Selasa, 30 September 2014

Teruntuk Wanita di Depan Altar

                Aku mengambil sebuah jas hitam yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk acara ini. Kulihat pantulan diriku sekali lagi di kaca untuk memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilanku. Aku menghela nafas. Masih tidak beranjak dari depan kaca.
Sebentar lagi aku akan melihatnya berdiri di depan altar. Wanita yang selalu aku cintai. Tidak dengan t-shirt band favorit dan sneakers kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia akan mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan warna senada yang membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya yang selalu diikat asal akan ditata rapi dan dihiasi dengan mahkota kecil dan wedding veil. Wajahnya yang memang sudah cantik tanpa make-up akan terlihat lebih cantik dengan make-up.
                Kau terlihat sangat cantik, akan kubisikkan itu padanya. Lalu, ia akan tersenyum dan menunjukkan dua lesung pipi yang menjadi ciri khas nya. Seperti yang selalu ia lakukan di tahun-tahun yang lalu.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya aku memutuskan untuk berangkat.
                Ia disana. Wanita yang selalu aku cintai. Tepat seperti apa yang aku bayangkan. Cantik. Anggun. Selalu membuatku jatuh cinta.
                Ya. Ia disana.
                 Aku duduk dalam diam. Mendoakan kebahagiaannya kepada Tuhan. Mendoakan agar ia selalu bahagia dalam setiap nafas yang dihembusnya. Dan berdoa, agar aku masih bisa melihat senyumnya yang dulu selalu ia tujukan hanya untukku.
Ya Allah, bahagiakanlah ia. Juga... keluarga kecil mereka. Ucapku dalam hati.
Aku membaca ulang sebuah notes kecil yang telah aku persiapkan dengan sebuket bunga tulip kesukaannya.

“Dear Catherine,

Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut berbahagia. Dan, kau terlihat sangat cantik hari ini. Ah, tidak. Kau memang selalu cantik dimataku. Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Alif.”


Aku dan dia memang tidak akan pernah bisa sama. Namun, kita tak pernah bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan aku, hingga saat ini, masih jatuh cinta padanya.

Jumat, 26 September 2014

Bulimia

Aku mengkonsumsi. Lalu, memuntahkan. Begitulah definisi bulimia. Namun, kasusku disini, bukan makanan yang aku konsumsi. Tapi, memori. Ribuan memori tentang aku dan kau, yang dulu pernah disebut dengan “kita”.
Memori yang menyenangkan, yang membawaku kembali dalam alunan rindu yang merdu sekaligus memekakkan telinga. Sekali waktu aku membuka kembali memori kita. Perlahan, lalu terbiasa. Begitu candunya aku akan memori itu.
Namun, aku segera memuntahkannya. Itu sangat tidak baik bagi tubuhku. Terlebih, hatiku.
Pernah suatu waktu, aku begitu kelaparan dan menghabiskan banyak porsi tentang memori kita. Tak pernah ada kata kenyang. Aku menjadi lebih rakus dari hari ke hari. Namun, disaat yang sama, aku segera memuntahkannya kembali. Aku tak bisa menambah kalori-kalori rindu ini untuk tubuhku. Sudah terlalu banyak lemak yang menguasai.
Aku sadar sekali ini tak baik untukku. Aku benar-benar sadar. Namun, candu ini begitu menggoda. Tak pernah cukup aku akan kau. Akan kita. Walau sekarang kau entah sedang beradu kasih dengan siapa. Walau aku tak pernah tahu pasti bibir siapa yang akan kau kecup. Tubuh baru yang kau peluk. Sebuah jiwa baru untuk kau ambil.
“Percayalah, aku akan selalu berada disini. Di dekatmu. Walau nyatanya memang kita terpaut jarak ribuan kilometer yang begitu menyiksa. Namun, aku selalu disini. Bersamamu. Kau harus percaya itu.”
Lebih dari ribuan kali kalimat itu aku telan mentah-mentah. Mengendap di seluruh tubuhku. Membuat jantungku berdegup tak karuan ketika aku memutar ulang memori itu. Lalu, tak lama, air mata seakan tak sanggup lagi berada di pelupuk. Ia jatuh. Tepat ketika aku bersuara...
“Iya. Aku percaya. Aku selalu percaya.”
Penyakit ini sudah begitu akut. Aku ingin sembuh. Aku tak ingin candu ini menggerogoti tiap aliran darahku. Tidak mudah memang, tapi aku harus mencoba.

