Jumat, 21 September 2012

Kita


                Dia berjalan menjauhiku. Dengan tenangnya, membawa segala kenangan-kenangan manis kami bersama. Ia tampak tegar dibalik semua pahit yang menghampirinya. Ia tak tampak ringkih. Ia masih saja seorang laki-laki kuat yang aku kenal. Yang aku percaya, bahwa hanya dia yang dapat membuatku merasa sebahagia ini.
                Tidak ada yang menyukai perpisahan ini. Kau tidak menyukainya. Apalagi aku. Air mata yang aku tahan sedari tadi akhirnya runtuh juga. Tidak, tidak di hadapanmu aku menangis. Aku juga mau terlihat kuat sepertimu. Walaupun itu semua hanya semu.
                Aku akan tetap menunggumu disini. Merapikan kenangan-kenangan kita yang masih tersisa. Dan menyusunnya rapi menjadi tumpukan rindu. Disinilah. Di tempat pertama kita bertemu, kita akan bertemu lagi. Memulai segala dari awal lagi. Kita akan membuat takdir kita sendiri. Yang akan kita jalani nantinya. Bernama, masa depan. Masa depan kita.

Sabtu, 26 Mei 2012

Apa salahku?


Aku lapar. Aku lapar sekali. Sudah seharian aku tidak makan apa-apa. Kenapa wanita ini tidak memberiku makan. Kenapa dia tidak makan untukku? Aku hanya diberi asap. Asap rokok yang mengepul dan membuatku tidak nyaman. Tidak ada makanan, hanya asap. Aku hanya bisa berdiam diri. Berharap ia akan memakan sesuatu untuk membuatku kenyang. Tapi, yang dilakukannya seharian hanya berkutat dengan nikotin. Seakan-akan itu telah menjadi oksigennya.
Wanita ini berdiri dari duduknya. Ia muntah. Rasakan. Karena aku telah menendangnya sekuat tenaga. Salah sendiri ia membiarkanku. Salah sendiri ia tidak merawatku. Wajahnya yang ayu terlihat pucat setelah memuntahkan entah apapun itu. Tubuhnya terkulai lemas. Tanpa tenaga, ia kembali ke tempat duduknya semula.
Ia memegang kepalanya yang terasa pening. Tubuhku menjadi lemas juga. Ah, kenapa dia masih saja tidak memakan apa-apa. Ia kembali berkecimpung pada dunia asapnya. Tanpa memperdulikan aku yang kelaparan dan lemah ini.
Tok.. Tok..
Pintu kamarnya ada yang mengetuk. Ia segera beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Terlihat seorang laki-laki tambun dengan kumis tebal sudah berdiri disana. Ia segera memeluk laki-laki itu dengan mesra. Laki-laki itu membalas pelukannya.
Aku merasa mual. Ia membuatku mual dengan melihatnya bermesraan dengan laki-laki itu. Aku menendangnya sekali lagi dengan sangat keras. Ia memegangi perutnya, dan langsung beranjak ke kamar mandi, muntah lagi. Muntah kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Ia berkeringat dingin. Mukanya terlihat panik. Dengan gelisah, ia mengambil test pack dari kabinet di kamar mandi. Ia segera mengencinginya.
Laki-laki tambun itu juga terlihat gelisah. Pria itu memanggil-manggilnya dari luar kamar mandi. Mungkin ia terlalu takut untuk masuk. Terlalu takut untuk melihat kenyataan yang akan dihadapinya sebentar lagi.
Wanita ini keluar dari kamar mandi. Badannya terlihat lebih lunglai. Diberikannya test pack itu pada si lelaki tambun. Dua garis. Dua garis terlihat jelas pada test pack yang dipegangnya. Lelaki itu terdiam. Terlalu kaget. Terlalu mengagetkan. Ia melempar test pack itu padanya. Laki-laki tambun memakinya. Sumpah serapah diteriakkan. Wanita itu menangis. Ia menangis sesenggukan di hadapan laki-laki itu. Hal itu memompa amarah si lelaki tambun seketika. Ia menampar wanita itu dengan keras. Ia memaki lagi. Dan meninggalkan wanita itu begitu saja.
Wanita itu masih saja menangis. Ia terduduk lemah di lantai. Ia memukul-mukul perutnya. Tempatku berada. Aku kesakitan. Rasanya sakit sekali. Aku ikut menangis dengannya. Aku tidak minta untuk hidup dalam rahimnya. Ia yang membuatku berada disini. Ia yang memulainya. Tapi, ia tidak menginginkanku. Ia membenciku.
“Bangsaaaaaatttt!!” Ia memaki-maki.
Ia masih terus memukuli perutnya. Ia memukuliku. Aku tidak tahan. Sakit sekali rasanya. Aku merasa lemah. Mengapa ia menyalahkanku, apa salahku. Ia yang melakukannya. Bukan aku. Aku hanya menumpang untuk hidup di dunia ini melalu rahimnya. Mengapa ia begitu membenciku. Apa salahku?!
Pukulan-pukulannya membuatku kesakitan. Aku menyerah. Aku menyerah untuk bertahan melawan rasa sakit ini. Ibu… Maafkan aku…

Kamis, 26 April 2012

Rindu

Rindu menggeliat.
Ingin melepaskan diri dari jeratan logika.
Jangan, kataku.
Rindu masih saja menggeliat.
Mengetuk-ngetuk hati yang terbaring lemah.
Jangan, kataku lagi.
Rindu menggeliat lebih keras.
Ia menghanguskan memori-memori sendu.
Rindu berhasil membujuk kenangan untuk bekerja sama.
Aku tak berdaya.
Logika telah dikuasainya.
Aku kalah.

Aku mulai menekan-nekan tombol di ponselku yang sudah ku hafal di luar kepala.
Satu nada sambung.
Dua nada sambung.
“Halo,”
Nah, rindu. Kau pemenangnya.
“Emm, hai. Apa kabar?”

Selasa, 17 April 2012

Hai kau

Hai kau yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Apa kabar? Aku disini baik-baik saja. Tentu aku masih tetap dengan usahaku menghapus luka. Jangan marah, aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkan diri sendiri. Hiduplah yang membawa kita seperti ini. Hidup juga yang mengatur pertemuan dan perpisahan ini.
Aku masih mengingat jelas “Suatu hari nanti aku akan kerumahmu,” atau “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” dan untaian-untaian janji lainnya darimu. Manis memang, indah memang, tapi itu tidak menutup caci dan makian darimu. Aku lebih mengingat kata-kata khas Suroboyo yang sering kau lontarkan ketika amarah menguasaimu. Jangan salahkan aku yang masih mengingat memori itu. Kau sendiri yang menancapkannya di otakku. Oh, terlebih hatiku. Kata-kata yang selalu aku dengar dengan mata nanar dan hati bernanah. Bisakah kau membayangkannya? Bisa?
Aku hanya seorang perempuan. Aku lemah, kau tahu. Aku lemah dengan sumpah serapahmu yang membabi buta itu. Satu tahun. Kurang lebih satu tahun aku menahan itu semua. Kenangan indah? Aku tidak ingat. Terpaku dan tertutup rapat pada peti kehancuran. Aku terperosok. Seolah kau disana, tapi kau tak dapat menolongku.
Sebut aku egois, sebut aku orang yang tidak mempunyai hati. Baiklah. Aku terima. Toh, aku sudah terlatih untuk mendengar kata-kata itu.
Hai kau yang pernah menjadi bagian hidupku. Sampai saat aku menulis ini, ketakutan masih saja menyergapku. Takut jika kau akan marah pada setiap detail huruf yang ada disini. Satu yang harus kau tahu. Aku menulis fakta. Dan aku tahu benar bahwa kau tahu itu.
Selamat malam, kau. Dan terima kasih.

Senin, 02 April 2012

Tolong aku!

Aku berjalan lurus kedepan. Hanya langkah kakiku yang terdengar menggema di sepanjang lorong ini. Ku tatap cahaya terang di ujung sana. Aku mulai berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tapi, cahaya itu enggan menungguku. Ia perlahan memudar. Tidak. Jangan! Jangan pergi. Tolong, aku mohon. Aku berlari semakin kencang. Aku menggapai-gapai cahaya di depanku. Ia tak mau menungguku. Dan hilang. Tepat disaat aku mulai menapak kilaunya, ia menghilang. Aku terkapar lemas. Tubuhku lelah sekali. Aku terengah-engah.

“Selamat datang kembali,” Ujar kegelapan sambil menyeringai. Seringai seram yang selama ini menghantui hari-hariku.

Tubuhku terseret gelap. Aku kembali terperosok dalam kelam. Aku meraih-raih pegangan. Mencari sisa-sisa cahaya yang tertinggal. Tapi, tak ada sedikitpun yang tersisa untukku. Aku tidak mau bertemu pekat. Aku tidak mau!

“Heh pecun ngelamun aje! Tuh, ada tamu. Layanin yang bener. Kalo nggak, abis lu ama gue.” Teriakan germo babi membuyarkan lamunanku.

Ah sial. Ku letakkan sejenak imaji ku. Ku matikan rokok, dan melangkah kembali pada realita.

Selasa, 14 Februari 2012

Selamat hari kasih sayang, wanitaku...

Sayang, selamat sore. Aku baru saja pulang bekerja. Rasanya lelah sekali badan ini. Tapi begitu bersamamu, lelah ini menghilang entah kemana. Hehe. Aku rindu, sayang. Aku rindu sekali. Ingin aku memelukmu dengan erat, mengecup keningmu, atau hanya sekedar duduk berdua menikmati kopi panas dengan cream kesukaanmu. Ah sayangku, aku benar-benar rindu.
Sayang, orang selalu bilang, bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita. Mereka tidak tahu mimpi-mimpi kita. Jadi, biarkan saja. Jangan hiraukan mereka ya, sayang. Kita tidak selemah yang mereka pikir. Kau, wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, kau jangan pernah bersedih ya.
Oh iya sayang, kau ingat, waktu pertama kita berkenalan? Waktu itu kau menunggu bus untuk pulang sekolah. Aku menawarkan tumpangan untukmu, tapi kau menolak. Memang saat itu, kita tidak terlalu dekat. Kita beda kelas. Tapi, aku selalu mengagumimu. Keberanianku untuk menawarkan tumpangan untukmu luluh lantak dengan satu kalimatmu, “tidak, terima kasih.” Dan kau tersenyum. Oh, bidadari memang nyata adanya!
Keesokan harinya, aku menawarkan tumpangan lagi untukmu. Dan kau menolak lagi. Kau memang keras kepala ya, sayang. Di hari ketiga, aku berjalan ke halte. Menemanimu menunggu hingga naik bus. Di dalam bus, kita duduk sebangku. Dan akhirnya kita berkenalan. Aku sadar, aku terlihat bodoh saat itu. Aku tegang sekali hingga tak bisa mencari bahan obrolan. Ah aku belum memberitahumu ya. Sebenarnya saat itu aku membawa sepeda motorku. Hanya saja aku ingin bersamamu. Jadilah, setelah kau turun dari bus, aku mencari bus untuk kembali ke sekolah, untuk mengambil sepeda motorku. Hehe, bodoh sekali ya, sayang.
Terlalu asyik aku bercerita, tak sadar langit telah gelap. Ah, sayang. Aku harus pulang. Besok sepulang kerja, aku akan kesini lagi. Menemanimu lagi. Jadi, jangan sedih ya, sayangku. Aku pulang dulu, sayang.
Kuletakkan sebuket mawar merah dan sekotak cokelat kesukaannya. Aku berjalan pelan menjauhi pusaranya. Terisak, aku menangis lagi.
Selamat hari kasih sayang, wanitaku…

Rabu, 01 Februari 2012

Naskah Hidup

Ini bukan cerita yang kau inginkan. Ini bukan episode-episode yang kau impikan. Aku tahu. Aku tahu benar. Kita hanya pelakon drama kehidupan. Sudah ada sang sutradara yang mengatur ini semua. Bagaimanapun, naskah hidup kita telah selesai ditulis. Dan kita hanya tinggal memerankannya seperti anjing bodoh yang setia kepada majikan. Iya iya, tidak tidak. Hanya itu. Takdir dapat diubah? Tai. Itu hanya upaya manusia untuk memotivasi diri sendiri. Tapi, hey! Tak ada salahnya. Bahkan anjing bodoh pun tak ingin terlihat bodoh, bukan?
Naskah hidupku lebih keparat dibanding siapapun. Ya, kau bisa menyangkal itu. Aku tahu pasti kau merasa naskah hidupku lebih baik darimu. Karena memang begitulah manusia bereaksi. Benar-benar sampah. Bagaimana bisa aku mendapatkan naskah hidup yang seperti ini?! Akan ku lakukan apapun untuk casting sebagai pemeran drama hidup yang lain. Oh, percayalah! Aku memang tak baik dalam menjalani lakonku disini. Tapi, aku pasti lebih jika aku mendapat peran yang lain. Aku percaya itu.
Ah, setidaknya kau masih bisa makan enak didalam rumah yang nyaman. Bukan di sebuah prostitusi kelas sapi yang bau busuk ini. Setidaknya kau masih punya kedua orang tua. Bukan seorang germo menor yang tidak punya hati ini. Setidaknya kau masih bisa mengenyam pendidikan. Bukan mengenyam kelamin para laki-laki hidung belang ini. Anjing! Hey, kau anjing! Jangan pernah bilang hidupmu tidak lebih baik dariku! Tahu apa kau, bangsat!
Tai. Tai tetap saja tai. Aku hanya bisa berharap sang sutradara telah menyiapkan akhir bahagia untukku. Jika tidak, aku tak akan berhenti merutuknya. Dasar sutradara pembuat hidup sialan!

Minggu, 29 Januari 2012

Senja Tak Lagi Berwarna Jingga

Aku masih menunggumu. Kau bilang, kau akan pulang saat senja. Saat matahari menutup tugasnya. Saat langit bersemu malu. Jingga, katamu. Aku masih saja duduk di depan rumah. Dengan secangkir teh dan beberapa biskuit, aku menunggumu hingga langit tak lagi kemerahan. Bulan perlahan menaiki tahtanya. Dan aku tetap saja duduk menunggumu di depan rumah.

Aku masih ingat jelas saat kau pergi. Tak ada bahasa. Tak ada kata. Raut muka dan air mata mengisyaratkan semuanya. Aku terdiam. Tanpa peluk, kau pergi begitu saja. Aku hanya bisa menatap punggungmu hingga kau berlalu. Air mata ini belum kering benar, sayatan luka ini masih menganga lebar. Dan kau pergi. Kau pergi begitu saja!

Senja ini, aku masih menunggumu. Tetap saja tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Hingga seorang kawan berlari tergesa-gesa menuju rumah. Aku terlonjak kaget. Ia mengabarkan sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak lagi hanya seutas mimpi. Mimpi buruk ini nyata. Aku marah. Aku menyalahkan Tuhan! Tangis ini berderai. Sang kawan berusaha menenangkanku. Cahaya senja menjadi kelabu. Perlahan, lalu, hilang.

Senja kali ini berwarna jingga terang. Indah sekali. Dan kau pulang. Kau yang selama ini aku tunggu, akhirnya telah pulang. Benar, kau akan pulang saat jingga. Aku menengok ke arah senja. Para dewi telah menyamarkan kepedihan langit dibalik keindahan senja. Hey, bangun! Ini senja kesukaanmu! Bangunlah! Aku memeluk tubuhmu yang membiru. Tak bernafas. Tak bernyawa. Wajahmu basah oleh air mataku. Senja tak lagi berwarna jingga. Ia memucat. Berjalan beriringan dengan ketidak adilan. Senja menjadi kelam.

Rabu, 11 Januari 2012

Tak Bernama


Diam. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut mereka. Laki-laki dan perempuan itu terlihat kikuk dan tidak nyaman. Berkali-kali mereka mencoba membetulkan posisi duduknya. Sang laki-laki menggaruk-garuk hidungnya dengan canggung. Sang perempuan memainkan jemari-jemari lentiknya.
“Kau tahu…” laki-laki itu membuka suara. “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
“Aku juga.” Kata sang perempuan.
Diam. Mereka terdiam lagi. Bunyi gemericik hujan diluar sana mengiringi kebekuan mereka. Laki-laki itu menelan ludah. Seakan ada seonggok kalimat yang ingin ia katakan, tapi tercekat begitu saja tak tahu bagaimana menyampaikannya. Tak berbeda jauh dengan perempuan itu. Ia memainkan ujung rok yang dipakainya. Merasa bingung harus bagaimana untuk bersikap.
“Perasaan ini membuatku bahagia.” Laki-laki itu menatap mata sang perempuan.
“Aku juga. Aku juga merasa bahagia.” Perempuan itu membalas tatapan sang laki-laki. Ia tersenyum lembut.
“Boleh aku bertanya sesuatu? Kau boleh menganggapku idiot atau bodoh atau apapun itu karena telah menanyakan hal ini.” Laki-laki itu terlihat gugup. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan.
“Tentu. Dan, tidak. Aku tidak akan menganggapmu idiot atau bodoh atau apapun itu.” Perempuan itu masih menatap laki-laki di depannya itu.
Sang laki-laki berdeham. Ia menarik nafas panjang.
“Apakah kau…. Apakah setiap kali kau bersamaku, kau merasa jantungmu berdegup kencang seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.” Jawab sang perempuan.
“Lalu, apakah setiap kali melihatku, perutmu serasa digelitik seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
“Lalu, apakah setiap kali kau mendengar suaraku, ada bagian dari dirimu yang ingin menyimpan suara itu, untuk selalu kau bawa bersamamu…” laki-laki itu berhenti sejenak. “seperti apa yang aku rasakan sekarang?”
“Ya.”
Mereka terdiam lagi.
“Satu pertanyaan terakhir.” Kata laki-laki itu.
“Baik.”
“Apa kau tahu perasaan apa yang sedang kita rasakan sekarang?”
Perempuan itu memandang sang laki-laki penuh arti.
“Tidak. Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku tak pernah merasakan sebelumnya.”
“Aku juga.”
Laki-laki dan perempuan itu menutup percakapan. Rasa heran dan kosong menyergap benak mereka. Mereka dapat merasakannya. Merasakan perasaan bahagia itu. Tapi, mereka tak pernah tahu. Tak pernah ada yang tahu disebut apa perasaan itu.

Sabtu, 31 Desember 2011

Sebut Saja Takdir

“Aku kangen kamu.”

“Basi.”

“Aku sayang kamu.”

“Nggak penting.”

“Aku cint….”

“Stop.”

“Kenapa? Kenapa kamu nggak pernah percaya sama aku. Demi Tuhan aku nggak bohong. Aku benar-benar cint….”

“Stop. Aku bilang stop. Dan jangan pernah bawa-bawa nama Tuhan. Aku nggak suka.”

“Oke, aku berhenti. Tapi, kamu beritahu aku, kenapa kamu nggak memberiku kesempatan? Kenapa?”

“Kamu sudah tahu jawabannya.”

“Nggak. Aku nggak tahu apa-apa.”

“Jangan pura-pura nggak tahu.”

“Aku nggak pura-pura. Aku memang nggak tah…”

“Aku sudah menikah. Mengerti? Apa kamu nggak lihat cincin di jariku ini?”

“Kamu berubah. Dulu kamu bilang mencintaiku. Dulu kamu bilang kita akan selalu bersama. Bohong, kamu pembohong.”

“Takdir yang tidak sejalan dengan kita.”

Bullshit! Tadi, kamu bilang jangan bawa-bawa nama Tuhan, sekarang kamu berbicara tentang takdir? Tahu apa kamu tentang takdirku? Tahu apa kamu tentang takdirmu? Tahu apa kamu tentang takdir kita hahhhh???!!!”

“Dari awal sudah bisa tertebak bagaimana akhir hubungan kita.”

“Oh. Gitu? Berarti dari awal kamu memang sudah nggak serius denganku? Begitu?”

“Bukan begitu, tapi…”

“Tapi apa??!! Asal kamu tahu, aku susah payah mencarimu. Kamu menghilang begitu saja. Setalah apa yang telah kita lalui.”

“Aku harus membahagiakan orang tuaku. Dengan menikahinya! Tahu kamu??!!”

“Apa harus dengan cara itu? Ada banyak cara untuk membahagiakan orang tua. Tapi, kamu memilih cara yang menyakitkanku.”

“Maaf. Maafkan aku, Roni.”

“…..”

“Maaf.”

“Baik. Aku akan memaafkanku. Lupakan semuanya. Lupakan kalau kita pernah mengenal satu sama lain. Ini mungkin yang terbaik untukmu. Salam untuk istrimu.”

Kedua lelaki itu berpelukan untuk terakhir kalinya. Saling melepaskan kasih masa lalu. Berhenti disitu. Mereka memendam dalam-dalam kisah mereka. Berjalan menjauh. Dan berlalu.

Senin, 26 Desember 2011

Sayang, asal kau tahu....

Sayang, asal kau tahu. Setiap jam, menit, detik, aku selalu menanyakan keberadaanmu. Bukan karena aku tak percaya padamu. Tetapi karena aku mengkhawatirkanmu.

Sayang, asal kau tahu. Tak pernah aku bercerita tentang masa lalu ku kepadamu. Bukan karena aku tak mau jujur dan berbagi kepadamu. Tetapi karena aku takut akan membuatmu terluka.

Sayang, asal kau tahu. Setiap saat aku berkata aku mencintaimu. Bukan karena aku seorang penjilat dan penggombal. Tetapi karena aku ingin kau tahu aku memang selalu mencintaimu.

Sayang, asal kau tahu. Aku melarangmu pergi dengan teman-temanmu hingga larut malam. Bukan karena aku membatasimu. Tetapi karena aku takut akan terjadi apa-apa kepadamu.

Sayang, asal kau tahu. Aku jarang menceritakan masalah-masalahku padamu. Bukan karena aku tak mau terbuka padamu. Tetapi karena aku takut membuatmu khawatir.

Sayang, asal kau tahu. Aku posesif. Karena aku mencintaimu.

Ayah

Hai perkenalkan, namaku Fasya Putri. Tapi, kalian boleh memanggilku Acha. Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Ibuku , entahlah. Aku lupa. Kata ayah, ibu pergi karena ada urusan. Tapi, sampai sekarang ibu tak pernah kembali. Biarlah, yang penting aku punya ayah yang selalu menyayangiku. Dari kecil hingga sekarang aku berumur 8 tahun, seingatku, ayah lah yang terus menjagaku. Aku sayaaaang sekali sama ayah. Dan aku tahu ayah juga sangat menyayangiku.

Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil di perkampungan. Kontrakannya kecil, tapi tidak terlalu kumuh seperti rumah kontrakan ku yang dulu. Kami sering berpindah tempat tinggal. Aku tak pernah tahu alasannya. Dan aku tak pernah bertanya. Karena setiap kali akan pindah, raut wajah ayah seram sekali. Walaupun ayah tak pernah memarahiku, aku tetap saja takut melihatnya seperti itu.

Ayah mempunyai seorang teman dekat. Namanya Pak Bowo. Kami sering tinggal di rumah Pak Bowo, dan aku juga berteman dekat dengan anak Pak Bowo, namanya Tiara. Ayah dan Pak Bowo seringkali berbicara sangat serius. Aku dan tiara yang melihat mereka jadi bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Tapi, kami tak benar-benar bertanya. Karena, ibunya Tiara melarang kami untuk bertanya. Itu urusan orang dewasa, anak kecil belum boleh tahu, katanya.

Oh iya, aku tidak bersekolah. Tapi, aku tetap belajar lho. Ayah seringkali membawa buku-buku untuk aku baca dan pelajari. Kalau Tiara sedang les, aku juga terkadang ikut. Dengan membawa buku-buku yang ayah beri padaku, aku bertanya soal yang tidak aku mengerti kepada guru les Tiara. Tiara senang sekali karena ia jadi tak sendirian kalau les. Aku tentu saja juga senang sekali.

Aku tak pernah tahu ayah kerja apa. Suatu waktu, aku pernah bertanya pada ayah, sebenarnya dia kerja apa. Tapi, ia hanya tersenyum, dan bilang bahwa ia bekerja membahagiakanku. Aku senang, tapi juga tidak lega. Ayah selalu saja bercanda. Ah betapa aku sangat menyayangi ayahku.

****

“Acha sayang, kok nggak dimakan makanannya?” Tanya Dewo, ayah Acha.

“Kan Acha nunggu ayah. Acha nggak mau makan sendirian.” Ujar Acha. Gadis kecil itu memasang muka sebal kepada ayahnya.

“Lho, kan ayah sudah bilang, ayah pulang terlambat, Acha makan duluan aja,” kata Dewo. Ia lalu menggendong anak semata wayang nya itu.

Acha kecil menahan kantuk dan laparnya demi menunggu sang ayah. Tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan ayahnya di luar sana.

****

Hari ini sikap ayah aneh sekali. Ia menutup semua jendela dan pintu. Setiap jam selalu melongok ke jendela melihat keluar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, kemarin ayah pulang telat sekali. Ayah tak biasanya pulang se telat iu. Raut muka nya terlihat lelah dan tegang. Aku menghampiri ayah yang sedang berdiri di samping jendela. Ku peluk ayah dengan erat. Aku takut ayah kenapa-kenapa. Ayah balas memelukku dan mengelus-elus rambutku.

Jam 10.00 WIB, ayah menyuruhku mengemas barang-barang. Ah sudah saatnya kita pindah lagi. Tak banyak yang dibawa memang, hanya beberapa bajuku, buku-buku, dan satu boneka beruang hadiah dari ayah. Ayah sendiri telah selesai berkemas. Lalu, kami keluar melalui pintu belakang. Ayah menggendongku sepanjang jalan. Sedikit berlari dan tergesa, ayah meninggalkan rumah kontrakan kita.

Kami naik bus kota menuju rumah Pak Bowo. Di depan rumah, ayah dihadang satpam rumah Pak Bowo. Kenapa? Padahal selama ini, kalau kami kemari satpam ini selalu ramah. Tapi, tidak kali ini. Maaf pak, tapi ini perintah Pak Bowo, bapak dilarang masuk, ujarnya. Aku semakin bingung. Kenapa Pak Bowo melarang ayah masuk? Apa mereka bertengkar? Apa mereka sudah tidak bersahabat lagi?

Ayah terlihat marah sekali. Ia berteriak dan memaki kepada satpam itu. Berulang kali ayah berteriak memanggil Pak Bowo. Tapi, ia lalu diusir oleh si satpam. Aku menutup mata dan kedua telingaku. Seperti yang selama ini ayah ajarkan. Ketika ayah mulai berubah menjadi seram, kau harus menutup kedua mata dan telingamu, katanya. Maka sejenak, aku tak akan melihat keseraman ayah.

Ayah menggendongku lagi. Ayah meninggalkan rumah Pak Bowo dengan berlari. Berlari kencang sekali. Kami kembali menaiki bus. Aku diam saja. Walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan, aku memilih diam. Bus kami berbenti di pinggir jalan. Kami turun, dan ayah menggendongku lagi di sepanjang trotoar. Kami menaiki becak untuk menyusuri kampung-kampung. Dan berhentilah kami di sebuah rumah berwarna biru muda. Banyak tanaman dan bunga di depan rumahnya. Indah sekali. Lalu terdapat tulisan kecil di depan pagar. Panti Asuhan Bunga Matahari.

****

“Acha, untuk sementara, acha disini dulu ya. Ayah sudah bilang sama Ibu April, yang punya rumah bermain ini. Ayah akan cari rumah kontrakan untuk kita. Acha istirahat dulu saja disini ya.” Ujar Dewo kepada gadis kecil berbaju merah muda itu. Ia menunjuk wanita setengah baya yang berdiri di depan pintu. Wanita itu tersenyum pada Dewo dan Acha “Ayah janji tidak akan lama.”

“Tapi, kenapa yah? Selama ini kalau kita mencari rumah, Acha selalu ikut. Kenapa sekarang Acha tak boleh ikut?” Tanya Acha polos. Raut mukanya terlihat bingung sekali. “Ah! Acha tahu! Jangan-jangan ayah capek ya gendong Acha terus. Acha bisa jalan kok, yah.”

Dewo terhenyak mendengar ucapan lugu putrinya. Matanya terlihat berkaca-kaca, lekas ia mendongak agar air matanya tak tumpah.

“Kenapa ayah menangis?” Tanya Acha.

“Ah, ehm, tidak apa-apa. Mata ayah kemasukan debu,” Dewo mengusap-usap matanya. “Ayah tidak ingin Acha kecapekan. Jadi, Acha tunggu disini dulu saja ya. Ayah cuma sebentar.”

“Janji?” Acha menyodorkan jari kelingkingnya.

Dewo terdiam sejanak.

“Janji.” Dewo menautkan jari kelingkingnya ke kelingking Acha. Ia lalu memeluknya dengan erat. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya tumpah juga. Perlahan, ia mengusap air matanya.

“Ayah, aku selalu sayang sama ayah.” Ujar Acha. Ia tersenyum dengan manisnya.

“Ayah juga selalu sayang sama Acha. Selalu.”

****

Sudah seminggu ayah tak menemuiku. Ayah bohong. Aku benci ayah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Ayah meninggalkanku seorang diri disini. Padahal ayah tahu, aku hanya mau sama ayah. Tapi, ternyata ayah tak mau bersamaku lagi. Aku terus-terusan menangis. Aku bilang kepada Ibu April, aku akan menyusul ayah. Tapi, Ibu April melarang. Ia bilang tidak tahu dimana keberadaan ayah. Ayah jahat. Ayah jahat sekali.

Menangis terus membuatku lapar. Aku melupakan sejenak tentang ayah. Mungkin ayah belum menemukan rumah kontrakan, jadi aku masih harus menunggu disini, pikirku. Aku berjalan ke meja makan untuk mencari makanan. Aku ambil sebuah pisang goreng dan mulai memakannya. Terlihat Ibu April sedang menonton televisi di ruang tengah. Aku ikut menonton juga dari belakang.

****

“Pelaku pembunuhan Direktur Utama PT. Wijaya Putra akhirnya tertangkap. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang belum diketahui siapa otak dibalik semua ini. Polisi masih menggali informasi tentang siapa yang menyuruh pembunuh bayaran ini.” Kata seorang pembawa berita kriminal di televisi.

April membelalakkan mata.

“Pak Dewo?!” teriak April tak percaya.

Acha yang mendengar suara April, kaget. Ia lalu menghampiri televisi. Ia mengamati sosok pembunuh bayaran yang dimaksud si pembawa berita.

Acha terdiam. Pisang goreng di tangannya jatuh.

“Ayah…..”

Jumat, 23 Desember 2011

Berkenalan

Aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Ia selalu duduk disitu. Di sebuah bangku kecil di dekat lampu taman. Dengan earphone yang selalu ia kenakan, ia disitu. Duduk dan membaca sebuah buku dengan tenangnya. Itu sudah buku kelima yang ia baca sejak seminggu lalu aku mengamatinya. Aku belum berkenalan dengannya. Terlalu takut. Terlalu malu. Jadilah aku hanya disini. Menikmati kopi dan batangan nikotin sambil menatapnya.

Sore ini perempuan berparas ayu itu kembali bergelut dengan bukunya. Dan masih tetap dengan earphone di telinganya. Aku mengumpulkan segenap nyaliku. Aku harus berkenalan dengannya. Bosan juga menjadi pengecut yang hanya menikmati keindahannya dari kejauhan. aku beranjak dari dudukku. Diam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika ia menolak berkenalan? Bagaimana jika ia takut padaku? Dan yang paling parah, bagaimana jika ia tak lagi mau duduk di bangku kecil itu? Ah, sial. Aku kembali duduk. Kembali menghisap rokokku. Kembali memandangi dirinya.

Sore berikutnya, tanpa berfikir, aku menghampiri perempuan cantikku itu. Duduk di dekatnya. Berpura-pura membaca buku yang sengaja aku bawa. Dengan hati-hati, aku tamati wajahnya dari dekat. Jantungku berdebar tak karuan. Sampai-sampai aku takut jika ia dapat mendengar detakan jantung ini. Ia menoleh. Menatapku beberapa saat, dan tersenyum. Sungguh, itu senyum terindah yang pernah aku lihat. Detik itu juga, aku tahu. Aku jatuh cinta padanya.

Hari-hari berikutnya, masih dengan kepura-puraan ku membaca buku, aku semakin sering dekat dengannya. Dan, belum. Aku belum mengetahui namanya. Aku ingin berbicara dengannya, tapi ia selalu memakai earphone. Bagaimana caraku mendekatinya tanpa membuatnya merasa terganggu? Entah. Aku belum bisa memikirkannya.

Hari ini aku kembali duduk di dekatnya. Aku menemukan sebuah cara untuk mendekatinya. Aku ambil secarik kertas dan mulai menulis.

‘Hai.’ Sapaku dalam tulisan di kertas itu. Aku berikan kertas itu padanya

Ia menoleh kepadaku. Terdiam sejenak, lalu tersenyum. Ya Tuhan, andai Kau tahu betapa aku berterima kasih pada-Mu karena telah menciptakan makhluk seindah ini.

‘Ya? :)’ ia juga menulis dalam kertas itu.

‘Lagu apa yang kamu dengarkan? Kayaknya kamu selalu memakai earphone itu.’ Tulisku lagi. Membuka pembicaraan.

Kali ini ia tidak menjawabnya. Ia menoleh dan menggeleng. Tak lupa dengan senyumnya yang indah itu.

‘Kamu tak mau beritahu? Aku yakin itu pasti lagu yang sangat spesial. Sampai-sampai kamu tak mau membaginya dengan orang lain. :)’ tulisku.

Ia tersenyum lagi. Dan mulai menulis.

‘Kamu yakin ingin tahu?’ balasnya

‘Ya.’ Jawabku mantab.

Ia mengambil sebelah earphone nya, dan dipasangkan di telingaku. Hening. Sepi. Tak ada suara apa-apa dari earphone itu. Aku mencoba menutup sebelah telingaku yang tak terpasang earphone. Mencoba berkonsentrasi akan suara yang diantar dari earphone nya. Tapi tetap tak ada suara apa-apa. Tetap hening. Tetap sepi.

Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku.

“Jadi?” tanyaku bingung.

Ia tersenyum lagi. Lalu mulai menggerak-gerakkan tangannya. Aku seperti pernah melihat gerakan-gerakan itu. Aku mengernyitkan dahi. Mencoba memahami maksudnya. Oh! Aku ingat! Ini sandi yang biasa orang tuli gunakan untuk berkomunikasi. Ah, perempuan ini....

Aku menatapnya. Perasaan kaget dan bingung menyergapku. Ia masih tetap tersenyum. Ia masih tetap dengan senyum indah yang aku sukai. Aku menatap matanya. Dan tersenyum.

‘Salam kenal ya :)’ tulisku dalam kertas tadi.

Aku bukan lagi seorang pengecut yang hanya bisa mengaguminya dari jauh. Aku seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta yang begitu dalam dengan perempuan berparas ayu yang selalu duduk di bangku kecil dekat lampu taman. Ya, aku tahu. Aku tahu benar perasaan ini. Aku jatuh cinta.