Jumat, 21 September 2012
Kita
Sabtu, 26 Mei 2012
Apa salahku?
Kamis, 26 April 2012
Rindu
Ingin melepaskan diri dari jeratan logika.
Jangan, kataku.
Rindu masih saja menggeliat.
Mengetuk-ngetuk hati yang terbaring lemah.
Jangan, kataku lagi.
Rindu menggeliat lebih keras.
Ia menghanguskan memori-memori sendu.
Rindu berhasil membujuk kenangan untuk bekerja sama.
Aku tak berdaya.
Logika telah dikuasainya.
Aku kalah.
Aku mulai menekan-nekan tombol di ponselku yang sudah ku hafal di luar kepala.
Satu nada sambung.
Dua nada sambung.
“Halo,”
Nah, rindu. Kau pemenangnya.
“Emm, hai. Apa kabar?”
Selasa, 17 April 2012
Hai kau
Senin, 02 April 2012
Tolong aku!
Aku berjalan lurus kedepan. Hanya langkah kakiku yang terdengar menggema di sepanjang lorong ini. Ku tatap cahaya terang di ujung sana. Aku mulai berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tapi, cahaya itu enggan menungguku. Ia perlahan memudar. Tidak. Jangan! Jangan pergi. Tolong, aku mohon. Aku berlari semakin kencang. Aku menggapai-gapai cahaya di depanku. Ia tak mau menungguku. Dan hilang. Tepat disaat aku mulai menapak kilaunya, ia menghilang. Aku terkapar lemas. Tubuhku lelah sekali. Aku terengah-engah.
“Selamat datang kembali,” Ujar kegelapan sambil menyeringai. Seringai seram yang selama ini menghantui hari-hariku.
Tubuhku terseret gelap. Aku kembali terperosok dalam kelam. Aku meraih-raih pegangan. Mencari sisa-sisa cahaya yang tertinggal. Tapi, tak ada sedikitpun yang tersisa untukku. Aku tidak mau bertemu pekat. Aku tidak mau!
“Heh pecun ngelamun aje! Tuh, ada tamu. Layanin yang bener. Kalo nggak, abis lu ama gue.” Teriakan germo babi membuyarkan lamunanku.
Ah sial. Ku letakkan sejenak imaji ku. Ku matikan rokok, dan melangkah kembali pada realita.
Selasa, 14 Februari 2012
Selamat hari kasih sayang, wanitaku...
Rabu, 01 Februari 2012
Naskah Hidup
Minggu, 29 Januari 2012
Senja Tak Lagi Berwarna Jingga
Aku masih menunggumu. Kau bilang, kau akan pulang saat senja. Saat matahari menutup tugasnya. Saat langit bersemu malu. Jingga, katamu. Aku masih saja duduk di depan rumah. Dengan secangkir teh dan beberapa biskuit, aku menunggumu hingga langit tak lagi kemerahan. Bulan perlahan menaiki tahtanya. Dan aku tetap saja duduk menunggumu di depan rumah.
Aku masih ingat jelas saat kau pergi. Tak ada bahasa. Tak ada kata. Raut muka dan air mata mengisyaratkan semuanya. Aku terdiam. Tanpa peluk, kau pergi begitu saja. Aku hanya bisa menatap punggungmu hingga kau berlalu. Air mata ini belum kering benar, sayatan luka ini masih menganga lebar. Dan kau pergi. Kau pergi begitu saja!
Senja ini, aku masih menunggumu. Tetap saja tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Hingga seorang kawan berlari tergesa-gesa menuju rumah. Aku terlonjak kaget. Ia mengabarkan sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak lagi hanya seutas mimpi. Mimpi buruk ini nyata. Aku marah. Aku menyalahkan Tuhan! Tangis ini berderai. Sang kawan berusaha menenangkanku. Cahaya senja menjadi kelabu. Perlahan, lalu, hilang.
