Senin, 23 Maret 2020

Jalan Buntu

"Tetap di rumah ya teman-teman, kita perlu banget terapkan social distancing sekarang."

"Aduh, kok ya masih ada aja yang keluyuran udah siaga satu gini statusnya."

"Heran sama yang masih keluar-keluar, ngga mikir apa akibatnya hah?!"

"Pada kebal virus kali tuh berani-beraninya keluar rumah."

"Kalian bikin pandemi virus ini ga kelar-kelar kalo masih ngga #dirumahaja. Sadar dong! Goblok."

Kota Pahlawan tak sepadat biasanya, padahal sang surya baru saja bertugas. Hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang. Tapi, isi kepala Trias begitu ramai. Riuh akan komentar-komentar bernada sinis untuk orang-orang yang masih berkeliaran di jalanan.

"Berisik," kata Trias lirih pada ocehan-ocehan orang dalam kepalanya.

Beberapa orang yang mengendarai motor ataupun angkutan umum tampak mengenakan jaket dan masker. Ada juga yang memakai sarung tangan. Semua mereka lakukan agar tetap hidup. Begitu susah payah mereka berusaha.

Trias mengamati orang-orang tersebut. Lalu ia melihat pantulan dirinya di mobil Xenia hitam yang parkir di pinggir jalan. Tak ada jaket, masker, ataupun sarung tangan. Kaos hitam yang dipakainya tak lagi bisa disebut hitam, mungkin lebih tepatnya abu-abu kelam. Ada sobekan di sana sini. Dan juga lobang gigitan rayap. Celana jeans selututnya kumal, entah telah berapa ratus kali ia pakai.

Trias menarik nafas panjang, kemudian kembali berjalan. Ia semakin mantap membawa baskom penuh gorengan yang ia bawa di kepalanya. Langkah Trias terhenti di sebuah warung kopi yang tampak tak terawat. Tak ada papan nama warung. Banner obat sakit kepala yang dijadikan taplak meja juga sudah memudar. Trias menaruh baskomnya di salah satu meja.

"Lengkap ta, Nduk?" tanya Yati, pemilik warung yang baru keluar dari toko kelontong kecil di sebelah warung kopi itu.

"Cuma jemblem aja yang nggak ada, Bulek. Lainnya lengkap," jawab Trias. Ia duduk di bangku kayu panjang yang warna bagian tengahnya semakin memudar. Mungkin kebanyakan bergesekan dengan bokong.

"Yowes, nggak papa," balas Yati sambil menggelung rambut panjangnya yang tipis dan lepek. Ia menuang teh dari teko yang sudah ia siapkan subuh tadi ke gelas. Teh itu ia taruh di meja depan Trias.

Trias mengambil gelas teh sambil meniupnya. Asap tipis mengepul. Terlalu panas. Ia pun mengambil remote dan menyalakan televisi. Trias menggeser duduknya agar bisa menonton televisi lebih nyaman. Meskipun susah mengingat ia duduk di bangku kayu yang tak memiliki senderan punggung.

Berita tentang virus corona muncul di beragam saluran televisi. Jumlah korban semakin naik. Kelangkaan masker. Imbauan untuk bekerja di rumah. Anak-anak sekolah dan kuliah diliburkan. Rupiah melemah. Jalan raya semakin sepi.

Trias menghela nafas lagi. Ia minum tehnya lambat-lambat. Trias berpikir. Apakah benar ia tak takut virus karena masih keliaran di luar rumah? Tentu saja ia takut. Dengan berita yang bergaung agung tanpa jeda begitu, siapa yang tak takut?

Trias lalu menatap sebaskom gorengan yang ia bawa tadi. Lama. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia tak tahu yang mana yang lebih ia takutkan, terkena virus lalu mati, atau tak kena virus lalu tetap hidup.

Satu persatu pria memasuki warung kopi Yati. Kini ada empat pria yang duduk di bangku kayu setelah memesan kopi pada Yati. Semuanya kopi. Tak ada teh seperti milik Trias. Trias beranjak dan ganti duduk di sofa lusuh di bagian pojok kanan warung. Ia tak masalah meski sofa itu apek karena tak pernah dijemur setelah kehujanan. Dan juga bercampur bau pesing dari air kencing kucing liar.

Dua pria datang lagi, masih sama, masih memesan kopi hitam. Warung kopi Yati pun mendadak ramai dengan ocehan para pria tersebut. Trias mengamati pemandangan warung tersebut. Tak ada yang memakai masker atau sarung tangan. Tapi, apakah diam-diam sebenarnya mereka juga takut? Trias tidak tahu.