Tak akan lagi aku mengkonsumsi memori ini. Sehingga tak akan ada lagi yang harus dimuntahkan selanjutnya. Seperti kata-kataku saat iku, “Aku percaya. Aku selalu percaya.” Ya. Aku percaya aku bisa.

Sabtu, 05 Juli 2014

Teruntuk Sebuah Nyawa Di Dalam Rahimku

Selamat pagi, kamu di dalam perutku. Aku masih tidak menyangka kamu hadir dalam kehidupanku. Dalam hari-hariku. Kamu yang akan menemaniku selama 9 bulan nanti. Kamu yang akan selalu ada denganku. Aku tidak sabar untuk melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dengan bantuan mesin USG sang bidan.
Kamu sang juara. Bayangkan betapa banyak teman yang kamu kalahkan untuk menetap di rahimku. Kamu juaranya! Kamu yang terhebat! Kamu hebat, Nak!
Nak, anakku tersayang. Jika kelak kamu telah lahir ke dunia, jangan pernah tanya siapa bapakmu ya. Karena sejujurnya, ibu pun tidak tahu. Tidak ada yang tahu siapa bapakmu. Tapi, ibu bisa menjadi ibu sekaligus bapak untukmu. Ibu janji. Ibu akan melakukan apa saja untuk bisa membahagiakanmu.

Ibumu memang seorang jalang. Bapakmu tak lebih hina dari binatang. Tapi, anakku sayang. Ibu pasti akan selalu membuatmu senang.

Masih Sanggupkah Kau Tersenyum Nanti?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Setelah ujian yang datang bertubi-tubi kepadamu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah orang-orang menghinamu disana-sini, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah semuanya menyudutkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah sakit yang terasa mematikan, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah hidup yang kau punya satu-satunya terkoyak, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kebahagiaan yang perlahan meninggalkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kehancuran begitu ingin menghampirimu, masih sanggupkah kau tersenyum?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Berhenti

Aku masih ingat sekali nasehatnya waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di, aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan! Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”

Sabtu, 02 November 2013

Kau di Depan Sana, Selamat Untuk Kekasih Baru mu.

Hai. Ku dengar kau sudah menjadi miliknya ya? Miliknya seutuhnya? Jahat sekali. Aku bahkan belum sempat mengutarakannya padamu. Mengutarakan bagaimana aku terbius dengan aroma tubuhmu. Dengan pancaran semu kebahagiaanku saat bersamamu. Bagaimana bisa kau meninggalkanku begitu saja. Ah, jelas kau bisa. Memang aku siapa? Kau bahkan mungkin tidak mengenaliku.
Aku yang sudah terbiasa mengagumimu dari kejauhan ini merasa kehilangan. Bagaimana tidak, kau yang biasanya menjadi tumpuan mimpi-mimpiku untuk memilikimu, sekarang telah dimiliki orang lain. Beruntung sekali orang itu. Iya, orang itu. Kekasih barumu. Dia bisa mendapatkanmu tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri saat memandangimu. Tidak sepertiku, yang harus sembunyi-sembunyi agar kau tak sadar bahwa aku menatapmu sedari tadi.

Jujur saja, aku tidak ingin mendoakan jelek untuk hubunganmu. Karena bagaimanapun, kau bahagia bersamanya. Dan itu cukup untukku. Aku hanya berharap, kau masih sudi membagi secuil tubuhmu untukku. Untuk kupandangi sendiri. Untuk kukagumi, betapa aku benar-benar menyukaimu. Ini sudah gila, ini bukan suka lagi. Ini lebih dari itu. Entah apa namanya… 

Mimpi

Malam ini aku bermimpi tentangmu lagi. Tentang paras mu yang menggelayut manja di benakku. Kita berbicara lama sekali. Mataku terkunci pada matamu. Aku melihat pantulan diriku di mata beningmu. Ah, walaupun ini hanya sekedar mimpi, yang aku tahu pasti tidak akan terjadi di dunia nyata, aku tetap mengucap syukur pada Gusti. Karenanya, aku dapat memandangimu, memperhatikanmu dari dekat, walau hanya dari mimpi.
Kita berbincang. Membicarakan apa saja. Jarak kita hanya terpaut sepersekian centimeter. Ada jendela yang yang menghubungkan kita. Kita berdiri disana. Berbincang. Dan saling menatap. Hingga entah bagaimana, kau memberi sepucuk surat untukku. Aku lupa sebagian besar isi suratnya. Namun yang aku ingat, dalam surat itu ada kalimat…
“Namaku .…. Dan aku sudah berpacaran 7 tahun dengan .…. Masihkah kau menerimaku?”
Entah. Aku tidak menjawab surat itu. Mimpi terputus begitu saja. Ketika aku terbangun, hanya tiga kata yang terucap langsung dari bibirku.
“…Ya. Aku mau.”
Mungkin aku memang sudah gila. Untuk apa aku menjawab pertanyaan dari dunia fana? Dunia yang entah kapan aku bisa berada disana lagi... Ah, sial.

Sabtu, 21 September 2013

Demi Masa

99 Asmaul Husna dalam pigora yang terpampang di ruang tamu memanggil-manggil. Kitab suci Al-Quran yang usang dan bedebu menyenandungkan ayat-ayatnya. Mukena putihku yang dulu bersih tanpa noda sudah tidak berwarna putih lagi. Kerudung-kerudungku yang selama ini menemaniku memandangiku dengan iba. 

Dulu, rasanya tiada hari aku lewatkan tanpa kehadiran mereka.

Dulu, setiap sore, dengan memakai kerudung merah jambu kesukaanku, aku selalu duduk di ruang tamu dan menyenandungkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Dulu, melafalkan asmaul husna sudah merupakan suatu kewajiban bagiku.
Dulu, tidak pernah kulewatkan waktu sholatku, kutinggalkan apapun yang aku kerjakan untuk menunaikan sholat terlebih dahulu.
Dulu, aku merasa dekat sekali dengan Gusti Allah, membuat segala terasa tentram.
Dulu, yang sunah terasa wajib untukku. Mulai sholat sunah, hingga puasa sunah senin kamis.

Kini, aku yang sudah terbiasa tanpa kehadiran mereka, sudah tak pernah lagi menyentuh mereka.

Kini, kerudung merah jambu kesukaanku sudah berlubang termakan rayap.
Kini, rasanya aku sudah tidak ingat lagi bagaimana cara membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Kini, asmaul husna yang dulu aku hafal di luar kepala, sudah hilang terkikis waktu.
Kini, jangankan sholat, ingat keberadaan-Nya saja aku seringkali lupa.
Kini, aku merasa jauh sekali dengan-Nya.

Gusti.. Mohon ampun..

Teruntuk Kau di Depan Sana

Teruntuk kau di depan sana…
Memandangimu telah menjadi bagian dari hari-hariku.
Tatapan matamu yang begitu hangat. Lekuk bibirmu saat kau tersenyum. Deru nafasmu yang menenangkan.
Aku tak pernah bosan memandangmu.
Cukup hanya dengan memandangimu.

Aku tak sampai hati untuk menyentuhmu.
Aku takut tangan kasarku akan melukai kulit lembutmu.
Kau begitu mengagumkan.
Setiap centimeter dari dirimu begitu mengagumkan.
Kau adalah percikan kecil air surga yang nyata adanya.

Jangan kau beranjak dari depan sana.
Jangan pernah kau beranjak dari depan sana.
Biarkan aku menikmati setiap detil gerakan anggunmu.
Memahami binar matamu.
Mensyukuri nikmat Tuhan akan adanya dirimu.

Teruntuk kau di depan sana…
Suatu hari nanti. Suatu hari nanti akan kukatakan semuanya padamu.
Bahwa aku… Mencintaimu…
Aku lebih dari mencintaimu…
Aku menggilaimu…


*Terinspirasi oleh Radiohead – Creep. Dan juga, untuk kau di depan sana.*

Selasa, 09 Juli 2013

Gusti Allah Mboten Sare

            Berjalan lurus tanpa arah, aku seringkali tersesat. Diantara seluk beluk kebutuhan duniawi, aku menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup. Ini kebutuhan. Untukku dan keluargaku bertahan dalam arus kebiadaban dunia. Persetan dengan opini orang. Toh bukan mereka yang menghidupiku. Mengais dengan darah dan dosa, aku semakin tersesat.
            Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku dan teman-teman satu wismaku bersolek diri seperti biasanya. Hari ini aku memakai baju baru pemberian salah satu pelangganku. Baju yang menurutnya cocok untukku, menonjolkan bentuk tubuhku yang molek.
            “Kau tampak cantik,” Komentar Handoko, pelanggan tetapku.
            Bapak satu anak itu memuji tubuhku dengan belaian. Dengan dekapan mesra dan ciuman panas. Aku hanya tersenyum. Pujian-pujian seperti itu sudah seringkali aku dengar. Hanya sebagai intermezzo mereka sebelum aku melayaninya.
            Malam ini sudah 6 tamu telah aku layani. Germoku tersenyum puas. Senyum yang terdapat pada bibir bergincu merah darah itu membuatku bergidik. Selama ini, dialah Tuhan-ku. Dia yang dapat mengatur kehidupanku. Kapan aku bisa bahagia, dan kapan tidak.
            Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba. Germoku memberi kebebasan untuk kami tetap berada di wisma, atau pulang kampung. Tahun-tahun lalu aku menghabiskan Ramadhan di wisma. Masih tetap melayani. Namun, tahun ini aku berencana pulang kampung. Entah kenapa, tiba-tiba rasa rindu kepada emak menjalariku.
            “Bagaimana nduk, di kota? Kerasan toh?” komentar emak saat kita duduk-duduk di teras rumah. Emak membelai rambutku dengan sayang. Belaian yang sangat berbeda dengan yang selama ini aku rasakan dengan para lelaki pencari kelamin.
            “Ya wes gitu itu, mak. Mau ndak mau ya kerasan,” jawabku.
            Emak masih belum tahu apa pekerjaanku di kota. Bagaimana aku menghabiskan malam di dekapan lelaki-lelaki beristri. Yang emak tahu, aku bekerja kantoran di kota. Iya kantoran memang, kantor kelamin.
            Aku begitu menyayangi emak. Begitu sayangnya, hingga aku bersedia melakukan segala cara untuk dapat membuatnya bahagia. Sayangnya, cara yang aku pilih berbeda. Mencari jalan pintas untuk mendapat lembaran rupiah dengan lebih gampang. Dan hasilnya sekarang, kehidupan emak memang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bapak meninggalkan kami dengan hutang. Tanpa sawah, tanpa harta peninggalan apapun, emak bekerja keras menggarap sawah milik tetangga. Kini, emak telah memiliki sawah sendiri. Ia juga sudah bisa menyewa petani untuk menggarap sawahnya.
            “Yang penting jangan lupa sama Gusti Allah, nduk. Gimana-gimana juga Pangeran yang ngatur segalanya. Gusti Allah mboten sare.” Nasehat emak.
            Aku hanya diam. Ngatur opo, batinku. Aku kayak gini apa iya Gusti juga yang ngatur? Kalau aku meninggalkan pekerjaan nistaku ini, apa iya Gusti bisa memberi yang lebih baik? Sempat 1 tahun hidup lontang-lantung di kota, Gusti juga diam saja. Hingga akhirnya aku sendiri yang mengaturnya. Mengatur hidupku.
            Minggu kedua bulan Ramadhan, emak mendengar kabar dari tetangga yang menceritakan pekerjaanku di kota. Ia marah bukan main. Ia menangis dan memohon kepadaku untuk berhenti. Aku ikut marah. Ia tidak tahu bagaimana susahnya aku mengais uang untuk kehidupannya yang lebih baik.
            “Ya Allah, nduk. Kok isok kowe dadi koyok ngene? Taubat, nduk, taubat.” Emak menangis tersedu-sedu.
            “Emak ndak tahu gimana susahnya cari uang di kota. Ini semua buat emak juga! Untuk kehidupan emak!” belaku.
            “Emak ndak perlu hidup enak yen kowe nyari duit dengan cara sing ndak nggenah ngene,” tangisnya.
            “Wes to mak, aku ngerti opo sing tak lakokne. Wes, nek emak ora gelem nerimo duitku maneh yo rapopo!”
            Saat itu juga aku kembali ke kota. Ke tempatku mengais rejeki selama ini. Emak benar-benar keterlaluan. Aku hidup nista seperti ini juga demi kehidupanku dan kehidupannya. Tapi, ia malah memperlakukanku seperti ini. Ia anggap aku menjijikkan.
            Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu emak. Hari terakhir aku merasakan dekapan penuh sayang dari emak. Setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah kembali ke kampung. Sudah 5 tahun lamanya. Aku tetap saja menjalani pekerjaan maksiatku, tanpa mengindahkan nasehat emak. Walaupun begitu, aku masih tetap mengirim uang ke kampung. Berharap emak akan ikhlas menerima uang haramku.
Namun, itu hanya harapan. Ia tidak mau memakai uangku lagi. Uang yang aku kirim dikumpulkan oleh emak dan tersimpan rapi di dalam lemarinya. Selama ini ia bertahan hidup dari sawahnya. Hingga ia tidak mampu lagi membiayai petani yang menggarap sawahnya, dan akhirnya menjualnya. Emak bertahan hidup hanya dengan uang itu. Hingga akhir hayatnya.
Kini, emak telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Beberapa bulan setelah kembali ke kota saat itu, aku terserang HIV AIDS. Si germo yang dulu menyayangiku mengusirku seakan aku tak pernah menghasilkan uang untuknya. Seakan dulu aku tak pernah menjadi kembang kebanggaan di wismanya.
Aku tak punya keluarga lagi. Aku tak punya tempat bernaung lagi. Kerabat-kerabatku menjauhiku karena tahu pekerjaanku. Apalagi penyakitku. Nasehat emak yang dulu terngiang di telingaku. Emak benar. Gusti Allah mboten sare. Mengkhianati emakku, mengkhianati Tuhan-ku, aku menuai apa yang telah aku tanam. Beribu ampun, Gusti… Nyuwun pangapunten…

Senin, 14 Januari 2013

Menunggu Takdir

Aku sudah tidak bisa membedakan lagi mana kenyataan dan mana fana. Mereka membaur menjadi satu, berusaha memporak-porandakan hidupku. Aku kacau. Aku terjerat dalam tipu daya mereka. Yang fana berpura-pura menjadi realita. Realita memperkenalkan dirinya sebagai fana. Aku berada di tengah-tengah. Terombang-ambing akan ketidak pastian. Aku ingin sekali menyerah. Aku sudah tidak tahan lagi.

Hanya takdir yang bisa menyelamatkanku. Aku harap ia juga tidak ikut mempermainkanku. Aku buta akan nurani. Realita yang membutakannya. Apa daya, aku juga butuh hidup. Namun, hidup tidak membutuhkanku. Terseok-seok aku melangsungkan hidup, ia meludahkanku mentah-mentah. Sedikitpun ia tak mau menengokku.

Takdir. Bagaimanapun juga, aku tetap akan menunggumu. Walau hidup berusaha untuk membinasakanku, aku percaya, kau, takdir, akan memihak kepadaku. Benar kan? Benar kan, takdir?

Sabtu, 22 Desember 2012

Tuhan Maha Adil

Tuhanku yang Maha Adil, aku kelaparan. Dan mereka di luar sana makan dengan rakusnya hingga perut mereka sakit. Jangankan makan hingga sakit perut, sesuap nasi pun aku tidak punya.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kedinginan. Dan mereka di luar sana dengan mudah membeli jaket necis tebal yang mahal. Jangankan jaket necis tebal yang mahal, yang aku punya hanya selembar selimut tipis yang aku pakai berdua dengan adikku.
Tuhanku yang Maha Adil, aku kesakitan. Dan mereka di luar sana terlihat segar bugar dengan vitamin yang dikonsumsinya setiap hari. Jangankan mengkonsumsi vitamin, untuk makan saja aku sudah kesusahan.

Kau memang adil Tuhanku. Kau memang adil.

Okay

"Telepon aku kapan saja kau membutuhkanku,"
"Okay."
"Jika kau sedang merasa kacau, telepon aku,"
"Okay."
"Jika kau tengah sedih, telepon aku."
"Okay."
"......."
"......."
"Sayang? Kau mendengarkanku?"
"Okay."

Berfikir

Aku berhenti berfikir sebentar untuk melihat hujan melalui jendela kamar. Tidak. Aku tidak bisa berhenti berfikir. Bahkan untuk berfikir aku akan berhenti berfikir pun, aku masih tetap berfikir. Sial. Aku mulai gila.

Jumat, 21 September 2012

Kita


                Dia berjalan menjauhiku. Dengan tenangnya, membawa segala kenangan-kenangan manis kami bersama. Ia tampak tegar dibalik semua pahit yang menghampirinya. Ia tak tampak ringkih. Ia masih saja seorang laki-laki kuat yang aku kenal. Yang aku percaya, bahwa hanya dia yang dapat membuatku merasa sebahagia ini.
                Tidak ada yang menyukai perpisahan ini. Kau tidak menyukainya. Apalagi aku. Air mata yang aku tahan sedari tadi akhirnya runtuh juga. Tidak, tidak di hadapanmu aku menangis. Aku juga mau terlihat kuat sepertimu. Walaupun itu semua hanya semu.
                Aku akan tetap menunggumu disini. Merapikan kenangan-kenangan kita yang masih tersisa. Dan menyusunnya rapi menjadi tumpukan rindu. Disinilah. Di tempat pertama kita bertemu, kita akan bertemu lagi. Memulai segala dari awal lagi. Kita akan membuat takdir kita sendiri. Yang akan kita jalani nantinya. Bernama, masa depan. Masa depan kita.

Sabtu, 26 Mei 2012

Apa salahku?


Aku lapar. Aku lapar sekali. Sudah seharian aku tidak makan apa-apa. Kenapa wanita ini tidak memberiku makan. Kenapa dia tidak makan untukku? Aku hanya diberi asap. Asap rokok yang mengepul dan membuatku tidak nyaman. Tidak ada makanan, hanya asap. Aku hanya bisa berdiam diri. Berharap ia akan memakan sesuatu untuk membuatku kenyang. Tapi, yang dilakukannya seharian hanya berkutat dengan nikotin. Seakan-akan itu telah menjadi oksigennya.
Wanita ini berdiri dari duduknya. Ia muntah. Rasakan. Karena aku telah menendangnya sekuat tenaga. Salah sendiri ia membiarkanku. Salah sendiri ia tidak merawatku. Wajahnya yang ayu terlihat pucat setelah memuntahkan entah apapun itu. Tubuhnya terkulai lemas. Tanpa tenaga, ia kembali ke tempat duduknya semula.
Ia memegang kepalanya yang terasa pening. Tubuhku menjadi lemas juga. Ah, kenapa dia masih saja tidak memakan apa-apa. Ia kembali berkecimpung pada dunia asapnya. Tanpa memperdulikan aku yang kelaparan dan lemah ini.
Tok.. Tok..
Pintu kamarnya ada yang mengetuk. Ia segera beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Terlihat seorang laki-laki tambun dengan kumis tebal sudah berdiri disana. Ia segera memeluk laki-laki itu dengan mesra. Laki-laki itu membalas pelukannya.
Aku merasa mual. Ia membuatku mual dengan melihatnya bermesraan dengan laki-laki itu. Aku menendangnya sekali lagi dengan sangat keras. Ia memegangi perutnya, dan langsung beranjak ke kamar mandi, muntah lagi. Muntah kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Ia berkeringat dingin. Mukanya terlihat panik. Dengan gelisah, ia mengambil test pack dari kabinet di kamar mandi. Ia segera mengencinginya.
Laki-laki tambun itu juga terlihat gelisah. Pria itu memanggil-manggilnya dari luar kamar mandi. Mungkin ia terlalu takut untuk masuk. Terlalu takut untuk melihat kenyataan yang akan dihadapinya sebentar lagi.
Wanita ini keluar dari kamar mandi. Badannya terlihat lebih lunglai. Diberikannya test pack itu pada si lelaki tambun. Dua garis. Dua garis terlihat jelas pada test pack yang dipegangnya. Lelaki itu terdiam. Terlalu kaget. Terlalu mengagetkan. Ia melempar test pack itu padanya. Laki-laki tambun memakinya. Sumpah serapah diteriakkan. Wanita itu menangis. Ia menangis sesenggukan di hadapan laki-laki itu. Hal itu memompa amarah si lelaki tambun seketika. Ia menampar wanita itu dengan keras. Ia memaki lagi. Dan meninggalkan wanita itu begitu saja.
Wanita itu masih saja menangis. Ia terduduk lemah di lantai. Ia memukul-mukul perutnya. Tempatku berada. Aku kesakitan. Rasanya sakit sekali. Aku ikut menangis dengannya. Aku tidak minta untuk hidup dalam rahimnya. Ia yang membuatku berada disini. Ia yang memulainya. Tapi, ia tidak menginginkanku. Ia membenciku.
“Bangsaaaaaatttt!!” Ia memaki-maki.
Ia masih terus memukuli perutnya. Ia memukuliku. Aku tidak tahan. Sakit sekali rasanya. Aku merasa lemah. Mengapa ia menyalahkanku, apa salahku. Ia yang melakukannya. Bukan aku. Aku hanya menumpang untuk hidup di dunia ini melalu rahimnya. Mengapa ia begitu membenciku. Apa salahku?!
Pukulan-pukulannya membuatku kesakitan. Aku menyerah. Aku menyerah untuk bertahan melawan rasa sakit ini. Ibu… Maafkan aku…

Kamis, 26 April 2012

Rindu

Rindu menggeliat.
Ingin melepaskan diri dari jeratan logika.
Jangan, kataku.
Rindu masih saja menggeliat.
Mengetuk-ngetuk hati yang terbaring lemah.
Jangan, kataku lagi.
Rindu menggeliat lebih keras.
Ia menghanguskan memori-memori sendu.
Rindu berhasil membujuk kenangan untuk bekerja sama.
Aku tak berdaya.
Logika telah dikuasainya.
Aku kalah.

Aku mulai menekan-nekan tombol di ponselku yang sudah ku hafal di luar kepala.
Satu nada sambung.
Dua nada sambung.
“Halo,”
Nah, rindu. Kau pemenangnya.
“Emm, hai. Apa kabar?”

Selasa, 17 April 2012

Hai kau

Hai kau yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Apa kabar? Aku disini baik-baik saja. Tentu aku masih tetap dengan usahaku menghapus luka. Jangan marah, aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkan diri sendiri. Hiduplah yang membawa kita seperti ini. Hidup juga yang mengatur pertemuan dan perpisahan ini.
Aku masih mengingat jelas “Suatu hari nanti aku akan kerumahmu,” atau “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” dan untaian-untaian janji lainnya darimu. Manis memang, indah memang, tapi itu tidak menutup caci dan makian darimu. Aku lebih mengingat kata-kata khas Suroboyo yang sering kau lontarkan ketika amarah menguasaimu. Jangan salahkan aku yang masih mengingat memori itu. Kau sendiri yang menancapkannya di otakku. Oh, terlebih hatiku. Kata-kata yang selalu aku dengar dengan mata nanar dan hati bernanah. Bisakah kau membayangkannya? Bisa?
Aku hanya seorang perempuan. Aku lemah, kau tahu. Aku lemah dengan sumpah serapahmu yang membabi buta itu. Satu tahun. Kurang lebih satu tahun aku menahan itu semua. Kenangan indah? Aku tidak ingat. Terpaku dan tertutup rapat pada peti kehancuran. Aku terperosok. Seolah kau disana, tapi kau tak dapat menolongku.
Sebut aku egois, sebut aku orang yang tidak mempunyai hati. Baiklah. Aku terima. Toh, aku sudah terlatih untuk mendengar kata-kata itu.
Hai kau yang pernah menjadi bagian hidupku. Sampai saat aku menulis ini, ketakutan masih saja menyergapku. Takut jika kau akan marah pada setiap detail huruf yang ada disini. Satu yang harus kau tahu. Aku menulis fakta. Dan aku tahu benar bahwa kau tahu itu.
Selamat malam, kau. Dan terima kasih.

Senin, 02 April 2012

Tolong aku!

Aku berjalan lurus kedepan. Hanya langkah kakiku yang terdengar menggema di sepanjang lorong ini. Ku tatap cahaya terang di ujung sana. Aku mulai berlari. Aku berlari dan terus berlari. Tapi, cahaya itu enggan menungguku. Ia perlahan memudar. Tidak. Jangan! Jangan pergi. Tolong, aku mohon. Aku berlari semakin kencang. Aku menggapai-gapai cahaya di depanku. Ia tak mau menungguku. Dan hilang. Tepat disaat aku mulai menapak kilaunya, ia menghilang. Aku terkapar lemas. Tubuhku lelah sekali. Aku terengah-engah.

“Selamat datang kembali,” Ujar kegelapan sambil menyeringai. Seringai seram yang selama ini menghantui hari-hariku.

Tubuhku terseret gelap. Aku kembali terperosok dalam kelam. Aku meraih-raih pegangan. Mencari sisa-sisa cahaya yang tertinggal. Tapi, tak ada sedikitpun yang tersisa untukku. Aku tidak mau bertemu pekat. Aku tidak mau!

“Heh pecun ngelamun aje! Tuh, ada tamu. Layanin yang bener. Kalo nggak, abis lu ama gue.” Teriakan germo babi membuyarkan lamunanku.

Ah sial. Ku letakkan sejenak imaji ku. Ku matikan rokok, dan melangkah kembali pada realita.

Selasa, 14 Februari 2012

Selamat hari kasih sayang, wanitaku...

Sayang, selamat sore. Aku baru saja pulang bekerja. Rasanya lelah sekali badan ini. Tapi begitu bersamamu, lelah ini menghilang entah kemana. Hehe. Aku rindu, sayang. Aku rindu sekali. Ingin aku memelukmu dengan erat, mengecup keningmu, atau hanya sekedar duduk berdua menikmati kopi panas dengan cream kesukaanmu. Ah sayangku, aku benar-benar rindu.
Sayang, orang selalu bilang, bahwa kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kita. Mereka tidak tahu mimpi-mimpi kita. Jadi, biarkan saja. Jangan hiraukan mereka ya, sayang. Kita tidak selemah yang mereka pikir. Kau, wanita yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, kau jangan pernah bersedih ya.
Oh iya sayang, kau ingat, waktu pertama kita berkenalan? Waktu itu kau menunggu bus untuk pulang sekolah. Aku menawarkan tumpangan untukmu, tapi kau menolak. Memang saat itu, kita tidak terlalu dekat. Kita beda kelas. Tapi, aku selalu mengagumimu. Keberanianku untuk menawarkan tumpangan untukmu luluh lantak dengan satu kalimatmu, “tidak, terima kasih.” Dan kau tersenyum. Oh, bidadari memang nyata adanya!
Keesokan harinya, aku menawarkan tumpangan lagi untukmu. Dan kau menolak lagi. Kau memang keras kepala ya, sayang. Di hari ketiga, aku berjalan ke halte. Menemanimu menunggu hingga naik bus. Di dalam bus, kita duduk sebangku. Dan akhirnya kita berkenalan. Aku sadar, aku terlihat bodoh saat itu. Aku tegang sekali hingga tak bisa mencari bahan obrolan. Ah aku belum memberitahumu ya. Sebenarnya saat itu aku membawa sepeda motorku. Hanya saja aku ingin bersamamu. Jadilah, setelah kau turun dari bus, aku mencari bus untuk kembali ke sekolah, untuk mengambil sepeda motorku. Hehe, bodoh sekali ya, sayang.
Terlalu asyik aku bercerita, tak sadar langit telah gelap. Ah, sayang. Aku harus pulang. Besok sepulang kerja, aku akan kesini lagi. Menemanimu lagi. Jadi, jangan sedih ya, sayangku. Aku pulang dulu, sayang.
Kuletakkan sebuket mawar merah dan sekotak cokelat kesukaannya. Aku berjalan pelan menjauhi pusaranya. Terisak, aku menangis lagi.
Selamat hari kasih sayang, wanitaku…