Senja kali ini berwarna jingga terang. Indah sekali. Dan kau pulang. Kau yang selama ini aku tunggu, akhirnya telah pulang. Benar, kau akan pulang saat jingga. Aku menengok ke arah senja. Para dewi telah menyamarkan kepedihan langit dibalik keindahan senja. Hey, bangun! Ini senja kesukaanmu! Bangunlah! Aku memeluk tubuhmu yang membiru. Tak bernafas. Tak bernyawa. Wajahmu basah oleh air mataku. Senja tak lagi berwarna jingga. Ia memucat. Berjalan beriringan dengan ketidak adilan. Senja menjadi kelam.
Rabu, 11 Januari 2012
Tak Bernama
Sabtu, 31 Desember 2011
Sebut Saja Takdir
“Aku kangen kamu.”
“Basi.”
“Aku sayang kamu.”
“Nggak penting.”
“Aku cint….”
“Stop.”
“Kenapa? Kenapa kamu nggak pernah percaya sama aku. Demi Tuhan aku nggak bohong. Aku benar-benar cint….”
“Stop. Aku bilang stop. Dan jangan pernah bawa-bawa nama Tuhan. Aku nggak suka.”
“Oke, aku berhenti. Tapi, kamu beritahu aku, kenapa kamu nggak memberiku kesempatan? Kenapa?”
“Kamu sudah tahu jawabannya.”
“Nggak. Aku nggak tahu apa-apa.”
“Jangan pura-pura nggak tahu.”
“Aku nggak pura-pura. Aku memang nggak tah…”
“Aku sudah menikah. Mengerti? Apa kamu nggak lihat cincin di jariku ini?”
“Kamu berubah. Dulu kamu bilang mencintaiku. Dulu kamu bilang kita akan selalu bersama. Bohong, kamu pembohong.”
“Takdir yang tidak sejalan dengan kita.”
“Bullshit! Tadi, kamu bilang jangan bawa-bawa nama Tuhan, sekarang kamu berbicara tentang takdir? Tahu apa kamu tentang takdirku? Tahu apa kamu tentang takdirmu? Tahu apa kamu tentang takdir kita hahhhh???!!!”
“Dari awal sudah bisa tertebak bagaimana akhir hubungan kita.”
“Oh. Gitu? Berarti dari awal kamu memang sudah nggak serius denganku? Begitu?”
“Bukan begitu, tapi…”
“Tapi apa??!! Asal kamu tahu, aku susah payah mencarimu. Kamu menghilang begitu saja. Setalah apa yang telah kita lalui.”
“Aku harus membahagiakan orang tuaku. Dengan menikahinya! Tahu kamu??!!”
“Apa harus dengan cara itu?
“Maaf. Maafkan aku, Roni.”
“…..”
“Maaf.”
“Baik. Aku akan memaafkanku. Lupakan semuanya. Lupakan kalau kita pernah mengenal satu sama lain. Ini mungkin yang terbaik untukmu. Salam untuk istrimu.”
Kedua lelaki itu berpelukan untuk terakhir kalinya. Saling melepaskan kasih masa lalu. Berhenti disitu. Mereka memendam dalam-dalam kisah mereka. Berjalan menjauh. Dan berlalu.
Senin, 26 Desember 2011
Sayang, asal kau tahu....
Sayang, asal kau tahu. Setiap jam, menit, detik, aku selalu menanyakan keberadaanmu. Bukan karena aku tak percaya padamu. Tetapi karena aku mengkhawatirkanmu.
Sayang, asal kau tahu. Tak pernah aku bercerita tentang masa lalu ku kepadamu. Bukan karena aku tak mau jujur dan berbagi kepadamu. Tetapi karena aku takut akan membuatmu terluka.
Sayang, asal kau tahu. Setiap saat aku berkata aku mencintaimu. Bukan karena aku seorang penjilat dan penggombal. Tetapi karena aku ingin kau tahu aku memang selalu mencintaimu.
Sayang, asal kau tahu. Aku melarangmu pergi dengan teman-temanmu hingga larut malam. Bukan karena aku membatasimu. Tetapi karena aku takut akan terjadi apa-apa kepadamu.
Sayang, asal kau tahu. Aku jarang menceritakan masalah-masalahku padamu. Bukan karena aku tak mau terbuka padamu. Tetapi karena aku takut membuatmu khawatir.
Sayang, asal kau tahu. Aku posesif. Karena aku mencintaimu.
Ayah
Hai perkenalkan, namaku Fasya Putri. Tapi, kalian boleh memanggilku Acha. Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Ibuku , entahlah. Aku lupa. Kata ayah, ibu pergi karena ada urusan. Tapi, sampai sekarang ibu tak pernah kembali. Biarlah, yang penting aku punya ayah yang selalu menyayangiku. Dari kecil hingga sekarang aku berumur 8 tahun, seingatku, ayah lah yang terus menjagaku. Aku sayaaaang sekali sama ayah. Dan aku tahu ayah juga sangat menyayangiku.
Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil di perkampungan. Kontrakannya kecil, tapi tidak terlalu kumuh seperti rumah kontrakan ku yang dulu. Kami sering berpindah tempat tinggal. Aku tak pernah tahu alasannya. Dan aku tak pernah bertanya. Karena setiap kali akan pindah, raut wajah ayah seram sekali. Walaupun ayah tak pernah memarahiku, aku tetap saja takut melihatnya seperti itu.
Ayah mempunyai seorang teman dekat. Namanya Pak Bowo. Kami sering tinggal di rumah Pak Bowo, dan aku juga berteman dekat dengan anak Pak Bowo, namanya Tiara. Ayah dan Pak Bowo seringkali berbicara sangat serius. Aku dan tiara yang melihat mereka jadi bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Tapi, kami tak benar-benar bertanya. Karena, ibunya Tiara melarang kami untuk bertanya. Itu urusan orang dewasa, anak kecil belum boleh tahu, katanya.
Oh iya, aku tidak bersekolah. Tapi, aku tetap belajar lho. Ayah seringkali membawa buku-buku untuk aku baca dan pelajari. Kalau Tiara sedang les, aku juga terkadang ikut. Dengan membawa buku-buku yang ayah beri padaku, aku bertanya soal yang tidak aku mengerti kepada guru les Tiara. Tiara senang sekali karena ia jadi tak sendirian kalau les. Aku tentu saja juga senang sekali.
Aku tak pernah tahu ayah kerja apa. Suatu waktu, aku pernah bertanya pada ayah, sebenarnya dia kerja apa. Tapi, ia hanya tersenyum, dan bilang bahwa ia bekerja membahagiakanku. Aku senang, tapi juga tidak lega. Ayah selalu saja bercanda. Ah betapa aku sangat menyayangi ayahku.
****
“Acha sayang, kok nggak dimakan makanannya?” Tanya Dewo, ayah Acha.
“Kan Acha nunggu ayah. Acha nggak mau makan sendirian.” Ujar Acha. Gadis kecil itu memasang muka sebal kepada ayahnya.
“Lho,
Acha kecil menahan kantuk dan laparnya demi menunggu sang ayah. Tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan ayahnya di luar
****
Hari ini sikap ayah aneh sekali. Ia menutup semua jendela dan pintu. Setiap jam selalu melongok ke jendela melihat keluar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, kemarin ayah pulang telat sekali. Ayah tak biasanya pulang se telat iu. Raut muka nya terlihat lelah dan tegang. Aku menghampiri ayah yang sedang berdiri di samping jendela. Ku peluk ayah dengan erat. Aku takut ayah kenapa-kenapa. Ayah balas memelukku dan mengelus-elus rambutku.
Jam 10.00 WIB, ayah menyuruhku mengemas barang-barang. Ah sudah saatnya kita pindah lagi. Tak banyak yang dibawa memang, hanya beberapa bajuku, buku-buku, dan satu boneka beruang hadiah dari ayah. Ayah sendiri telah selesai berkemas. Lalu, kami keluar melalui pintu belakang. Ayah menggendongku sepanjang jalan. Sedikit berlari dan tergesa, ayah meninggalkan rumah kontrakan kita.
Kami naik bus
Ayah terlihat marah sekali. Ia berteriak dan memaki kepada satpam itu. Berulang kali ayah berteriak memanggil Pak Bowo. Tapi, ia lalu diusir oleh si satpam. Aku menutup mata dan kedua telingaku. Seperti yang selama ini ayah ajarkan. Ketika ayah mulai berubah menjadi seram, kau harus menutup kedua mata dan telingamu, katanya. Maka sejenak, aku tak akan melihat keseraman ayah.
Ayah menggendongku lagi. Ayah meninggalkan rumah Pak Bowo dengan berlari. Berlari kencang sekali. Kami kembali menaiki bus. Aku diam saja. Walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan, aku memilih diam. Bus kami berbenti di pinggir jalan. Kami turun, dan ayah menggendongku lagi di sepanjang trotoar. Kami menaiki becak untuk menyusuri kampung-kampung. Dan berhentilah kami di sebuah rumah berwarna biru muda. Banyak tanaman dan bunga di depan rumahnya. Indah sekali. Lalu terdapat tulisan kecil di depan pagar. Panti Asuhan Bunga Matahari.
****
“Acha, untuk sementara, acha disini dulu ya. Ayah sudah bilang sama Ibu April, yang punya rumah bermain ini. Ayah akan cari rumah kontrakan untuk kita. Acha istirahat dulu saja disini ya.” Ujar Dewo kepada gadis kecil berbaju merah muda itu. Ia menunjuk wanita setengah baya yang berdiri di depan pintu. Wanita itu tersenyum pada Dewo dan Acha “Ayah janji tidak akan lama.”
“Tapi, kenapa yah? Selama ini kalau kita mencari rumah, Acha selalu ikut. Kenapa sekarang Acha tak boleh ikut?” Tanya Acha polos. Raut mukanya terlihat bingung sekali. “Ah! Acha tahu! Jangan-jangan ayah capek ya gendong Acha terus. Acha bisa jalan kok, yah.”
Dewo terhenyak mendengar ucapan lugu putrinya. Matanya terlihat berkaca-kaca, lekas ia mendongak agar air matanya tak tumpah.
“Kenapa ayah menangis?” Tanya Acha.
“Ah, ehm, tidak apa-apa. Mata ayah kemasukan debu,” Dewo mengusap-usap matanya. “Ayah tidak ingin Acha kecapekan. Jadi, Acha tunggu disini dulu saja ya. Ayah cuma sebentar.”
“Janji?” Acha menyodorkan jari kelingkingnya.
Dewo terdiam sejanak.
“Janji.” Dewo menautkan jari kelingkingnya ke kelingking Acha. Ia lalu memeluknya dengan erat. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya tumpah juga. Perlahan, ia mengusap air matanya.
“Ayah, aku selalu sayang sama ayah.” Ujar Acha. Ia tersenyum dengan manisnya.
“Ayah juga selalu sayang sama Acha. Selalu.”
****
Sudah seminggu ayah tak menemuiku. Ayah bohong. Aku benci ayah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Ayah meninggalkanku seorang diri disini. Padahal ayah tahu, aku hanya mau sama ayah. Tapi, ternyata ayah tak mau bersamaku lagi. Aku terus-terusan menangis. Aku bilang kepada Ibu April, aku akan menyusul ayah. Tapi, Ibu April melarang. Ia bilang tidak tahu dimana keberadaan ayah. Ayah jahat. Ayah jahat sekali.
Menangis terus membuatku lapar. Aku melupakan sejenak tentang ayah. Mungkin ayah belum menemukan rumah kontrakan, jadi aku masih harus menunggu disini, pikirku. Aku berjalan ke meja makan untuk mencari makanan. Aku ambil sebuah pisang goreng dan mulai memakannya. Terlihat Ibu April sedang menonton televisi di ruang tengah. Aku ikut menonton juga dari belakang.
****
“Pelaku pembunuhan Direktur Utama PT. Wijaya Putra akhirnya tertangkap. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang belum diketahui siapa otak dibalik semua ini. Polisi masih menggali informasi tentang siapa yang menyuruh pembunuh bayaran ini.” Kata seorang pembawa berita kriminal di televisi.
April membelalakkan mata.
“Pak Dewo?!” teriak April tak percaya.
Acha yang mendengar suara April, kaget. Ia lalu menghampiri televisi. Ia mengamati sosok pembunuh bayaran yang dimaksud si pembawa berita.
Acha terdiam. Pisang goreng di tangannya jatuh.
“Ayah…..”