yang menggenangi.
Ya, tak apa, isakku.
Semua akan baik-baik saja. 
x

Selasa, 03 September 2019

Pamit

"Tuanku, aku lelah.
Menjadi budakmu bukanlah pekerjaan yang mudah. 
Tak akan ada yang mengira kau selicin lintah.

Tuanku, aku sedih.
Sadarkah kau setiap hari kulalui dengan tertatih.
Semua hinaan kau tujukan padaku tanpa belas kasih.

Tuanku, aku sudah muak.
Melayani ketamakanmu membuatku ingin teriak.
Sadarlah, kau tak lebih suci dari para peminum arak.

Tuanku, aku akan pamit.
Tak sanggup lagi ku menjalani hari-hari pahit. 
Tak akan lagi ku bekerja untuk si bandit.

Dan Tuanku, sekarang aku pergi.
Semoga kau berhenti menjadi manusia keji."

Sang Tuan terpaku membaca surat itu di singgasana emasnya. Dalam kenaifannya, ia tak pernah merasa dirinya seburuk itu di mata para pekerjanya. Sang Tuan percaya dirinya dikenal sebagai pribadi yang ramah dan rendah hati oleh orang sekitar. Namun, ternyata tak demikian halnya di mata orang yang selalu membantu memenuhi ambisinya.

Sang Tuan telah gagal. Ia gagal memenuhi ambisinya sebagai manusia yang dipandang sempurna oleh semua orang. Ia benci kegagalan. Ia juga benci pada orang yang menyadarkannya akan kegagalan ini.

Sang Tuan gemetar. Ia bangkit dari duduknya diterpa gelombang amarah. Sang Tuan mengambil pistol yang telah lama tersimpan di brangkasnya. Ia tak pernah membayangkan hari ini akan tiba, hari dimana ia akan menghabisi sebuah nyawa.

Marah. Ia dipenuhi dengan kemarahan. Ia menarik pelatuk pistolnya dan menatap dalam-dalam di cermin. Sang Tuan pun memutuskan nyawa mana yang akan ia habisi. 

Minggu, 04 Agustus 2019

Rubah Temanku

Aku sudah terlalu tua untuk tersesat.
Berhenti terlalu lama untuk berjalan kembali.
Aku diam.
Terlalu diam.
Hanya ada seekor rubah di sampingku.
Rubah temanku, penenang sekaligus pelipur laraku.
Ia lah yang selalu menemaniku.

Hutan yang kumasuki bertahun lalu tampak semakin lebat.
Aku tahu, karena aku diam.
Berada di tempat yang sama entah berapa lama sudah.
Lebatnya hutan membuat bisingnya kota ikut diam.
Kota tempatku dulu tinggal dengan segala keangkuhanku.

Sepertinya rubah temanku bukan penunjuk arah yang baik.
Ia ingin aku untuk diam, menemaninya.
Maka aku diam.
Kami bergerak seperlunya saja.
Aku merasa tenang.
Sangat tenang.

Kini aku semakin tua.
Aku tidak ingin diam lagi.
Namun, aku juga takut tersesat.
Karena aku telah terlalu lama diam.
Aku tidak tahu jalan pulang.
Aku tidak tahu jalan sama sekali.

Rubah temanku tampaknya merasakan kegelisahanku. Ia mengeluskan kepalanya ke kakiku.
Tepat seperti kucing, ia bertindak layaknya kucing.
Ia kembali menenangkanku.
Maka aku diam lagi.

Aku jadi ingat saat masih tinggal di kota.
Menjadi manusia tamak yang penuh ambisi.
Manusia bahagia yang penuh kesedihan.
Suka tertawa namun dipenuhi amarah.

Hingga aku bertemu si rubah.
Saat itu ia belum menjadi temanku.
Ia beberapa kali muncul di depanku.
Selalu mengamati gerak gerikku.
Hingga akhirnya ia masuk ke dalam hutan ini.
Dan aku pun mengikutinya.

Lalu, segala kericuhan dan kerancuan kota hilang.
Aku menjadi tenang.
Untuk pertama kalinya aku diam.
Dan aku merasa senang.
Rubah pun ikut senang.

Sekarang aku tak lagi merasa senang.
Aku tak merasakan apa-apa.
Aku hanya diam.
Bersama rubah temanku.
Aku diam.
Terus diam.
Rubah senang. 
x