Senin, 23 Maret 2020

Jalan Buntu

"Tetap di rumah ya teman-teman, kita perlu banget terapkan social distancing sekarang."

"Aduh, kok ya masih ada aja yang keluyuran udah siaga satu gini statusnya."

"Heran sama yang masih keluar-keluar, ngga mikir apa akibatnya hah?!"

"Pada kebal virus kali tuh berani-beraninya keluar rumah."

"Kalian bikin pandemi virus ini ga kelar-kelar kalo masih ngga #dirumahaja. Sadar dong! Goblok."

Kota Pahlawan tak sepadat biasanya, padahal sang surya baru saja bertugas. Hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang. Tapi, isi kepala Trias begitu ramai. Riuh akan komentar-komentar bernada sinis untuk orang-orang yang masih berkeliaran di jalanan.

"Berisik," kata Trias lirih pada ocehan-ocehan orang dalam kepalanya.

Beberapa orang yang mengendarai motor ataupun angkutan umum tampak mengenakan jaket dan masker. Ada juga yang memakai sarung tangan. Semua mereka lakukan agar tetap hidup. Begitu susah payah mereka berusaha.

Trias mengamati orang-orang tersebut. Lalu ia melihat pantulan dirinya di mobil Xenia hitam yang parkir di pinggir jalan. Tak ada jaket, masker, ataupun sarung tangan. Kaos hitam yang dipakainya tak lagi bisa disebut hitam, mungkin lebih tepatnya abu-abu kelam. Ada sobekan di sana sini. Dan juga lobang gigitan rayap. Celana jeans selututnya kumal, entah telah berapa ratus kali ia pakai.

Trias menarik nafas panjang, kemudian kembali berjalan. Ia semakin mantap membawa baskom penuh gorengan yang ia bawa di kepalanya. Langkah Trias terhenti di sebuah warung kopi yang tampak tak terawat. Tak ada papan nama warung. Banner obat sakit kepala yang dijadikan taplak meja juga sudah memudar. Trias menaruh baskomnya di salah satu meja.

"Lengkap ta, Nduk?" tanya Yati, pemilik warung yang baru keluar dari toko kelontong kecil di sebelah warung kopi itu.

"Cuma jemblem aja yang nggak ada, Bulek. Lainnya lengkap," jawab Trias. Ia duduk di bangku kayu panjang yang warna bagian tengahnya semakin memudar. Mungkin kebanyakan bergesekan dengan bokong.

"Yowes, nggak papa," balas Yati sambil menggelung rambut panjangnya yang tipis dan lepek. Ia menuang teh dari teko yang sudah ia siapkan subuh tadi ke gelas. Teh itu ia taruh di meja depan Trias.

Trias mengambil gelas teh sambil meniupnya. Asap tipis mengepul. Terlalu panas. Ia pun mengambil remote dan menyalakan televisi. Trias menggeser duduknya agar bisa menonton televisi lebih nyaman. Meskipun susah mengingat ia duduk di bangku kayu yang tak memiliki senderan punggung.

Berita tentang virus corona muncul di beragam saluran televisi. Jumlah korban semakin naik. Kelangkaan masker. Imbauan untuk bekerja di rumah. Anak-anak sekolah dan kuliah diliburkan. Rupiah melemah. Jalan raya semakin sepi.

Trias menghela nafas lagi. Ia minum tehnya lambat-lambat. Trias berpikir. Apakah benar ia tak takut virus karena masih keliaran di luar rumah? Tentu saja ia takut. Dengan berita yang bergaung agung tanpa jeda begitu, siapa yang tak takut?

Trias lalu menatap sebaskom gorengan yang ia bawa tadi. Lama. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia tak tahu yang mana yang lebih ia takutkan, terkena virus lalu mati, atau tak kena virus lalu tetap hidup.

Satu persatu pria memasuki warung kopi Yati. Kini ada empat pria yang duduk di bangku kayu setelah memesan kopi pada Yati. Semuanya kopi. Tak ada teh seperti milik Trias. Trias beranjak dan ganti duduk di sofa lusuh di bagian pojok kanan warung. Ia tak masalah meski sofa itu apek karena tak pernah dijemur setelah kehujanan. Dan juga bercampur bau pesing dari air kencing kucing liar.

Dua pria datang lagi, masih sama, masih memesan kopi hitam. Warung kopi Yati pun mendadak ramai dengan ocehan para pria tersebut. Trias mengamati pemandangan warung tersebut. Tak ada yang memakai masker atau sarung tangan. Tapi, apakah diam-diam sebenarnya mereka juga takut? Trias tidak tahu.

Di acara berita, diinfokan harga masker melonjak drastis. Trias tak tahu harga masker sebelumnya berapa, ia toh tak pernah membelinya. Yang ia tahu dari berita, kini ada yang menjual masker seharga Rp 300 ribu satu boxnya. Satu box berisi 50 masker. Artinya satu masker harganya Rp 6 ribu. Jika Trias ingin membeli satu masker, maka harus ada sembilan gorengannya yang laku. Itupun tanpa laba.

Trias dilanda keresahan. Ia merasa hidupnya yang telah susah malah bertambah susah. Trias kembali menatap para pembeli di warung Yati. Apa mereka sebenarnya juga sedih? Apa Bulek Yati sedih juga? Apakah mereka semakin sedih karena sekarang lebih susah untuk bertahan hidup?

Trias bertanya-tanya. Mengapa begitu susah untuk sekedar hidup? Trias tak mungkin bisa mengikuti anjuran untuk terus berada di rumah. Sama saja bunuh diri, pikirnya. Ia bisa saja terhindar dari virus, tapi yang tak terhindarkan adalah kelaparan. Ya bagaimana Trias menghasilkan uang untuk bertahan hidup jika harus mendekam di rumah?

Ada perut yang harus diisi. Ada listrik dan air yang harus dibayar. Juga kontrakan rumah. Semua perlu uang. Yang gratis hanya udara. Dan sekarang itu pun perlu uang? Dengan membeli masker? Ya Tuhan. Ya Tuhan Ya Tuhan Ya Tuhan.

Sebuah jalan buntu. Keluar rumah bisa mati, tetap berada di rumah apalagi. Apakah kami tidak pantas hidup hanya karena kami miskin?

Trias bergidik saat pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia bangkit dan berlari. Tentunya setelah berterima kasih pada Yati untuk tehnya. Semakin lama semakin kencang Trias berlari. Menuju rumah.

Ia sampai di rumah kecil beratap asbes dan berdinding lapisan triplek. Pintu rumah terbuka. Sayup-sayup terdengar suara televisi tua yang sudah lama kehilangan remote. Di depan televisi, di kasur lapuk berdipan kayu, terlihat seorang perempuan renta terbaring. Matanya terpejam. Ia ibu Trias.

Trias mengatur nafas kemudian masuk. Ia berdiri di samping ibunya. Tak lama, ia lalu duduk. Dipandangi ibunya yang sedang tidur. Lelap meski bantal kapuknya mulai menipis.

Tak sadar air mata muncul di pelupuk mata Trias. Mereka pun meluncur menuruni pipi cekung perempuan berambut sebahu itu. Trias kembali mengatur nafas. Kali ini bukan karena ngos-ngosan setelah berlari, tapi agar tak terisak hingga bisa membangunkan ibunya.

Trias berdiri dan berjalan ke samping rumah. Dapurnya, bisa dibilang begitu, meski tak tampak seperti dapur karena jadi satu dengan area mencuci baju dan kandang ayam milik Pak Rohmat, tetangga sekaligus pemilik rumah kontrakan Trias.

Trias menuang air panas ke baskom kecil dari termos. Air itu sudah disiapkan dulu oleh Trias sebelum ia berangkat ke warung Yati. Kemudian ia meraih gentong dan menuang sedikit air ke baskom kecil itu.

Trias kembali ke samping ibunya setelah menyambar handuk kecil putih yang tak lagi putih itu. Ia memasukkan handuk kecil ke dalam baskom dan memerasnya.

"Ibuk, mandi dulu ya," kata Trias sambil membasuh kaki sang ibu dengan handuk.

Mata ibunda Trias terbuka, ia beberapa kali mengerjap. Sambil melihat Trias, sang ibu tersenyum lemah. Kegiatan rutin Trias memandikannya sudah berlangsung selama 5 tahun sejak ia tiba-tiba lumpuh. Sejak saat itu lah ia hanya bisa berbaring di kasur dan menonton televisi di saluran yang sama karena remotenya tak ada.

Sang ibu mengelus kepala Trias, seakan mengucurkan setiap gram kasih sayangnya melalui usapan tangannya. Ia tak akan menduga 30 menit sebelumnya Trias bersimpuh di sampingnya dan menangis sambil menahan isakan.

Trias balas tersenyum. Tapi, ternyata ia tak benar-benar membalas senyuman ibunya. Sebab, dalam kepalanya berkecamuk.

Jalan buntu, Buk, kata Trias dalam hati, masih sambil membasuh kaki sang ibu. Senyum kosong tak lepas dari bibirnya. Tak ada jalan keluar, sekeras apapun kita berusaha. Kita kalah telak. Kita harus bagaimana, Buk?

Tak ada yang tahu jawaban dari pertanyaan Trias. Atau, mungkin kau tahu? Tolong beritahu Trias. Sebelum hidup benar-benar membunuhnya. Dengan atau tanpa adanya virus. 

Rabu, 26 Februari 2020

Catatan Orang Baik #3: Buru-buru

Sudah lama saya tidak melanjutkan series Catatan Orang Baik ini. Tapi, saya sadar series ini penting untuk saya, sebagai pengingat kebaikan-kebaikan orang pada saya meski tak saling kenal.

Rabu (26/2/2020), saya mampir ke kedai kopi Omahe Mbah Giyo di daerah Gubeng setelah antar Regal Dessert Box. Saat itu saya berencana untuk menitipkan sebentar pudding pesanan kustomer lainnya di kulkas pemilik kedai, agar tak leleh dan tetap dingin. Namun, rasa sungkan membuat saya tak jadi menitipkannya.

Sekitar satu jam berlalu, akhirnya saya memberanikan diri untuk bicara ke pemilik kedai. Dan responnya di luar dugaan saya.

"Om boleh titip puding sebentar ngga di kulkas? Takut leleh," kata saya.

"Lho kenapa ngga dari tadi? Sini mbak," jawab pemilik kedai.

Ia juga memberikan 3 tas plastik untuk wadah pudding saya. Saat itu saya tanya toko plastik terdekat, tapi ia malah memberikannya secara cuma-cuma. Ia adalah orang baik pertama yang saya temui hari ini.

Orang baik kedua saya temui di Indomaret dekat kampus Ubaya. Kala itu saya buru-buru ke percetakan, tapi mampir ambil uang dulu di ATM Indomaret. Seorang ibu yang lebih dulu sampai di ATM tiba-tiba bertanya pada saya.

"Mbaknya mau ngapain? Kalau sebentar duluan aja mbak," katanya.

"Saya mau ambil uang bu, terima kasih banyak ya bu," kata saya.

"Sama-sama mbak, soalnya saya mau transfer, takutnya kelamaan," jawabnya.

Baik betul, pikir saya. Meskipun terlihat remeh, tapi kebaikan sang ibu sangat berarti bagi saya yang dikejar waktu saat itu.

Sesampainya saya di percetakan, saya berjumpa dengan orang baik ketiga. Seorang pria, muda, mungkin sekitar usia 20-an, membantu saya yang kebingungan.

Percetakan tidak menerima file pdf yang saya bawa, mereka hanya terima jpg. Ia mempersilahkan saya untuk mengganti file pdf ke jpg di ponsel saya tanpa harus antre lagi. Sayangnya, tidak berhasil.

Pria itu, yang antre sebelum saya, membantu saya untuk mencari aplikasi dan situs convertor. Meskipun akhirnya tidak bisa karena file terlalu besar. Tapi, saya tetap berterima kasih atas bantuannya.

Ia juga yang menyarankan untuk tetap pakai percetakan tersebut karena harganya lebih murah dibandingkan percetakan lain. Pria berjaket hitam itu juga memberi saya contoh perbandingan harga. Jadi katanya, jika tidak sedang dikejar waktu, lebih baik cetak di situ saja dan mengganti file pdf ke jpg.

Saya bersyukur atas kebaikan mereka, semoga mendapat balasan lebih dari Yang Maha Kuasa.
x

Selasa, 31 Desember 2019

Esensi Hidup

Hidup manusia dipenuhi ambisi.
Segala hal dilakukan berbekal intuisi.
Merah merupakan darah.
Putih berarti fitrah.
Kau bilang, merah bisa saja curah.
Dan putih adalah gairah.

Suatu saat akan datang distraksi.
Hingga hidupmu mengalami transisi.
Ada pesan, jangan terbawa amarah.
Lebih baik terus menengadah.
Dia bilang, semua akan kembali menjadi tanah.
Katamu, itu hanya untuk orang-orang pasrah.

Aku hanya bisa berharap Tuhan tak emosi.
Melihat manusia bereinkarnasi.
Yang diciptakan susah payah.
Namun, berubah menjadi sampah.
Jika tiba waktunya Dia jengah.
Sayang, mau tak mau kau akan kalah.
x

Kamis, 31 Oktober 2019

Semua Akan Baik-baik Saja

Ada yang patah ketika kami bertemu kembali.
Seperti saat aku memeluk raganya untuk terakhir kali.
Sebuah rasa sakit yang sama.
Sebuah luka biru yang sama.
Tapi tak apa, hiburku.
Ini belum seberapa.

Aku berusaha untuk mengasingkan perasaan ini.
Mencoba membebaskan diri dari jeratan memori.
Sekali, tidak berhasil.
Dua kali, tidak juga berhasil.
Tak apa, pikirku.
Semua akan baik-baik saja.

Aku sedang menuai apa yang aku tanam.
Menyakiti untuk disakiti lebih dalam.
Aku tak bisa beranjak.
Malah semakin merasa terinjak.
Tapi tak apa, ucapku.
Ini belum seberapa.

Jika memang ini sebuah hukuman.
Biarkanku mengobatinya dengan sebuah pelukan.
Satu kali lagi.
Tanpa ada air mata yang menggenangi.
Ya, tak apa, isakku.
Semua akan baik-baik saja. 
x

Selasa, 03 September 2019

Pamit

"Tuanku, aku lelah.
Menjadi budakmu bukanlah pekerjaan yang mudah. 
Tak akan ada yang mengira kau selicin lintah.

Tuanku, aku sedih.
Sadarkah kau setiap hari kulalui dengan tertatih.
Semua hinaan kau tujukan padaku tanpa belas kasih.

Tuanku, aku sudah muak.
Melayani ketamakanmu membuatku ingin teriak.
Sadarlah, kau tak lebih suci dari para peminum arak.

Tuanku, aku akan pamit.
Tak sanggup lagi ku menjalani hari-hari pahit. 
Tak akan lagi ku bekerja untuk si bandit.

Dan Tuanku, sekarang aku pergi.
Semoga kau berhenti menjadi manusia keji."

Sang Tuan terpaku membaca surat itu di singgasana emasnya. Dalam kenaifannya, ia tak pernah merasa dirinya seburuk itu di mata para pekerjanya. Sang Tuan percaya dirinya dikenal sebagai pribadi yang ramah dan rendah hati oleh orang sekitar. Namun, ternyata tak demikian halnya di mata orang yang selalu membantu memenuhi ambisinya.

Sang Tuan telah gagal. Ia gagal memenuhi ambisinya sebagai manusia yang dipandang sempurna oleh semua orang. Ia benci kegagalan. Ia juga benci pada orang yang menyadarkannya akan kegagalan ini.

Sang Tuan gemetar. Ia bangkit dari duduknya diterpa gelombang amarah. Sang Tuan mengambil pistol yang telah lama tersimpan di brangkasnya. Ia tak pernah membayangkan hari ini akan tiba, hari dimana ia akan menghabisi sebuah nyawa.

Marah. Ia dipenuhi dengan kemarahan. Ia menarik pelatuk pistolnya dan menatap dalam-dalam di cermin. Sang Tuan pun memutuskan nyawa mana yang akan ia habisi. 

Minggu, 04 Agustus 2019

Rubah Temanku

Aku sudah terlalu tua untuk tersesat.
Berhenti terlalu lama untuk berjalan kembali.
Aku diam.
Terlalu diam.
Hanya ada seekor rubah di sampingku.
Rubah temanku, penenang sekaligus pelipur laraku.
Ia lah yang selalu menemaniku.

Hutan yang kumasuki bertahun lalu tampak semakin lebat.
Aku tahu, karena aku diam.
Berada di tempat yang sama entah berapa lama sudah.
Lebatnya hutan membuat bisingnya kota ikut diam.
Kota tempatku dulu tinggal dengan segala keangkuhanku.

Sepertinya rubah temanku bukan penunjuk arah yang baik.
Ia ingin aku untuk diam, menemaninya.
Maka aku diam.
Kami bergerak seperlunya saja.
Aku merasa tenang.
Sangat tenang.

Kini aku semakin tua.
Aku tidak ingin diam lagi.
Namun, aku juga takut tersesat.
Karena aku telah terlalu lama diam.
Aku tidak tahu jalan pulang.
Aku tidak tahu jalan sama sekali.

Rubah temanku tampaknya merasakan kegelisahanku. Ia mengeluskan kepalanya ke kakiku.
Tepat seperti kucing, ia bertindak layaknya kucing.
Ia kembali menenangkanku.
Maka aku diam lagi.

Aku jadi ingat saat masih tinggal di kota.
Menjadi manusia tamak yang penuh ambisi.
Manusia bahagia yang penuh kesedihan.
Suka tertawa namun dipenuhi amarah.

Hingga aku bertemu si rubah.
Saat itu ia belum menjadi temanku.
Ia beberapa kali muncul di depanku.
Selalu mengamati gerak gerikku.
Hingga akhirnya ia masuk ke dalam hutan ini.
Dan aku pun mengikutinya.

Lalu, segala kericuhan dan kerancuan kota hilang.
Aku menjadi tenang.
Untuk pertama kalinya aku diam.
Dan aku merasa senang.
Rubah pun ikut senang.

Sekarang aku tak lagi merasa senang.
Aku tak merasakan apa-apa.
Aku hanya diam.
Bersama rubah temanku.
Aku diam.
Terus diam.
Rubah senang. 
x

Rabu, 16 Mei 2018

Kepada Kalian Para Pemburu 'Surga'

Bagaimana kabar kalian?
Apa sudah berapa di "surga" yang kalian idamkan?
Apa masih berkumpul dengan anak-anak kalian?
Anak-anak yang seharusnya kalian dekap penuh sayang, bukan dihasut untuk bunuh diri dan membunuh.
Anak-anak yang seharusnya merasa aman saat bersama kalian, bukan diracuni dengan omong kosong "surga" versi kalian.
Aku tak bisa dan tak akan pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya melahirkan dan merawat anak untuk akhirnya diajak melakukan hal yang bahkan kata "keji" saja tak cukup menggambarkan.
Kalian jauh lebih dari sekedar kata "keji". Atau "biadab". Atau apapun sumpah serapah yang kalian ketahui.
Kepada kalian para pemburu "surga", semoga kalian abadi di neraka.

Sidoarjo, 16 Mei 2018.

Jumat, 15 September 2017

Malam Temaram

Aku dapat melihat bulan sabit dari jendela kamarnya.
Bulan favoritku.
Aku dapat mendengar dengkur tidurnya di sampingku.
Suara favoritku.
Aku dapat memandang wajah tirusnya dari cahaya temaram.
Wajah favoritku.

Jam ini, menit ini, detik ini, adalah akhir dari sebuah perjalanan singkat.
Dalam hidup yang hanya sementara, aku tak menyangka dia telah membuatku terpikat.
Ah, di malam yang sungguh pekat.
Sayangnya waktu kita telah tenggat.

Selamat tinggal.
Terima kasih telah bersedia singgah.

Jumat, 16 Juni 2017

Secuil Cerita Tentang Lingga, Yang Dulu Pernah Menjadi Linggaku

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"
Kalimat itu menjadi titik awal dari akhir yang baru. Kami memang pernah berakhir karena ketakutanku akan perasaanku sendiri.

Mari kuceritakan sejenak tentang Lingga. Manusia setinggi 173cm pemilik mata teduh, yang membuatku betah untuk berlama-lama menatapnya.

Aku bertemu Lingga pertama kali di sebuah rumah sakit. Saat itu aku menemani ibuku dan Lingga hanya seorang diri entah sedang apa. Pertama kali aku melihat Lingga, aku tak tahu bahwa nantinya kami akan dipertemukan lagi.

Tapi satu yang aku tahu pasti, Lingga membuatku tertarik untuk mengamatinya. Aku dan ibuku duduk di sebuah bangku, sedangkan Lingga ada hanya beberapa langkah di depanku.

Dari belakang aku melihatnya. Lama. Lalu perhatianku teralih pada suster yang memanggil nama ibuku. Kami pun masuk dan tak pernah bertemu lagi dengan Lingga, itu yang aku pikirkan saat itu.

Di jalan pulang, aku bercerita pada ibuku tentang Lingga, sosok yang hanya dalam waktu beberapa detik bisa membuatku jatuh cinta. Kalian mungkin tak percaya cinta pada pandangan pertama itu ada. Akupun awalnya begitu, tapi hey, aku baru saja merasakannya.

"Ibu lihat cowok tinggi yang tadi ada di depan kita?" tanyaku pada ibu yang aku bonceng di atas motor bututku.
"Yang mana?" balas ibu.
"Yang menarik, yang tadi duduk beberapa bangku di depan kita," jawabku masih tetap memfokuskan diri pada jalanan.
"Oh yang sendirian itu? Kenapa emang?" tanya ibu.
"Aku suka dia," ungkapku.
Ibu diam saja. Ia mungkin berpikir saat itu aku sedang meracau.

Perbincangan itu terjadi secara tiba-tiba dan berlalu begitu saja. Selang beberapa bulan, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Lingga. Ia ternyata karyawan di tempat kerja baruku. Demi Tuhan, aku kaget bukan main.

Ketika itu karyawan-karyawan baru sepertiku berbincang mengenai ini itu. Kuliah, pekerjaan lama, momen interview, semua saling berbagi pengalaman. Begitu pula denganku. Tapi mereka tak tahu, bahwa mataku tak pernah lepas dari Lingga. Lingga sekali lagi berada hanya beberapa jangkau dariku. Aku ingin menyapanya, ingin mengatakan bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi, seperti biasa aku terlalu takut dan mengurungkan niatku.

Siapa sangka ternyata ketakutan itu membuatku berada pada titik ini. Titik terendah untuk orang yang sedang jatuh cinta. Aku sadar betul, bahwa seharusnya aku tak melulu merasa seperti ini. Tapi, logika dan hatiku memutuskan untuk berseteru. Terus begitu sepanjang hari.

Sekarang akan aku ceritakan hubunganku dengan Lingga. Hubunganku dan Lingga memang rumit. Kami pernah lebih dari sekedar teman, tapi tak bisa disebut kekasih. Aku pernah merasa begitu terbuai olehnya, tapi aku juga pernah merasa begitu jatuh.

Aku sadar aku menyukainya, dan aku juga sadar Lingga tak menyukaiku. Lingga tipe manusia yang lebih suka pada perempuan idaman semua pria. Sedangkan aku? Tak perlu aku jawab karena kalian pasti bisa menebaknya sendiri.

Suatu hari aku dibuat begitu linglung oleh perasaanku sendiri. Karena ketakutanku, aku memutuskan untuk menjauhi Lingga. Hubungan kami yang tampaknya baik-baik saja akhirnya merenggang karena keputusanku sendiri. Saat itu aku merasa aku tak ingin lagi terbayang-bayang oleh orang yang sudah pasti tak akan menjadi masa depanku.

Lingga bingung atas keputusanku yang tiba-tiba. Ia heran mengapa aku memutuskan untuk membuat hubungan kami jadi buruk. Tapi, ia menerimanya. Mungkin karena ia juga sadar aku tak bisa menjadi bagian dalam masa depannya.

Sejak saat itu tak ada lagi sosok Lingga dalam hidupku. Aku sibuk (atau menyibukkan diri) dengan duniaku, dan dia kembali ke dunianya.

Seminggu berlalu, aku jatuh sakit. Bukan dalam arti sebenarnya, tapi aku benar-benar sakit. Rasa sakit yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kau melihat postingannya di media sosial. Rasa sakit yang muncul saat ponselmu berbunyi dan berharap itu darinya. Rasa sakit yang tak pernah ingin kau harapkan dan akhirnya membuatmu terkapar.

Lalu, aku memutuskan untuk mencari obat akan rasa sakitku. Lingga. Dia satu-satunya obat yang bisa menyembuhkanku. Aku mempertaruhkan segala harga diri yang tersisa untuk menghubunginya.

"Aku rindu. Bisa kita bertemu?"

Kau mungkin akan berpikir, perempuan macam apa yang mengajak laki-laki yang telah ia jauhi secara sepihak untuk bertemu kembali. Tapi, persetan. Saat itu aku merasa menjauhinya adalah hal yang baik untukku. Namun, malah kebalikannya. Rinduku mengalahkan segalanya.

Itu tadi pernyataan dan pertanyaan yang aku kirim untuknya. Negatif. Obatku tampaknya sudah kadaluarsa. Ia tak bergeming sedikitpun.

Keesokan harinya aku masih melalui hariku tanpa Lingga. Namun, tiba-tiba Lingga muncul dan membuatku sehat seperti sedia kala, meski masih ada beberapa bagian tubuh yang tak lagi sama, harga diri misalnya.

Kami setuju untuk bertemu. Kau tak mengerti betapa senangnya aku saat itu. Lingga pamit sejenak, ada hal yang harus dibereskan, katanya. Aku mengiyakan. Dan aku menunggu. Menunggu. Menunggu. Dan terus menunggu.

Menunggu untuk bisa bersama lagi dengan Lingga. Menunggu untuk melampiaskan segala rindu yang tertimbun. Menunggu untuk bisa berbincang entah tentang apa.

Tapi, ternyata Lingga hilang. Lingga yang dulu selalu bergerilya di pikiranku. Lingga yang pernah membuatku sebal dan bahagia dalam waktu bersamaan. Lingga yang selalu bisa membuatku tersenyum saat kami bersama. Lingga itu tak ada lagi.

Linggaku pergi. Membiarkanku mati membusuk akan ego dan ketakutanku sendiri. Ia pergi. Bersama dengan secuil harapan, Linggaku memutuskan untuk tak kembali.

Sabtu, 20 Mei 2017

To The Man I Loved

How have you been?
I know you never ask, but I'm doing okay here.
Well, barely.
Tonight is one of those nights when suddenly I remember you.
Remember how close we were.
Remember the way you said my name.
Remember those beautiful eyes of yours.
Pathetic, I know.
I'll get over you fully as soon as possible.
I promise.
But, not today.
Maybe not tomorrow either.
Hey, do you ever wonder how it would be if we date?
We'd be the weirdest couple ever.
Cause I'm weird.
And you're weird too for liking a girl like me.
Sometimes I really wanna go back in time.
When everything was okay for us.
But, okay is not enough.
I kept getting greedy over you.
I kept wanting you for myself.
Only for me.
And that what killed me at the end.

To the man I loved.
Thank you for the memories.
The good one, the bad one.
Everything.
Now, I need to go and live my current life.
I'm sure I'll be okay.
I wish I am.

Senin, 01 Mei 2017

Dua Puluh Empat

Dua puluh empat. Usia yang tak lagi muda, namun juga tak benar-benar tua.

Dua puluh empat. Hampir seperempat abad, tapi masih sering mengumpat.

Dua puluh empat. Ketika wajah-wajah lama semakin lenyap, wajah -wajah baru datang untuk mengendap.

Dua puluh empat. Hanya bisa menatap, kemana hidup akan membawanya menetap.

Dua puluh empat. Masih percaya romansa klise, membuatnya larut dalam berbagai fase.

Dua puluh empat. Waktunya keluar dari zona nyaman, meski harus berada di tempat tak aman.

Dua puluh empat. Saat raga semakin lemah, oleh kerasnya kehidupan tanpa arah.

Dua puluh empat. Tiga puluh persen matang, tujuh puluh persen masih senang-senang.

Dua puluh empat. Usia yang tepat untuk menata hidup, tanpa tahu apa yang harus diraup.

Dua puluh empat. Berharap kelak akan datang orang yang tepat.

Jumat, 07 April 2017

Catatan Orang Baik #2: Bocor

Jumat (7/4/2017) sekitar jam 1 dini hari saya pulang melewati jalanan Sukodono, Sidoarjo. Ketika di jalan sebenarnya saya telah merasakan motor saya oleng. Tapi, waktu itu saya berpikir mungkin ban motor saya hanya kurang angin. Saya pun terus melaju ke arah rumah.

Tiba-tiba di depan Puspa Agro, ban motor saya pecah. Alhasil, motor pun langsung oleng nggak karuan, untungnya saat itu tak ada satu pun kendaraan yang melintas.

Setelah meminggirkan motor, saya menelepon ibu saya untuk mengabarkan keadaan. Ibu lalu berkata akan mengirim adik saya.

Saya menunggu adik saya bersama penjual nasi goreng serta 3 pria yang baru selesai makan. Mereka adalah orang baik pertama yang saya temui malam itu.

Mereka menemani saya menunggu adik setelah menunjukkan tukang tambal terdekat yang buka 24 jam.

"Mending ganti ban tubles, mbak. Kalau kena paku nggak perlu langsung tambal, nanti tambalnya kalau udah gajian," saran si penjual nasi goreng. Saya manggut-manggut aja karena memang tak begitu paham tentang masalah per-ban-an.

Tak lama, adik saya datang. Setelah pamit ke penjual nasi goreng serta 3 pria tadi, saya mulai menaiki motor saya pelan-pelan ke tukang tambal ban terdekat, yaitu di pertigaan Kletek.

Awalnya saya dorong motor saya, lalu adik saya menyarankan untuk dinaiki saja, toh nanti juga pasti ganti ban dalam karena bannya sudah pecah. Dia adalah orang baik kedua.

Adik saya sama sekali tak mengeluh ketika menemani saya. Bahkan ia dengan santai bercerita banyak tentang hal-hal kecil di warung kopi sebelah tukang tambal.

Setelah sampai di rumah, saya lihat ibu dan ayah saya sudah masuk di kamar mereka. Namun, kemudian ibu keluar. Ia bertanya tentang insiden tak terduga malam itu. Saya jawab nggak papa karena adik juga nggak ngeluh.

Ibu saya tak marah, hanya khawatir. Percakapan kami pun berujung pada kotak makan yang lupa saya bawa kerja pagi tadi. Padahal lauknya daging empal kesukaan saya, saya baru tahu ketika jam istirahat tiba.

Ibu saya tertawa ketika tahu saya lupa. Ternyata ia masih menyimpan daging empalnya untuk saya karena tahu itu lauk kesukaan saya. Dagingnya tinggal 3, lainnya dimakan ibu saya yang ternyata juga doyan. 3 daging itu lalu dibagi saya, ibu, dan adik saya. Ya, ibu adalah orang baik ketiga bagi saya malam itu.

Ayah saya juga masuk di daftar orang baik keempat. Ayah awalnya ingin ikut adik untuk menemani saya. Tapi, adik saya nggak mau karena dia tahu jika ayah saya ikut, maka dia yang akan disuruh dorong motor saya sedangkan saya dan ayah naik motornya.

Oh iya, tukang tambalnya juga baik karena memasang tarif normal untuk ban dalam saya, padahal awalnya saya takut harganya akan dinaikin karena tahu saya benar-benar butuh. Penjaga warung di sebelah tukang tambal juga sama baiknya, ia telah mengizinkan saya mengisi baterai ponsel walaupun hanya sebentar.

Catatan kali ini entah kenapa begitu panjang lebar. Intinya, malam dimana saya merasa sangat buruk ternyata malah membuat saya merasakan kebaikan orang-orang di sekitar saya. Ah, saya sangat beruntung.

Sabtu, 25 Maret 2017

Dia Bernama Laras

Perempuan berparas ayu yang sering kujumpai ketika aku tanpa sengaja lewat taman dekat komplek, dia bernama Laras.
Perempuan yang tak pernah lepas dari senyum ceria entah apapun yang ia rasakan saat itu, dia bernama Laras.
Perempuan yang selalu memakai sneakers butut tapi masih juga kece, dia bernama Laras.
Perempuan yang doyan nyamil lembaran keju, dia bernama Laras.
Perempuan berambut pendek yang secara cepat dapat menyita perhatianku, dia bernama Laras.
Perempuan yang aku kagumi dari jauh, dia bernama Laras.

Kalian pasti terusik karena aku berkali-kali menyebut namanya dalam setiap kalimat.
Aku maklum, kalian tak tahu betapa susahnya aku mengetahui nama perempuan yang telah berdiam lama di pikiranku itu.
Aku maklum, tak apa.

Suatu hari ibuku memberiku sebuah undangan yang tak aku ketahui dari siapa.
Kata ibu, itu dari tetangga satu komplek sekaligus anak teman ibu.
Kata ibu, anaknya seumuran denganku.
Kata ibu, anaknya tahu anggota karang taruna komplek, aku satu diantaranya.
Kata ibu, ia memang mengundang seluruh anak muda, baik yang ikut karang taruna atau tidak.

Undangan itu berupa bakti sosial sekaligus perayaan pernikahan.
Anak teman ibu keren juga, pikirku.
Ia tak menggelar resepsi pernikahan seperti layaknya orang umum.
Bakti sosial itu lah resepsi pernikahan yang, kata ibu, ia selalu inginkan.
Lalu, aku sekali lagi membaca nama yang tertera di undangan.

Dari sini kalian pasti sudah bisa menebak siapa yang memberiku undangan.
Ya, dia adalah Laras.
Nama yang baru aku dengar dari undangan pernikahannya.
Tapi orang yang telah aku kenal lama walaupun hanya bersifat satu arah.

Ketika tanggal pernikahan tiba aku datang ke sebuah panti asuhan tempat mereka menggelar bakti sosial.
Tak ada perayaan mewah, bahkan Laras tak memakai gaun pengantin.
Laras yang biasa aku lihat dari jauh, kali ini ia memakai perias wajah.
Jauh, jauh lebih memukau dari biasanya.
Aku tersenyum kecut, tampaknya aku masih saja mengagumi Laras yang telah menjadi istri orang.

Laras dan suaminya yang biasa aja, lebih keren aku, pikirku, menghampiriku dan anak-anak karang taruna lain.
Yang lainnya berjabat tangan dan mengucapkan selamat untuk mempelai.
Aku diam saja, menikmati sisa-sisa Laras untukku sendiri.
Kemudian tiba giliranku, aku menjabat tangannya, sepersekian detik lebih lama dari anak-anak lain.
Aku bisa melihat Laras dari dekat.
Aku menahan gejolak diri untuk menyentuh wajahnya, untuk berteriak bahwa akulah yang pantas mendampinginya.

Setelah acara selesai Laras tampak sendirian sambil mengamati tamu undangan yang hadir.
Lalu mata kita bertemu. Aku luluh lantak. Istri orang ini, masih juga menghipnotisku.
Kudekati dia dengan mengumpulkan segenap keberanian.
Aku tak mau menjadi pengecut seumur hidupku.

"Laras," kataku.
"Iya?" jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu tahu aku?" pertanyaan yang bodoh, pikirku.
Laras ketawa kecil.
"Tahu lah, kalau aku nggak tahu kan kamu nggak mungkin aku undang," jawabnya.
Aku diam, bingung.
"Kok bisa? Kan kita nggak pernah ketemu," ujarku.
Laras menatapku lama, aku masih bingung.
"Kamu selalu naik vespa merah saat melewati komplek taman, kamu selalu minum es kelapa muda depan komplek, kamu selalu pakai jaket jeans nggak layak pakai itu, kamu juga selalu diam-diam ngelihatin aku. Itu kamu kan?" jawabnya, masih juga tersenyum.
Headshot saudara-saudara, aku tumbang.
Bagaimana bisa selama ini Laras yang aku perhatikan dari jauh diam-diam juga memperhatikanku?
Bermimpi tentang itu pun aku tak berani.
Aku diam, merasa bingung sekaligus kalah.
"Suamiku," lanjutnya. "Adalah orang asing yang mengajakku kenalan di taman komplek. Ternyata dia adalah teman dari kakak temanku. Kata dia, dia sudah lama suka sama aku. Awalnya dia cuma bisa ngelihatin aja sampai akhirnya dia berani ngajak kenalan."
Aku mengutuk dalam hati.
"Dia sama denganmu, hanya saja dia lebih berani," kata Laras sambil melemparkan senyum terakhirnya untukku, lalu ia pergi.
Laras meninggalkanku yang masih diam terpaku.
Aku mengulang lagi setiap detil kalimat yang diucapkannya tentangku.

Ya Tuhan. Ya Tuhanku yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Seharusnya Laras bisa menjadi Larasku jika saja aku satu langkah lebih cepat dari pria yang kini telah mempersuntingnya itu.
AAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!!!!
DASAR SIALAN!!!!!!!!!
Ternyata aku tetap menjadi pengecut seumur hidupku........

Minggu, 19 Maret 2017

Catatan Orang Baik #1: Pom Bensin

Kejadian ini saya alami di sebuah pom bensin yang terletak di dekat Pasar Sukodono, Sidoarjo. Kejadian ini lah yang menginspirasi saya untuk membuat seri Catatan Orang Baik.
Saat itu sekitar pukul 15.00 WIB kurang, Minggu (19/3/2017), saya mampir ke sebuah pom bensin untuk mengisi scoopy milik saya. Ada 4 motor yang mengantre Pertalite di depan saya. Ketika antrean sudah menjadi 2 motor, saya turun untuk membuka penutup tangki bensin saya.
Kebetulan sekali penutup tangki saya susah untuk dibuka, entah karena saat itu saya memakai sarung tangan atau memang alot. Tiba-tiba bapak yang sedang mengantre di belakang saya menawarkan bantuan.
"Bisa neng?" tanya bapak itu. Mungkin usianya sekitar 50-an, berkumis, saat itu pakai kaos oblong hitam. Ia ragu-ragu untuk maju membantu karena saya masih berusaha membuka sendiri.
"Bisa pak," jawab saya sambil tersenyum, mungkin bapak itu nggak sadar saya tersenyum karena saya sedang memakai masker. Akhirnya setelah susah payah, penutup tangki berhasil saya buka.
Setelah mengisi Pertalite Rp 15 ribu, saya menoleh ke bapak baik itu. Saya pamit, walaupun nggak kenal, dan saya lupa untuk berterima kasih. Meskipun bapak itu akhirnya nggak membantu saya, paling tidak ia berniat untuk membantu.

"Monggo pak," kata saya. Bapak itu tersenyum, "Enggeh, monggo," balasnya.

Catatan Orang Baik: Sebuah Pengantar

Saya ingin memperkenalkan jenis postingan blog terbaru saya yang bernama Catatan Orang Baik.
Mengapa disebut demikian? Jawabannya simple, karena postingan ini akan berisi catatan-catatan orang baik yang telah saya alami, saya lihat, atau saya dengar.

Mengapa? Memang penting? Misalkan kalian bertanya seperti itu, saya ada jawabannya. Ya, menurut saya catatan ini memang penting.

Sebenarnya, ada banyak sekali orang-orang baik yang ada disekitar kita, yang baik pada kita. Namun, sering kali tanpa sadar kita mengabaikannya. Seperti kata pepatah, "Nila setitik, rusak susu sebelangga" kurang lebih begitu, kita lebih ingat pada orang-orang yang berbuat tak baik pada kita. Padahal, orang tak baik pun kadang pernah baik pada kita. Nah, menurut saya hal itu sebenarnya sayang sekali jika dilupakan begitu saja.

Tindakan baik yang tanpa sadar kita sadari kebanyakan bersifat remeh, sehingga hanya dalam waktu satu atau dua jam kita sudah lupa. Dengan adanya catatan ini, saya berharap kebaikan para orang baik itu akan kekal dalam bentuk tulisan. Bisa jadi juga untuk pembelajaran bagi kalian bahwa di dunia ini, atau paling tidak di tempat kalian tinggal, masih banyak sekali orang baik. Jika kalian keberatan menjadikan catatan ini sebagai bentuk pembelajaran, nggak papa, biar saya sendiri saja yang merasakannya.

Sekian pengantar Catatan Orang Baik dari saya, semoga saya konsisten untuk terus menulis tentang berbagai orang baik yang saya temui. Terima kasih banyak.

Jumat, 04 November 2016

Kita Pernah Jatuh Cinta

Pernah menghabiskan malam dengan berbagi cerita.
Pernah begitu bahagia hanya dengan bertemu raga.
Pernah saling merengkuh tubuh dengan lembut.
Dan memadu kasih dengan mulut yang terpagut.

Tanpa bahasa. Tanpa aksara.
Kita pernah begitu gila.

Pernah bertahta tertinggi di hati satu sama lain.
Pernah menyusun masa depan dalam bayangan baju pengantin.
Pernah merasakan debar jantung yang begitu bising.
Dan lupa bahwa dulunya kita hanyalah orang asing.

Ya, aku ingat betul tiap detik yang kulalui bersamamu.

Dengan genggaman tangan yang enggan kau lepas.
Dengan desahan nafas yang semakin memanas.
Dan dengan kenangan itulah kau berkemas.
Memastikan sisa-sisa impian kita telah kandas.

Aku tak pernah memintamu untuk tinggal.
Namun, kadang-kadang aku berpikir.

Ingatkah kau bahwa kita pernah sejatuh cinta itu?

Jumat, 09 September 2016

Melalui Sebuah Nama

Aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Yang aku tahu hanyalah goresan nama di dinding usang yang tanpa sengaja kutemukan di toilet umum pujasera dekat kantorku, lengkap dengan nomor teleponnya. Maya. Begitu nama itu tertulis. Seperti nama mantan kekasihku dulu yang meninggalkanku demi laki-laki barunya. Tapi, itu cerita lama.
Tanpa pikir panjang aku pun menyimpan nomor telepon itu di ponselku. Maya. Nama yang tak begitu asing terdengar di telingaku. Di tempat kerjaku sendiri ada 2 Maya. Maya pertama merupakan rekan kerjaku yang mempunyai body aduhai. Sudah bukan rahasia lagi jika teman-teman kantorku suka mengajak Maya untuk berkencan hingga berakhir di ranjang. Maya malah dengan senang hati melayani mereka.
Maya yang kedua adalah bosku satu-satunya, seorang janda tanpa anak yang begitu gemar memarahi anak buahnya, termasuk aku. Pernah suatu kali aku gagal saat meraih target bulananku. Maya marah habis-habisan, semua sumpah serapah ia teriakkan kepadaku. Aku langsung kalut dan menghabiskan sisa malam itu dengan menenggak 5 botol bir kesukaanku.
Lalu, seperti apa Maya kali ini? Penasaran, aku pun mengirim sebuah pesan pendek ke nomor ponselnya. "Hai, Maya," tulisku. Dengan cepat aku mengirim pesan itu sebelum aku dapat menyesali perbuatanku. Tak butuh waktu lama untuk Maya membalas pesanku.
"Iya :) Ini siapa ya?" jawabnya.
"Gundala. Tapi Maya bisa memanggilku Dala aja," balasku.
"Namanya unik sekali. Salam kenal Dala :)," ujarnya.
"Nama Maya juga cantik. Pasti secantik orangnya," godaku.
"Ah Dala sok tahu :p," timpalnya.
Soreku di kantor kuhabiskan dengan berbalas pesan dengan Maya. Aku pun penasaran apa pekerjaan Maya hingga akhirnya nomornya bersarang di dinding kamar mandi umum. Apakah dia seorang wanita panggilan? Apakah dia korban kekesalan mantan kekasihnya hingga akhirnya nomornya disebarluaskan di tempat kotor? Rasa penasaranku yang semakin memuncak akhirnya kulampiaskan juga.
"Maya, kalau boleh tahu Maya kerja apa ya?" tanyaku. Aku tak sampai hati untuk mengatakan jika aku menemukan nomornya di dinding kamar mandi. Aku takut Maya jadi marah atau bahkan sedih saat mengetahui fakta tersebut.
"Aku buka usaha sendiri. Online shop lebih tepatnya. Hehe. Lebih enak kerja sendiri daripada ikut orang," jawabnya.
Sepertinya Maya bukan wanita panggilan. Paling tidak setahuku. Ia sama sekali tak menggodaku diluar batas atau mengajakku bercinta dengan tarif yang ditentukannya. Mungkin Maya adalah opsi kedua, yaitu korban mantan kekasihnya. Namun, aku tak pernah menanyakan hal itu.
Percakapanku dan Maya pun berlanjut hingga keesokan hari. Maya menjelaskan ia asli Surabaya dan tak pernah pindah dari Kota Pahlawan hingga 24 tahun hidupnya. Maya menyukai film, terutama film dengan genre drama romantis, tipikal perempuan. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun mengajak Maya nonton film terbaru yang sedang tayang di bioskop. Sayangnya, ia menolak ajakanku.
"Maaf, Dala. Aku belum cukup kenal Dala untuk bisa percaya kalau Dala cuma bermaksud ngajak menonton," ujarnya.
Aku kaget melihat jawabannya. Bukan seperti yang kuharapkan karena toh kita sudah saling kenal melalui berbagai kiriman pesan. Tapi, aku maklum. "Tenang, Maya. Aku janji cuma ngajak Maya nonton aja. Yah, kalau beruntung setelah nonton kita bisa makan malam sambil mengenal lebih jauh," jawabku.
"Terima kasih banyak atas tawarannya, Dala. Tapi, maaf banget aku nggak berani. Dala orang asing sih :p," balasnya.
"Makanya kita ketemu supaya Maya nggak ngerasa asing lagi. Tenang aja, aku udah jinak kok," candaku.
Maya kembali menolak ajakanku. Aku semakin heran kenapa gadis semanis dan selugu Maya bisa ada di dinding kotor tempatku pertama kali mengenalnya. Maya yang ini sepertinya tak seganas kedua Maya di kantorku dan sejahat Maya mantan kekasihku. Maya yang ini begitu membuatku penasaran dengan setiap barisan kata yang dikirimkannya untukku.
Dua hari kemudian, tepat jam satu malam Maya mengirim pesan untukku. Pesan yang tak pernah kusangka akan hadir di kotak pesanku dari Maya.
"Dala, lagi apa? Aku kesepian nih. Dala temenin dong," tulisnya.
"Maya kenapa? Ada masalah?" balasku basa-basi. Padahal aku tahu pasti apa yang dimaksud kesepian olehnya.
"Enggak sih, cuma ngerasa kesepian aja. Coba Dala ada di sini. Di kamar kosku. Di samping tempat tidurku...," jawabnya.
Aku yang tadinya malas-malasan di kamar langsung terduduk tegak. Akhirnya, seruku dalam hati.
"Kos Maya dimana? Aku bersedia kok nemenin Maya ;)," ujarku penuh harap.
"Nggak bisa, Dala. Kan aku udah bilang Dala orang asing. Aku nggak berani ketemu Dala dulu. Dala nemenin aku lewat sini aja ya. Btw, malem ini panas banget ya. Aku mau tidur sampai nggak pake apa-apa," balasnya.
Penisku langsung bereaksi setelah membaca kata-kata terakhir Maya di pesan itu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung meladeninya. Berbagai pesan penuh birahi saling berbalas hingga membuatku ereksi. Terangsang oleh pesan-pesan darinya, aku pun ejakulasi.
Sejak saat itu setiap malam kuhabiskan dengan berbalas pesan nakal dengan Maya. Setiap malam juga aku membayangkan meniduri tubuh indah Maya dan menghisap puting merah muda miliknya seperti yang dideskripsikannya.
Aku tak mempermasalahkan lagi alasan-alasan Maya saat tak mau diajak bertemu, atau bahkan sekedar mendengarkan suaranya via telepon. Maya sepertinya lebih nyaman untuk saling memuaskan nafsu satu sama lain melalui pesan. Dan aku pun tak keberatan sama sekali. Selama Maya masih membalas pesan-pesanku. Selama Maya masih mau melayaniku walau sekedar lewat pesan.
Siapa sangka, berawal dari kamar mandi pujasera dekat kantorku, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis bernama Maya yang siap menjadi objek fantasi-fantasi liarku. Ah Maya... Nama yang indah untuk gadis yang indah pula.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sebuah kamar kos kecil, seorang lelaki tambun berkacamata tampak asik mengetik di layar ponselnya. Lelaki itu sesekali menggaruk kelaminnya yang terasa gatal akibat berhari-hari tak mengganti celana dalam karena terlalu malas untuk mandi.
Lelaki itu terkadang tersenyum sendiri ke arah ponselnya. Tak ada yang tahu dengan siapa ia berbalas pesan. Namun, satu yang ia tahu pasti. Seorang lelaki bernama Gundala telah mengikuti permainan iseng yang dibuatnya dibilik kecil kamar mandi pujasera dekat tempat kosnya beberapa hari lalu.
Gundala mengenalnya dengan nama Maya. Bukan tubuh seksi perempuan seperti yang selama ini dibayangkan Gundala, Maya ternyata hidup dalam sosok laki-laki tambun berkacamata yang menjadikannya bahan fantasinya sendiri.

Jumat, 19 Agustus 2016

Binatang Tamak

Dari sekian banyak binatang di dunia ini, kau lah yang paling tamak.
Setiap mangsa yang berada didekatmu akan kau santap dengan lahap.
Kau lebih dari sekedar liar. Kau buas.
Tak puas hanya menghabisi satu nyawa, kau terus berburu lagi dan lagi.
Kau tak pernah mengenal kata kenyang.
Seakan perutmu mampu menampung seluruh makhluk tak berdaya di hutan metropolitan ini.
Lucunya, kini kau telah memiliki seorang tuan.
Hanya tuanmu lah yang bisa menjinakkanmu.
Tuanmu tak pernah tahu serendah apa masa lalumu.
Sepertinya ia terlalu percaya bahwa binatangnya memang sejinak yang ia pikirkan.
Hah. Lucu sekali.
Suatu saat akan kulemparkan bongkahan bangkai busuk di depan mukanya.
Sehingga ia bisa melihat sendiri seganas apa binatang yang begitu disayanginya itu.

Sabtu, 09 Juli 2016

Aku Mulai Gila

Orang bilang waktu bisa menyembuhkan segalanya.
Tapi, sepertinya hal itu tak berlaku untukku.
Dia yang selalu bisa membuatku merasakan jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaan.
Dia yang telah berusaha kulenyapkan dari benakku selama bertahun-tahun.
Bagaikan sebuah hadiah sekaligus petaka yang diberikan Tuhan untukku, dia datang.
Masih dengan senyumnya yang selalu membuatku tergila-gila.
Dan juga tatapannya yang tak pernah bisa kulupakan.
Dia datang.

Aku tak bisa memungkiri betapa bahagianya aku bisa menghabiskan waktu bersama dengannya.
Walaupun bukan hanya kami berdua. Karena hal itu tak akan mungkin terjadi.
Aku bahagia bisa ikut tertawa dengannya, mendengarkannya menyanyikan lagu cinta entah untuk siapa, atau bahkan sekedar berada dalam jangkauannya.
Aku begitu payah. Lagi-lagi tenggelam dalam perasaanku sendiri.
Tak ada yang bisa kulakukan kecuali memutar kembali saat-saat indah itu.
Hanya sebagai pengingat bahwa dia pernah menyadari keberadaanku.
Ah, sepertinya aku mulai gila.

Selasa, 21 Juni 2016

Rumit

Kita bersentuhan dalam rangsangan yang tak lagi bisa dibendung. Ciuman demi ciuman kau daratkan di bibir hingga leherku. Desahanku memenuhi kamar hotel bintang 5 ternama yang sering kita sewa. Kau membuka bajuku dengan kasar dan menindihku di atas tempat tidur. Kau mulai melucuti pakaianmu tanpa melepas bibir kita yang masih berpagutan. Dengan gairah yang telah memuncak, kita pun mulai bersenggama.
“Jadi bagaimana?” tanyaku sambil memandangmu yang beranjak dari kasur setelah memuaskan birahi satu sama lain.
“Apanya?” tanyamu sambil kembali mengancingkan kancing kemejamu satu persatu.
“Tentang kita,” jawabku lirih.
“Kita sudah pernah membahas tentang ini,” ujarmu. Ada percikan amarah yang terdengar melalui nada bicaramu. Namun, aku mengabaikannya.
“Tapi, sampai kapan?” aku masih gigih meminta jawaban pasti.
“Dengar, sayang. Aku bisa memberikanmu apapun. Handphone, mobil, apartemen, tubuhku, semua bisa aku berikan untukmu,” kau berusaha menenangkanku dengan mengecup lembut dahiku. Tapi, itu tak berhasil.
“Kamu tahu bukan itu yang aku inginkan,” jawabku ketus.
“Ya. Dan kamu tahu tak ada dari kita yang ingin hidup kita sama-sama hancur,” jelasmu. “Maaf, tapi aku harus lekas kembali ke rumah. Istriku sudah menunggu.”
Kau berjalan keluar meninggalkanku yang masih terbaring tanpa sehelai benangpun. Aroma tubuhmu masih bisa kurasakan, begitu juga dengan peluh dan cairanmu yang menempel di tubuhku.
Ah, aku tak pernah menyangka hidupku akan serumit ini. Entah bagaimana dua insan yang saling mencintai seperti kita tak pernah bisa bersama untuk selamanya.
Aku membenamkan wajahku dengan kedua tangan. Aku mulai menangis. Karena aku sadar, takdir tak akan pernah mempersatukan dua laki-laki seperti kita.