Jumat, 23 Desember 2011

Berkenalan

Aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Ia selalu duduk disitu. Di sebuah bangku kecil di dekat lampu taman. Dengan earphone yang selalu ia kenakan, ia disitu. Duduk dan membaca sebuah buku dengan tenangnya. Itu sudah buku kelima yang ia baca sejak seminggu lalu aku mengamatinya. Aku belum berkenalan dengannya. Terlalu takut. Terlalu malu. Jadilah aku hanya disini. Menikmati kopi dan batangan nikotin sambil menatapnya.

Sore ini perempuan berparas ayu itu kembali bergelut dengan bukunya. Dan masih tetap dengan earphone di telinganya. Aku mengumpulkan segenap nyaliku. Aku harus berkenalan dengannya. Bosan juga menjadi pengecut yang hanya menikmati keindahannya dari kejauhan. aku beranjak dari dudukku. Diam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika ia menolak berkenalan? Bagaimana jika ia takut padaku? Dan yang paling parah, bagaimana jika ia tak lagi mau duduk di bangku kecil itu? Ah, sial. Aku kembali duduk. Kembali menghisap rokokku. Kembali memandangi dirinya.

Sore berikutnya, tanpa berfikir, aku menghampiri perempuan cantikku itu. Duduk di dekatnya. Berpura-pura membaca buku yang sengaja aku bawa. Dengan hati-hati, aku tamati wajahnya dari dekat. Jantungku berdebar tak karuan. Sampai-sampai aku takut jika ia dapat mendengar detakan jantung ini. Ia menoleh. Menatapku beberapa saat, dan tersenyum. Sungguh, itu senyum terindah yang pernah aku lihat. Detik itu juga, aku tahu. Aku jatuh cinta padanya.

Hari-hari berikutnya, masih dengan kepura-puraan ku membaca buku, aku semakin sering dekat dengannya. Dan, belum. Aku belum mengetahui namanya. Aku ingin berbicara dengannya, tapi ia selalu memakai earphone. Bagaimana caraku mendekatinya tanpa membuatnya merasa terganggu? Entah. Aku belum bisa memikirkannya.

Hari ini aku kembali duduk di dekatnya. Aku menemukan sebuah cara untuk mendekatinya. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis.

‘Hai.’ Sapaku dalam tulisan di kertas itu. Aku berikan kertas itu padanya

Ia menoleh kepadaku. Terdiam sejenak, lalu tersenyum. Ya Tuhan, andai Kau tahu betapa aku berterima kasih pada-Mu karena telah menciptakan makhluk seindah ini.

‘Ya? :)’ ia juga menulis dalam kertas itu.

‘Lagu apa yang kamu dengarkan? Kayaknya kamu selalu memakai earphone itu.’ Tulisku lagi. Membuka pembicaraan.

Kali ini ia tidak menjawabnya. Ia menoleh dan menggeleng. Tak lupa dengan senyumnya yang indah itu.

‘Kamu tak mau beritahu? Aku yakin itu pasti lagu yang sangat spesial. Sampai-sampai kamu tak mau membaginya dengan orang lain. :)’ tulisku.

Ia tersenyum lagi. Dan mulai menulis.

‘Kamu yakin ingin tahu?’ balasnya

‘Ya.’ Jawabku mantab.

Ia mengambil sebelah earphone nya, dan dipasangkan di telingaku. Hening. Sepi. Tak ada suara apa-apa dari earphone itu. Aku mencoba menutup sebelah telingaku yang tak terpasang earphone. Mencoba berkonsentrasi akan suara yang diantar dari earphone nya. Tapi tetap tak ada suara apa-apa. Tetap hening. Tetap sepi.

Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku.

“Jadi?” tanyaku bingung.

Ia tersenyum lagi. Lalu mulai menggerak-gerakkan tangannya. Aku seperti pernah melihat gerakan-gerakan itu. Aku mengernyitkan dahi. Mencoba memahami maksudnya. Oh! Aku ingat! Ini sandi yang biasa orang tuli gunakan untuk berkomunikasi. Ah, perempuan ini....

Aku menatapnya. Perasaan kaget dan bingung menyergapku. Ia masih tetap tersenyum. Ia masih tetap dengan senyum indah yang aku sukai. Aku menatap matanya. Dan tersenyum.

‘Salam kenal ya :)’ tulisku dalam kertas tadi.

Aku bukan lagi seorang pengecut yang hanya bisa mengaguminya dari jauh. Aku seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta yang begitu dalam dengan perempuan berparas ayu yang selalu duduk di bangku kecil dekat lampu taman. Ya, aku tahu. Aku tahu benar perasaan ini. Aku jatuh cinta.

1 komentar: