Sabtu, 05 Juli 2014

Berhenti

Aku masih ingat sekali nasehatnya waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di, aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan! Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar