Jumat, 04 November 2016

Kita Pernah Jatuh Cinta

Pernah menghabiskan malam dengan berbagi cerita.
Pernah begitu bahagia hanya dengan bertemu raga.
Pernah saling merengkuh tubuh dengan lembut.
Dan memadu kasih dengan mulut yang terpagut.

Tanpa bahasa. Tanpa aksara.
Kita pernah begitu gila.

Pernah bertahta tertinggi di hati satu sama lain.
Pernah menyusun masa depan dalam bayangan baju pengantin.
Pernah merasakan debar jantung yang begitu bising.
Dan lupa bahwa dulunya kita hanyalah orang asing.

Ya, aku ingat betul tiap detik yang kulalui bersamamu.

Dengan genggaman tangan yang enggan kau lepas.
Dengan desahan nafas yang semakin memanas.
Dan dengan kenangan itulah kau berkemas.
Memastikan sisa-sisa impian kita telah kandas.

Aku tak pernah memintamu untuk tinggal.
Namun, kadang-kadang aku berpikir.

Ingatkah kau bahwa kita pernah sejatuh cinta itu?

Jumat, 09 September 2016

Melalui Sebuah Nama

Aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Yang aku tahu hanyalah goresan nama di dinding usang yang tanpa sengaja kutemukan di toilet umum pujasera dekat kantorku, lengkap dengan nomor teleponnya. Maya. Begitu nama itu tertulis. Seperti nama mantan kekasihku dulu yang meninggalkanku demi laki-laki barunya. Tapi, itu cerita lama.
Tanpa pikir panjang aku pun menyimpan nomor telepon itu di ponselku. Maya. Nama yang tak begitu asing terdengar di telingaku. Di tempat kerjaku sendiri ada 2 Maya. Maya pertama merupakan rekan kerjaku yang mempunyai body aduhai. Sudah bukan rahasia lagi jika teman-teman kantorku suka mengajak Maya untuk berkencan hingga berakhir di ranjang. Maya malah dengan senang hati melayani mereka.
Maya yang kedua adalah bosku satu-satunya, seorang janda tanpa anak yang begitu gemar memarahi anak buahnya, termasuk aku. Pernah suatu kali aku gagal saat meraih target bulananku. Maya marah habis-habisan, semua sumpah serapah ia teriakkan kepadaku. Aku langsung kalut dan menghabiskan sisa malam itu dengan menenggak 5 botol bir kesukaanku.
Lalu, seperti apa Maya kali ini? Penasaran, aku pun mengirim sebuah pesan pendek ke nomor ponselnya. "Hai, Maya," tulisku. Dengan cepat aku mengirim pesan itu sebelum aku dapat menyesali perbuatanku. Tak butuh waktu lama untuk Maya membalas pesanku.
"Iya :) Ini siapa ya?" jawabnya.
"Gundala. Tapi Maya bisa memanggilku Dala aja," balasku.
"Namanya unik sekali. Salam kenal Dala :)," ujarnya.
"Nama Maya juga cantik. Pasti secantik orangnya," godaku.
"Ah Dala sok tahu :p," timpalnya.
Soreku di kantor kuhabiskan dengan berbalas pesan dengan Maya. Aku pun penasaran apa pekerjaan Maya hingga akhirnya nomornya bersarang di dinding kamar mandi umum. Apakah dia seorang wanita panggilan? Apakah dia korban kekesalan mantan kekasihnya hingga akhirnya nomornya disebarluaskan di tempat kotor? Rasa penasaranku yang semakin memuncak akhirnya kulampiaskan juga.
"Maya, kalau boleh tahu Maya kerja apa ya?" tanyaku. Aku tak sampai hati untuk mengatakan jika aku menemukan nomornya di dinding kamar mandi. Aku takut Maya jadi marah atau bahkan sedih saat mengetahui fakta tersebut.
"Aku buka usaha sendiri. Online shop lebih tepatnya. Hehe. Lebih enak kerja sendiri daripada ikut orang," jawabnya.
Sepertinya Maya bukan wanita panggilan. Paling tidak setahuku. Ia sama sekali tak menggodaku diluar batas atau mengajakku bercinta dengan tarif yang ditentukannya. Mungkin Maya adalah opsi kedua, yaitu korban mantan kekasihnya. Namun, aku tak pernah menanyakan hal itu.
Percakapanku dan Maya pun berlanjut hingga keesokan hari. Maya menjelaskan ia asli Surabaya dan tak pernah pindah dari Kota Pahlawan hingga 24 tahun hidupnya. Maya menyukai film, terutama film dengan genre drama romantis, tipikal perempuan. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku pun mengajak Maya nonton film terbaru yang sedang tayang di bioskop. Sayangnya, ia menolak ajakanku.
"Maaf, Dala. Aku belum cukup kenal Dala untuk bisa percaya kalau Dala cuma bermaksud ngajak menonton," ujarnya.
Aku kaget melihat jawabannya. Bukan seperti yang kuharapkan karena toh kita sudah saling kenal melalui berbagai kiriman pesan. Tapi, aku maklum. "Tenang, Maya. Aku janji cuma ngajak Maya nonton aja. Yah, kalau beruntung setelah nonton kita bisa makan malam sambil mengenal lebih jauh," jawabku.
"Terima kasih banyak atas tawarannya, Dala. Tapi, maaf banget aku nggak berani. Dala orang asing sih :p," balasnya.
"Makanya kita ketemu supaya Maya nggak ngerasa asing lagi. Tenang aja, aku udah jinak kok," candaku.
Maya kembali menolak ajakanku. Aku semakin heran kenapa gadis semanis dan selugu Maya bisa ada di dinding kotor tempatku pertama kali mengenalnya. Maya yang ini sepertinya tak seganas kedua Maya di kantorku dan sejahat Maya mantan kekasihku. Maya yang ini begitu membuatku penasaran dengan setiap barisan kata yang dikirimkannya untukku.
Dua hari kemudian, tepat jam satu malam Maya mengirim pesan untukku. Pesan yang tak pernah kusangka akan hadir di kotak pesanku dari Maya.
"Dala, lagi apa? Aku kesepian nih. Dala temenin dong," tulisnya.
"Maya kenapa? Ada masalah?" balasku basa-basi. Padahal aku tahu pasti apa yang dimaksud kesepian olehnya.
"Enggak sih, cuma ngerasa kesepian aja. Coba Dala ada di sini. Di kamar kosku. Di samping tempat tidurku...," jawabnya.
Aku yang tadinya malas-malasan di kamar langsung terduduk tegak. Akhirnya, seruku dalam hati.
"Kos Maya dimana? Aku bersedia kok nemenin Maya ;)," ujarku penuh harap.
"Nggak bisa, Dala. Kan aku udah bilang Dala orang asing. Aku nggak berani ketemu Dala dulu. Dala nemenin aku lewat sini aja ya. Btw, malem ini panas banget ya. Aku mau tidur sampai nggak pake apa-apa," balasnya.
Penisku langsung bereaksi setelah membaca kata-kata terakhir Maya di pesan itu. Tanpa basa-basi, aku pun langsung meladeninya. Berbagai pesan penuh birahi saling berbalas hingga membuatku ereksi. Terangsang oleh pesan-pesan darinya, aku pun ejakulasi.
Sejak saat itu setiap malam kuhabiskan dengan berbalas pesan nakal dengan Maya. Setiap malam juga aku membayangkan meniduri tubuh indah Maya dan menghisap puting merah muda miliknya seperti yang dideskripsikannya.
Aku tak mempermasalahkan lagi alasan-alasan Maya saat tak mau diajak bertemu, atau bahkan sekedar mendengarkan suaranya via telepon. Maya sepertinya lebih nyaman untuk saling memuaskan nafsu satu sama lain melalui pesan. Dan aku pun tak keberatan sama sekali. Selama Maya masih membalas pesan-pesanku. Selama Maya masih mau melayaniku walau sekedar lewat pesan.
Siapa sangka, berawal dari kamar mandi pujasera dekat kantorku, aku bisa berkenalan dengan seorang gadis bernama Maya yang siap menjadi objek fantasi-fantasi liarku. Ah Maya... Nama yang indah untuk gadis yang indah pula.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di sebuah kamar kos kecil, seorang lelaki tambun berkacamata tampak asik mengetik di layar ponselnya. Lelaki itu sesekali menggaruk kelaminnya yang terasa gatal akibat berhari-hari tak mengganti celana dalam karena terlalu malas untuk mandi.
Lelaki itu terkadang tersenyum sendiri ke arah ponselnya. Tak ada yang tahu dengan siapa ia berbalas pesan. Namun, satu yang ia tahu pasti. Seorang lelaki bernama Gundala telah mengikuti permainan iseng yang dibuatnya dibilik kecil kamar mandi pujasera dekat tempat kosnya beberapa hari lalu.
Gundala mengenalnya dengan nama Maya. Bukan tubuh seksi perempuan seperti yang selama ini dibayangkan Gundala, Maya ternyata hidup dalam sosok laki-laki tambun berkacamata yang menjadikannya bahan fantasinya sendiri.

Jumat, 19 Agustus 2016

Binatang Tamak

Dari sekian banyak binatang di dunia ini, kau lah yang paling tamak.
Setiap mangsa yang berada didekatmu akan kau santap dengan lahap.
Kau lebih dari sekedar liar. Kau buas.
Tak puas hanya menghabisi satu nyawa, kau terus berburu lagi dan lagi.
Kau tak pernah mengenal kata kenyang.
Seakan perutmu mampu menampung seluruh makhluk tak berdaya di hutan metropolitan ini.
Lucunya, kini kau telah memiliki seorang tuan.
Hanya tuanmu lah yang bisa menjinakkanmu.
Tuanmu tak pernah tahu serendah apa masa lalumu.
Sepertinya ia terlalu percaya bahwa binatangnya memang sejinak yang ia pikirkan.
Hah. Lucu sekali.
Suatu saat akan kulemparkan bongkahan bangkai busuk di depan mukanya.
Sehingga ia bisa melihat sendiri seganas apa binatang yang begitu disayanginya itu.

Sabtu, 09 Juli 2016

Aku Mulai Gila

Orang bilang waktu bisa menyembuhkan segalanya.
Tapi, sepertinya hal itu tak berlaku untukku.
Dia yang selalu bisa membuatku merasakan jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaan.
Dia yang telah berusaha kulenyapkan dari benakku selama bertahun-tahun.
Bagaikan sebuah hadiah sekaligus petaka yang diberikan Tuhan untukku, dia datang.
Masih dengan senyumnya yang selalu membuatku tergila-gila.
Dan juga tatapannya yang tak pernah bisa kulupakan.
Dia datang.

Aku tak bisa memungkiri betapa bahagianya aku bisa menghabiskan waktu bersama dengannya.
Walaupun bukan hanya kami berdua. Karena hal itu tak akan mungkin terjadi.
Aku bahagia bisa ikut tertawa dengannya, mendengarkannya menyanyikan lagu cinta entah untuk siapa, atau bahkan sekedar berada dalam jangkauannya.
Aku begitu payah. Lagi-lagi tenggelam dalam perasaanku sendiri.
Tak ada yang bisa kulakukan kecuali memutar kembali saat-saat indah itu.
Hanya sebagai pengingat bahwa dia pernah menyadari keberadaanku.
Ah, sepertinya aku mulai gila.

Selasa, 21 Juni 2016

Rumit

Kita bersentuhan dalam rangsangan yang tak lagi bisa dibendung. Ciuman demi ciuman kau daratkan di bibir hingga leherku. Desahanku memenuhi kamar hotel bintang 5 ternama yang sering kita sewa. Kau membuka bajuku dengan kasar dan menindihku di atas tempat tidur. Kau mulai melucuti pakaianmu tanpa melepas bibir kita yang masih berpagutan. Dengan gairah yang telah memuncak, kita pun mulai bersenggama.
“Jadi bagaimana?” tanyaku sambil memandangmu yang beranjak dari kasur setelah memuaskan birahi satu sama lain.
“Apanya?” tanyamu sambil kembali mengancingkan kancing kemejamu satu persatu.
“Tentang kita,” jawabku lirih.
“Kita sudah pernah membahas tentang ini,” ujarmu. Ada percikan amarah yang terdengar melalui nada bicaramu. Namun, aku mengabaikannya.
“Tapi, sampai kapan?” aku masih gigih meminta jawaban pasti.
“Dengar, sayang. Aku bisa memberikanmu apapun. Handphone, mobil, apartemen, tubuhku, semua bisa aku berikan untukmu,” kau berusaha menenangkanku dengan mengecup lembut dahiku. Tapi, itu tak berhasil.
“Kamu tahu bukan itu yang aku inginkan,” jawabku ketus.
“Ya. Dan kamu tahu tak ada dari kita yang ingin hidup kita sama-sama hancur,” jelasmu. “Maaf, tapi aku harus lekas kembali ke rumah. Istriku sudah menunggu.”
Kau berjalan keluar meninggalkanku yang masih terbaring tanpa sehelai benangpun. Aroma tubuhmu masih bisa kurasakan, begitu juga dengan peluh dan cairanmu yang menempel di tubuhku.
Ah, aku tak pernah menyangka hidupku akan serumit ini. Entah bagaimana dua insan yang saling mencintai seperti kita tak pernah bisa bersama untuk selamanya.
Aku membenamkan wajahku dengan kedua tangan. Aku mulai menangis. Karena aku sadar, takdir tak akan pernah mempersatukan dua laki-laki seperti kita.

Rabu, 13 April 2016

Sebuah Perubahan

23 tahun yang lalu ia lahir ke bumi, tanpa tahu akan seperti apa dunia menjadikannya kelak.
Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang selalu riang dan membuat orang disekitarnya ikut merasa bahagia. Ia tak pernah bersedih, kecuali ketika ayahnya mengganti acara kartun di televisi dengan pertandingan sepak bola.
Masa mudanya penuh warna. Berbagai konser band rock n roll hingga ska tak pernah absen untuk didatanginya. Ia memiliki teman-teman sebaya yang selalu memiliki acara untuk berkumpul bersama. Berbagi kisah, berbagi cerita.
Ia mungkin bukan siswi terpintar, namun ia pernah meraih nilai tertinggi di sekolahnya saat ujian nasional hingga membuat kedua orangtuanya bangga. Selalu ia ingat raut bahagia hingga tangis haru ayah ibunya saat tahu sang anak menjadi seorang juara.
Lalu, tiba-tiba takdir mempertemukannya dengan seorang pria.
Berawal dari pertemanan, mereka akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Keromantisan selalu mengiringi keberadaan mereka. Keduanya lupa bahwa sejatinya hidup tak hanya milik mereka saja. Namun, mereka tak peduli.
Ia menjalani hidup layaknya makhluk tuhan paling bahagia bersama sang kekasih. Sayangnya, hal itu hanya bisa dirasakan pada awal-awal bulan. Kekasihnya secara perlahan berubah menjadi monster menyeramkan yang begitu ditakutinya.
Sang kekasih tak pernah ragu untuk melayangkan tangan ke tubuhnya ketika dirinya merasa kesal. Pukulan demi pukulan diterimanya tanpa tahu apa yang membuatnya berhak untuk menerima perlakuan itu. Ia tetap memilih untuk bertahan.
Ia menjadi kebas. Tak ada perasaan sedih atau senang yang bisa dirasakan.
Hanya ketakutan yang selalu menjalarinya setiap kali melihat sosok sang kekasih. Seperti itukah definisi seorang kekasih? Tidak. Dan ia pun akhirnya sadar hingga memberanikan diri untuk meninggalkannya meskipun dengan perasaan terancam.
Untungnya, teman-teman yang dulu ditinggalkannya karena larangan sang kekasih ternyata memang selalu ada di sana untuk menunggu. Menunggunya kembali menjadi diri sendiri dan keluar dari berbagai kekejaman yang berkamuflase atas nama cinta.
Kini, ia tak lagi menjadi wanita murung yang selalu hidup dalam ketakutan. Meskipun terkadang bayangan-bayangan kelam itu susah untuk disingkirkan, ia percaya Tuhan telah mempersiapkan akhir yang bahagia untuknya. 

Senin, 10 Agustus 2015

Living a Life As an INFP

Source: 16personalities

First of all, i actually don’t know if this is because I’m an INFP or just my personality. And what I’m about to share here is my own point of view. So, here we go.

INFP is one of sixteen type of personalities which include Introversion, Intuition, Feeling and Perception. INFP is describes as quiet, sensitive people who enjoy meditating upon connections and meanings in the universe around them.  Lost in dreams, fantasies and ideals, they may seem distant at first, but are in fact one of the warmest and kindest of all types--once you get get to know them, of course. (source: oddlydevelopedtypes)

For me, the most hard thing to do as an INFP is socialize. Like, I don’t actually know if I’m enjoy being with people or just by myself. Because sometimes I’m really tired of socializing. Like, as if my social bar in The Sims is full, i prefer to be with myself more after that. But sometimes I also feel so alone. Not lonely, which is different, just alone. Like, no one’s by my side. Though i don’t feel lonely, i quite pity myself.

The real thing about INFP is, they tend to push people away. Because they think they can’t be attached to somebody for like 24/7 like what bff do with chat, hang out and other stuff like that. So people around me usually labeled me as arrogant. In fact, I’m just tired. Not that i don’t like them, but I just prefer to have a me time as long as possible.

We also super awkward with strangers. But when we found something that “click”, we’d have a fun conversation. That usually because of same interest, like type of music, books, etc. But then again, we’d like to not cross any personal conversation other than that. Oh and what I like the most as an INFP is, we keep secret very sacredly.  Like, I’d keep your secret even on my grave, so don’t worry.

So yeah, I guess that’s it. I hope people could understand my condition of being like this. I didn’t choose to be this way. I’ve tried so hard to be likeable in society. I make people laugh with my jokes, my body, all of me. But then after, I feel insure and tired. I do love being with them, but not as often as i’m being with my own self.

Thank you so so much for understanding, and I’m really sorry if i ever hurt you by any way.

PS: For more information of INFP click here.

Bye x

Sabtu, 14 Maret 2015

The Linger Guy


Look at me getting weaker and weaker everytime we meet.
Let’s not say hi to each other.
Let’s pretend we don’t know each other.
Because, it’s safer that way.
Eventhough I’m dying to have a conversation with you.
It could be about your favorite soccer team.
It could be about your room that’s under construction.
It could be about your little sister who’s going to kindergarten soon.
It could be about anything.
I don’t mind talking to you every single hour.
You’re that worth for me.
But, that would kill me faster.
For going head over heels for you over and over again.

And dude, I don’t want to die early.

Rabu, 10 Desember 2014

Desember

Saya menyukai Desember. Tak pernah tahu pasti alasannya, namun Desember membawa kedamaian tersendiri bagi saya. Desember ibarat rumah yang selama ini saya tuju. Yang membuat saya menghela nafas lega dan berkata, “Ah, akhirnya tiba juga di bulan ini.”

Mungkin karena Desember merupakan bulan di penghujung tahun. Bulan dimana saya menengok kembali ke bulan-bulan sebelumnya dan mengingat apa yang telah saya lalui sepanjang tahun. Bulan pengasih yang seakan dapat memaafkan segala bentuk keabnormalan saya dan memeluk saya dengan lembut.

“Yang lalu biarlah. Because you made it until today. Don’t worry, you did great.” Mungkin jika Desember bisa berbicara, ia akan berbicara seperti itu.

Desember bagi setiap orang memang berbeda-beda. Namun, Desember saya selalu memaafkan.

Terlalu terlambat memang untuk mengatakan ini, namun terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali kan?

Selamat datang, Desember. Terima kasih telah bersedia menemani.


Rabu, 29 Oktober 2014

Musikalisasi Puisi: Ijinkan Aku

Sebuah musikalisasi puisi olehku dan para peramu imaji ulung, Rizal Firdausy a.k.a Teweh dan Amartha Anindita a.k.a May. Para mahkluk Tuhan yang kusayangi secara utuh, mereka, telah menciptakan sebuah alunan keresahan yang menjalar indah dan membuat candu.

Ijinkan Aku.
aku hanya ingin meminjam cahayamu sebentar.
mungkin sinarnya meredup, tapi percayalah ia tetap hidup.
meski pada tubuh-tubuh yang terlantar, ia tetap berpendar.
ijinkan aku meminjam cahayamu sebentar.
sudah lama aku tak merasakan hangat ini.
kehangatan yang mendamaikan setiap jengkal tubuh.
yang memelukku lembut dalam kekal, yang meredam suar keluh.
"jalang!"
mungkin kau berfikir seperti itu.
"bedebah!"
riak makimu kepadaku.
silahkan saja mendaifkanku semaumu.
aku tahu, kau pemilik utuh cahaya itu.
kaulah tuannya.
sedang aku, seorang benalu yang menginginkan secercanya.
yang bahkan harus mengemis untuk sebuah kedamaian fana.
tenang, sayang.
aku tak bermaksud mengambil alih cahayamu.
aku tahu ia milikmu.
namun ijinkan aku, ijinkan aku meminjam cahayamu sebentar. 
untukku.
untukku seorang.

Selasa, 28 Oktober 2014

Tak Bisa Aku Benar-Benar Mencintaimu

Sebab, ada lagu-lagu kami yang mengalir merdu di telinga.
Sebab, ada foto-foto yang mengkekalkan ribuan memori.
Sebab, ada telepon-telepon yang tanpa sengaja selalu ditunggu.
Sebab, ada pesan-pesan dalam ponsel yang masih enggan dihapus.

Adalah rindu yang tak bisa ditepis.
Adalah kenangan yang seringkali datang tanpa diundang.
Adalah hari-hari yang dulu kami lewati bersama.
Adalah tawa renyahnya yang masih sering terdengar dalam angan.

Jadi, ia yang entah sekarang ada dimana, masih bertahta disini.
Jadi, ia yang entah sekarang sedang apa, masih bertahan disini.
Jadi, ia yang entah sekarang milik siapa, masih bersemai disini.
Jadi, maafkan aku, kekasihku.


Tak bisa aku benar-benar mencintaimu.

Selasa, 30 September 2014

Teruntuk Wanita di Depan Altar

                Aku mengambil sebuah jas hitam yang sudah kupersiapkan sebelumnya untuk acara ini. Kulihat pantulan diriku sekali lagi di kaca untuk memastikan tidak ada yang kurang dengan penampilanku. Aku menghela nafas. Masih tidak beranjak dari depan kaca.
Sebentar lagi aku akan melihatnya berdiri di depan altar. Wanita yang selalu aku cintai. Tidak dengan t-shirt band favorit dan sneakers kebanggaannya yang selalu ia kenakan. Ia akan mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan warna senada yang membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya yang selalu diikat asal akan ditata rapi dan dihiasi dengan mahkota kecil dan wedding veil. Wajahnya yang memang sudah cantik tanpa make-up akan terlihat lebih cantik dengan make-up.
                Kau terlihat sangat cantik, akan kubisikkan itu padanya. Lalu, ia akan tersenyum dan menunjukkan dua lesung pipi yang menjadi ciri khas nya. Seperti yang selalu ia lakukan di tahun-tahun yang lalu.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya aku memutuskan untuk berangkat.
                Ia disana. Wanita yang selalu aku cintai. Tepat seperti apa yang aku bayangkan. Cantik. Anggun. Selalu membuatku jatuh cinta.
                Ya. Ia disana.
                 Aku duduk dalam diam. Mendoakan kebahagiaannya kepada Tuhan. Mendoakan agar ia selalu bahagia dalam setiap nafas yang dihembusnya. Dan berdoa, agar aku masih bisa melihat senyumnya yang dulu selalu ia tujukan hanya untukku.
Ya Allah, bahagiakanlah ia. Juga... keluarga kecil mereka. Ucapku dalam hati.
Aku membaca ulang sebuah notes kecil yang telah aku persiapkan dengan sebuket bunga tulip kesukaannya.

“Dear Catherine,

Selamat atas pernikahan kalian. Aku turut berbahagia. Dan, kau terlihat sangat cantik hari ini. Ah, tidak. Kau memang selalu cantik dimataku. Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Alif.”


Aku dan dia memang tidak akan pernah bisa sama. Namun, kita tak pernah bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta. Dan aku, hingga saat ini, masih jatuh cinta padanya.

Jumat, 26 September 2014

Bulimia

Aku mengkonsumsi. Lalu, memuntahkan. Begitulah definisi bulimia. Namun, kasusku disini, bukan makanan yang aku konsumsi. Tapi, memori. Ribuan memori tentang aku dan kau, yang dulu pernah disebut dengan “kita”.
Memori yang menyenangkan, yang membawaku kembali dalam alunan rindu yang merdu sekaligus memekakkan telinga. Sekali waktu aku membuka kembali memori kita. Perlahan, lalu terbiasa. Begitu candunya aku akan memori itu.
Namun, aku segera memuntahkannya. Itu sangat tidak baik bagi tubuhku. Terlebih, hatiku.
Pernah suatu waktu, aku begitu kelaparan dan menghabiskan banyak porsi tentang memori kita. Tak pernah ada kata kenyang. Aku menjadi lebih rakus dari hari ke hari. Namun, disaat yang sama, aku segera memuntahkannya kembali. Aku tak bisa menambah kalori-kalori rindu ini untuk tubuhku. Sudah terlalu banyak lemak yang menguasai.
Aku sadar sekali ini tak baik untukku. Aku benar-benar sadar. Namun, candu ini begitu menggoda. Tak pernah cukup aku akan kau. Akan kita. Walau sekarang kau entah sedang beradu kasih dengan siapa. Walau aku tak pernah tahu pasti bibir siapa yang akan kau kecup. Tubuh baru yang kau peluk. Sebuah jiwa baru untuk kau ambil.
“Percayalah, aku akan selalu berada disini. Di dekatmu. Walau nyatanya memang kita terpaut jarak ribuan kilometer yang begitu menyiksa. Namun, aku selalu disini. Bersamamu. Kau harus percaya itu.”
Lebih dari ribuan kali kalimat itu aku telan mentah-mentah. Mengendap di seluruh tubuhku. Membuat jantungku berdegup tak karuan ketika aku memutar ulang memori itu. Lalu, tak lama, air mata seakan tak sanggup lagi berada di pelupuk. Ia jatuh. Tepat ketika aku bersuara...
“Iya. Aku percaya. Aku selalu percaya.”
Penyakit ini sudah begitu akut. Aku ingin sembuh. Aku tak ingin candu ini menggerogoti tiap aliran darahku. Tidak mudah memang, tapi aku harus mencoba.

Tak akan lagi aku mengkonsumsi memori ini. Sehingga tak akan ada lagi yang harus dimuntahkan selanjutnya. Seperti kata-kataku saat iku, “Aku percaya. Aku selalu percaya.” Ya. Aku percaya aku bisa.

Sabtu, 05 Juli 2014

Teruntuk Sebuah Nyawa Di Dalam Rahimku

Selamat pagi, kamu di dalam perutku. Aku masih tidak menyangka kamu hadir dalam kehidupanku. Dalam hari-hariku. Kamu yang akan menemaniku selama 9 bulan nanti. Kamu yang akan selalu ada denganku. Aku tidak sabar untuk melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dengan bantuan mesin USG sang bidan.
Kamu sang juara. Bayangkan betapa banyak teman yang kamu kalahkan untuk menetap di rahimku. Kamu juaranya! Kamu yang terhebat! Kamu hebat, Nak!
Nak, anakku tersayang. Jika kelak kamu telah lahir ke dunia, jangan pernah tanya siapa bapakmu ya. Karena sejujurnya, ibu pun tidak tahu. Tidak ada yang tahu siapa bapakmu. Tapi, ibu bisa menjadi ibu sekaligus bapak untukmu. Ibu janji. Ibu akan melakukan apa saja untuk bisa membahagiakanmu.

Ibumu memang seorang jalang. Bapakmu tak lebih hina dari binatang. Tapi, anakku sayang. Ibu pasti akan selalu membuatmu senang.

Masih Sanggupkah Kau Tersenyum Nanti?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Setelah ujian yang datang bertubi-tubi kepadamu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah orang-orang menghinamu disana-sini, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah semuanya menyudutkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah sakit yang terasa mematikan, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah hidup yang kau punya satu-satunya terkoyak, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kebahagiaan yang perlahan meninggalkanmu, masih sanggupkah kau tersenyum?
Setelah kehancuran begitu ingin menghampirimu, masih sanggupkah kau tersenyum?

Masih sanggupkah kau tersenyum nanti?

Berhenti

Aku masih ingat sekali nasehatnya waktu itu. Diandra, sahabatku.
“Kau tidak berhak merasakan sakit,” katanya singkat dan menyayat.
Itu komentar yang dilontarkannya ketika aku berkeluh tentang hubunganku dan Damar.
“Lalu aku berhak apa? Mencintai tak berhak. Merasakan sakitpun aku juga tak berhak. Apa sudah tidak tersisa lagi hak yang dapat kurasakan?!” balasku padanya.
Aku dan Damar memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Namun, tak bisa juga dibilang kekasih. Damar yang aku kenal selama ini adalah seorang yang manis dalam bertutur dan bersikap. Ia dapat membawaku ke nirwana dalam setiap untaian janji yang diucapkannya. Damar yang begitu manis, yang begitu kusayangi, ia jugalah yang dapat menguburku hidup-hidup dalam setiap rahasianya yang perlahan terkuak.
“Betapapun sakit yang kau rasakan saat ini, tidak sebanding dengan sakit yang dirasakan wanitanya setelah tahu apa yang terjadi antara kau dan Damar,” ucap Diandra.
“Ia sakit, aku tahu. Tapi, Di, aku juga sakit...” aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Dia sedang hamil, Demi Tuhan! Jika memang kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu, gunakan hati nuranimu! Kau juga wanita! Tak kasihan kau melihat calon jabang bayinya? Tak kasihan kau melihat ibu dari bayinya?” Diandra tak sanggup lagi mengontrol emosinya. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. Begitu juga dengan pancaran menyudutkan dan menyalahkan yang juga tergambar jelas di matanya. Namun, tak kulihat pandangan menghina darinya. Bahkan ketika aku tahu, aku memang hina.
Aku tidak pernah kenal dengan istri Damar. Namun, pernah sekali aku bertemu dengannya di kantor. Aku tak tahu ia istri Damar. Aku tak pernah tahu Damar telah beristri. Sekarang aku bisa mengerti tatapan apa yang dilayangkannya kepadaku saat itu. Jalang. Begitu yang tersirat di matanya.
“Aku berhenti, Di. Demi Tuhan aku juga berusaha berhenti. Aku sedang mencoba mengosongkan kuali-kuali yang penuh akan kasih sayangku padanya. Kau harus tahu aku berusaha mati-matian,” aku masih saja membela diriku.
“Aku tahu, aku benar tahu. Tapi yang tak aku suka darimu, seakan kaulah pihak yang paling sakit. Padahal kau tahu... Ada pihak yang lebih tersakiti,” ucapnya.
Aku diam sejenak. Menyeka air mataku yang telah surut.
“Aku tahu...” sahutku lemah.
“Ya... Aku harap kau benar tahu.”

Sabtu, 02 November 2013

Kau di Depan Sana, Selamat Untuk Kekasih Baru mu.

Hai. Ku dengar kau sudah menjadi miliknya ya? Miliknya seutuhnya? Jahat sekali. Aku bahkan belum sempat mengutarakannya padamu. Mengutarakan bagaimana aku terbius dengan aroma tubuhmu. Dengan pancaran semu kebahagiaanku saat bersamamu. Bagaimana bisa kau meninggalkanku begitu saja. Ah, jelas kau bisa. Memang aku siapa? Kau bahkan mungkin tidak mengenaliku.
Aku yang sudah terbiasa mengagumimu dari kejauhan ini merasa kehilangan. Bagaimana tidak, kau yang biasanya menjadi tumpuan mimpi-mimpiku untuk memilikimu, sekarang telah dimiliki orang lain. Beruntung sekali orang itu. Iya, orang itu. Kekasih barumu. Dia bisa mendapatkanmu tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri saat memandangimu. Tidak sepertiku, yang harus sembunyi-sembunyi agar kau tak sadar bahwa aku menatapmu sedari tadi.

Jujur saja, aku tidak ingin mendoakan jelek untuk hubunganmu. Karena bagaimanapun, kau bahagia bersamanya. Dan itu cukup untukku. Aku hanya berharap, kau masih sudi membagi secuil tubuhmu untukku. Untuk kupandangi sendiri. Untuk kukagumi, betapa aku benar-benar menyukaimu. Ini sudah gila, ini bukan suka lagi. Ini lebih dari itu. Entah apa namanya… 

Mimpi

Malam ini aku bermimpi tentangmu lagi. Tentang paras mu yang menggelayut manja di benakku. Kita berbicara lama sekali. Mataku terkunci pada matamu. Aku melihat pantulan diriku di mata beningmu. Ah, walaupun ini hanya sekedar mimpi, yang aku tahu pasti tidak akan terjadi di dunia nyata, aku tetap mengucap syukur pada Gusti. Karenanya, aku dapat memandangimu, memperhatikanmu dari dekat, walau hanya dari mimpi.
Kita berbincang. Membicarakan apa saja. Jarak kita hanya terpaut sepersekian centimeter. Ada jendela yang yang menghubungkan kita. Kita berdiri disana. Berbincang. Dan saling menatap. Hingga entah bagaimana, kau memberi sepucuk surat untukku. Aku lupa sebagian besar isi suratnya. Namun yang aku ingat, dalam surat itu ada kalimat…
“Namaku .…. Dan aku sudah berpacaran 7 tahun dengan .…. Masihkah kau menerimaku?”
Entah. Aku tidak menjawab surat itu. Mimpi terputus begitu saja. Ketika aku terbangun, hanya tiga kata yang terucap langsung dari bibirku.
“…Ya. Aku mau.”
Mungkin aku memang sudah gila. Untuk apa aku menjawab pertanyaan dari dunia fana? Dunia yang entah kapan aku bisa berada disana lagi... Ah, sial.

Sabtu, 21 September 2013

Demi Masa

99 Asmaul Husna dalam pigora yang terpampang di ruang tamu memanggil-manggil. Kitab suci Al-Quran yang usang dan bedebu menyenandungkan ayat-ayatnya. Mukena putihku yang dulu bersih tanpa noda sudah tidak berwarna putih lagi. Kerudung-kerudungku yang selama ini menemaniku memandangiku dengan iba. 

Dulu, rasanya tiada hari aku lewatkan tanpa kehadiran mereka.

Dulu, setiap sore, dengan memakai kerudung merah jambu kesukaanku, aku selalu duduk di ruang tamu dan menyenandungkan ayat-ayat suci Al-Quran.
Dulu, melafalkan asmaul husna sudah merupakan suatu kewajiban bagiku.
Dulu, tidak pernah kulewatkan waktu sholatku, kutinggalkan apapun yang aku kerjakan untuk menunaikan sholat terlebih dahulu.
Dulu, aku merasa dekat sekali dengan Gusti Allah, membuat segala terasa tentram.
Dulu, yang sunah terasa wajib untukku. Mulai sholat sunah, hingga puasa sunah senin kamis.

Kini, aku yang sudah terbiasa tanpa kehadiran mereka, sudah tak pernah lagi menyentuh mereka.

Kini, kerudung merah jambu kesukaanku sudah berlubang termakan rayap.
Kini, rasanya aku sudah tidak ingat lagi bagaimana cara membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Kini, asmaul husna yang dulu aku hafal di luar kepala, sudah hilang terkikis waktu.
Kini, jangankan sholat, ingat keberadaan-Nya saja aku seringkali lupa.
Kini, aku merasa jauh sekali dengan-Nya.

Gusti.. Mohon ampun..

Teruntuk Kau di Depan Sana

Teruntuk kau di depan sana…
Memandangimu telah menjadi bagian dari hari-hariku.
Tatapan matamu yang begitu hangat. Lekuk bibirmu saat kau tersenyum. Deru nafasmu yang menenangkan.
Aku tak pernah bosan memandangmu.
Cukup hanya dengan memandangimu.

Aku tak sampai hati untuk menyentuhmu.
Aku takut tangan kasarku akan melukai kulit lembutmu.
Kau begitu mengagumkan.
Setiap centimeter dari dirimu begitu mengagumkan.
Kau adalah percikan kecil air surga yang nyata adanya.

Jangan kau beranjak dari depan sana.
Jangan pernah kau beranjak dari depan sana.
Biarkan aku menikmati setiap detil gerakan anggunmu.
Memahami binar matamu.
Mensyukuri nikmat Tuhan akan adanya dirimu.

Teruntuk kau di depan sana…
Suatu hari nanti. Suatu hari nanti akan kukatakan semuanya padamu.
Bahwa aku… Mencintaimu…
Aku lebih dari mencintaimu…
Aku menggilaimu…


*Terinspirasi oleh Radiohead – Creep. Dan juga, untuk kau di depan sana.*