Di acara berita, diinfokan harga masker melonjak drastis. Trias tak tahu harga masker sebelumnya berapa, ia toh tak pernah membelinya. Yang ia tahu dari berita, kini ada yang menjual masker seharga Rp 300 ribu satu boxnya. Satu box berisi 50 masker. Artinya satu masker harganya Rp 6 ribu. Jika Trias ingin membeli satu masker, maka harus ada sembilan gorengannya yang laku. Itupun tanpa laba.

Trias dilanda keresahan. Ia merasa hidupnya yang telah susah malah bertambah susah. Trias kembali menatap para pembeli di warung Yati. Apa mereka sebenarnya juga sedih? Apa Bulek Yati sedih juga? Apakah mereka semakin sedih karena sekarang lebih susah untuk bertahan hidup?

Trias bertanya-tanya. Mengapa begitu susah untuk sekedar hidup? Trias tak mungkin bisa mengikuti anjuran untuk terus berada di rumah. Sama saja bunuh diri, pikirnya. Ia bisa saja terhindar dari virus, tapi yang tak terhindarkan adalah kelaparan. Ya bagaimana Trias menghasilkan uang untuk bertahan hidup jika harus mendekam di rumah?

Ada perut yang harus diisi. Ada listrik dan air yang harus dibayar. Juga kontrakan rumah. Semua perlu uang. Yang gratis hanya udara. Dan sekarang itu pun perlu uang? Dengan membeli masker? Ya Tuhan. Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan.

Sebuah jalan buntu. Keluar rumah bisa mati, tetap berada di rumah apalagi. Apakah kami tidak pantas hidup hanya karena kami miskin?

Trias bergidik saat pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia bangkit dan berlari. Tentunya setelah berterima kasih pada Yati untuk tehnya. Semakin lama semakin kencang Trias berlari. Menuju rumah.

Ia sampai di rumah kecil beratap asbes dan berdinding lapisan triplek. Pintu rumah terbuka. Sayup-sayup terdengar suara televisi tua yang sudah lama kehilangan remote. Di depan televisi, di kasur lapuk berdipan kayu, terlihat seorang perempuan renta terbaring. Matanya terpejam. Ia ibu Trias.

Trias mengatur nafas kemudian masuk. Ia berdiri di samping ibunya. Tak lama, ia lalu duduk. Dipandangi ibunya yang sedang tidur. Lelap meski bantal kapuknya mulai menipis.

Tak sadar air mata muncul di pelupuk mata Trias. Mereka pun meluncur menuruni pipi cekung perempuan berambut sebahu itu. Trias kembali mengatur nafas. Kali ini bukan karena ngos-ngosan setelah berlari, tapi agar tak terisak hingga bisa membangunkan ibunya.

Trias berdiri dan berjalan ke samping rumah. Dapurnya, bisa dibilang begitu, meski tak tampak seperti dapur karena jadi satu dengan area mencuci baju dan kandang ayam milik Pak Rohmat, tetangga sekaligus pemilik rumah kontrakan Trias.

Trias menuang air panas ke baskom kecil dari termos. Air itu sudah disiapkan dulu oleh Trias sebelum ia berangkat ke warung Yati. Kemudian ia meraih gentong dan menuang sedikit air ke baskom kecil itu.

Trias kembali ke samping ibunya setelah menyambar handuk kecil putih yang tak lagi putih itu. Ia memasukkan handuk kecil ke dalam baskom dan memerasnya.

"Ibuk, mandi dulu ya," kata Trias sambil membasuh kaki sang ibu dengan handuk.

Mata ibunda Trias terbuka, ia beberapa kali mengerjap. Sambil melihat Trias, sang ibu tersenyum lemah. Kegiatan rutin Trias memandikannya sudah berlangsung selama 5 tahun sejak ia tiba-tiba lumpuh. Sejak saat itu lah ia hanya bisa berbaring di kasur dan menonton televisi di saluran yang sama karena remotenya tak ada.

Sang ibu mengelus kepala Trias, seakan mengucurkan setiap gram kasih sayangnya melalui usapan tangannya. Ia tak akan menduga 30 menit sebelumnya Trias bersimpuh di sampingnya dan menangis sambil menahan isakan.

Trias balas tersenyum. Tapi, ternyata ia tak benar-benar membalas senyuman ibunya. Sebab, dalam kepalanya berkecamuk.

Jalan buntu, Buk, kata Trias dalam hati, masih sambil membasuh kaki sang ibu. Senyum kosong tak lepas dari bibirnya. Tak ada jalan keluar, sekeras apapun kita berusaha. Kita kalah telak. Kita harus bagaimana, Buk?

Tak ada yang tahu jawaban dari pertanyaan Trias. Atau, mungkin kau tahu? Tolong beritahu Trias. Sebelum hidup benar-benar membunuhnya. Dengan atau tanpa adanya virus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar